tirto.id - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri telah menetapkan Direktur Utama PT Garam, Achmad Boediono sebagai tersangka dalam kasus korupsi tindak pidana penyimpangan impor dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agung Setya mengatakan, kasus ini berawal dari penetapan kebutuhan konsumsi garam nasional pada Desember 2016. Saat itu, pemerintah memutuskan bahwa kebutuhan konsumsi garam nasional adalah 226 ribu ton.
Untuk melindungi kepentingan petani kecil, maka BUMN yang diperbolehkan mengimpor garam konsumsi untuk kebutuhan nasional adalah PT Garam. Selanjutnya, perusahaan pelat merah itu pun mengajukan realisasi impor 75 ribu ton.
“Namun kemudian kami temukan penyimpangan dalam realisasi tersebut,” kata Agung Setya, di Mabes Polri, Jakarta, Minggu, seperti dikutip Antara.
Agung menjelaskan kronologi penyimpangan yang dilakukan perusahaan BUMN yang bergerak di bidang produksi garam ini. Pada 1 Maret 2017, PT Garam memanggil 53 perusahaan garam yang memproduksi garam konsumsi untuk menghitung kebutuhan garam mereka.
Selain itu, PT Garam juga mengumpulkan 6 perusahaan importir dari India dan dua perusahaan importir dari Australia. Di hari yang sama, PT Garam menunjuk sebuah perusahaan dari Australia untuk mengimpor 55 ribu ton ke Indonesia. Kemudian, satu perusahaan dari India diminta mengimpor 20 ribu ton.
Namun, kata Agung, Achmad Boediono selaku Direktur Utama PT Garam, mengubah rencana importasi garam konsumsi menjadi garam industri untuk menghindari bea masuk 10 persen.
“Dengan tidak dibayarnya bea masuk 10 persen saja, diperkirakan merugikan negara sedikitnya Rp3,5 miliar,” kata Agung Setya.
Pada April 2017, sebanyak 75 ribu ton garam industri sudah diimpor ke Indonesia. PT Garam diduga langsung mengolah garam industri yang diimpornya tersebut menjadi garam konsumsi. Menurut Agung, kandungan NaCl pada garam konsumsi itu tidak boleh lebih dari 97 persen. Tapi hasil lab, kandungan NaCl-nya justru 99 persen.
Dalam pengusutan kasus tersebut, penyidik Bareskrim menemukan 1000 ton garam industri yang sedang diolah menjadi garam konsumsi kemasan di empat gudang milik PT Garam di Gresik, Jawa Timur. Sementara sisanya, 74 ribu ton garam industri telah dijual kepada 53 perusahaan dengan menggunakan harga jual garam konsumsi. Padahal garam yang dijual itu adalah garam industri.
Tindakan Achmad Boediono tersebut melanggar ketentuan Pasal 10 Permendag Nomor 125 tahun 2015 yang menyatakan bahwa importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain. Sementara yang dilakukan PT Garam, bukan hanya memperdagangkan, bahkan mengemas menjadi garam konsumsi untuk dijual kepada masyarakat.
Atas tindakan tersebut, Bareskrim Polri menetapkan Achmad Boediono selaku Direktur Utama PT Garam sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton ini. Ia diduga melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen, Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 dan Pasal 5 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.
Gagal Melindungi Petambak Garam
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebut, kasus dugaan penyalahgunaan izin impor PT Garam merupakan bentuk kegagalan melindungi petambak garam Indonesia. Tindakan penyalahgunaan izin tersebut jelas melanggar Pemendag Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati mengatakan dalam regulasi tersebut sudah jelas tertuang bahwa importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain.
“Dampaknya tiga juta petambak garam, baik laki-laki dan perempuan menjadi semakin sulit bersaing di pasar nasional dan semakin terpuruk,” ujarnya, dikutip Antara.
Pusat Data dan Informasi Kiara, pada Agustus 2016 mencatat, permasalahan substansi yang dihadapi oleh petambak garam Indonesia adalah minimnya sarana dan prasarana, serta buruknya akses air bersih dan sanitasi di tambak garam.
Selain itu, minimnya intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam, besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam dan harga garam yang rendah.
Menurut Susan, kelima permasalahan yang dihadapi oleh petambak garam tersebut semakin diperburuk dengan adanya ketentuan impor garam industri tidak dikenakan bea masuk melalui Permendag Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam yang berlaku sejak Desember 2015.
Karena itu, kata Susan, karut-marut pengelolaan garam butuh perhatian yang serius, butuh semua pihak melakukan evaluasi bersama terhadap pengelolaan garam Indonesia. Salah satunya, kata dia, Menteri Perdagangan harus melakukan audit internal di kementerian yang dipimpinnya.
Di sisi lain, lanjut Susan, perlu langkah berani untuk mendorong Menteri Perdagangan agar segera mencabut Permendag Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah akan menyiapkan aturan terkait tata niaga impor garam dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pihaknya akan melakukan pemetaan terlebih dahulu terkait jenis-jenis garam, baik untuk kebutuhan industri maupun untuk jenis konsumsi.
“Kita sudah melaporkan ke Menteri Koordinator Perekonomian untuk segera mengatur tata niaga garam dengan melibatkan Menteri Perindustrian dan Menteri Kelautan Perikanan,” kata Enggartiasto, seperti dikutip Antara, pada 9 Juni lalu.
Enggartiasto mengatakan, selama ini importasi garam yang ada dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, dimana para importir mengajukan izin impor setelah mengantongi rekomendasi dari kementerian teknis, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, Enggartiasto juga akan melakukan pembahasan terkait dengan jenis-jenis garam, mana saja yang memang diperuntukkan bagi sektor industri dan konsumsi, termasuk juga pembahasan mengenai perhitungan kebutuhan dua sektor tersebut.
Dalam hal ini, kasus korupsi tindak pidana penyimpangan impor dan distribusi garam industri yang menyerat Achmad Boediono selaku Direktur Utama PT Garam harus menjadi catatan penting upaya membenahi tata kelola garam, termasuk melindungi petambak garam Indonesia.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti