tirto.id - “Jika pembangunan pangan kami dapat dikatakan mencapai keberhasilan, maka hal itu merupakan kerja raksasa dari suatu bangsa secara keseluruhan,” kata Soeharto seperti dikutip dari buku Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto (2006) karya Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Adi Sage (hlm. 92).
Persoalan pangan memang jadi isu yang selalu menggelinding setiap pemerintahan yang berkuasa. Persoalan impor, swasembada, hingga narasi ketahanan pangan seolah saling berkelindan. Pada Pilpres 2019, isu ketahanan pangan juga menjadi barang dagangan masing-masing capres dan cawapres.
Kubu Jokowi dan Prabowo mengangkat isu ketahanan pangan, mulai persoalan impor beras dan jagung, harga bahan pangan, hingga infrastruktur pendukung swasembada pangan.
Ketahanan Pangan, berdasarkan definisi Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, adalah suatu kondisi terpenuhinya pasokan pangan bagi negara sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Hal ini tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Definisi mirip-mirip juga jadi pijakan Badan Pangan Dunia (FAO), bahwa ketahanan pangan terjadi saat semua orang, sepanjang waktu punya akses fisik dan ekonomi terjaga kebutuhan dan nutrisi pangan untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
Ketahanan pangan menjadi salah satu fokus negara-negara di dunia tak hanya Indonesia. Ini karena produktivitas suatu negara berkaitan dengan kebutuhan pangan warganya yang tercukupi.
Indeks ketahanan pangan global Global Food Security Index/GFSI, hasil kerja sama The Economist dan perusahaan sains bidang pangan Corteva, menunjukkan ketahanan pangan Indonesia memang ada perbaikan setidaknya sejak 2012. Skor Indonesia di semua aspek pada 2012 sebesar 46,8 naik menjadi 54,8 pada 2018 (skor tertinggi 100). Tahun lalu, Indonesia menempati posisi 65 di dunia dan kelima di ASEAN dari 113 negara (Oktober 2018).
Posisi teratas masih didominasi negara-negara maju, Singapura justru berada di posisi teratas. Artinya ketahanan pangan tak cuma bicara soal sumber daya produksi pangan, tapi ada aspek-aspek lain.
Pada laporan GFSI, ada empat aspek dalam penilaian indeks ketahanan pangan, yaitu keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan, juga sumber daya. Bila ditelisik, skor aspek keterjangkauan pangan Indonesia adalah sebesar 55,2 (peringkat 63 dari 113 negara). Skor aspek ketersediaan adalah 58,2; menempati posisi ke-58. Sementara skor aspek kualitas dan keamanan sebesar 44,5 (peringkat 84) dan skor faktor sumber daya alam adalah 43,9 (peringkat 111).
Secara garis beras, indeks ketahanan pangan di Indonesia memang membaik. Bagaimana bila melihatnya secara detail untuk masing-masing daerah?
Pemerintah melalui BKP, Kementerian Pertanian, sudah menyusun Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Ada sembilan Indikator yang merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Selanjutnya, IKP dikelompokkan dalam enam kelompok, angka enam paling punya ketahanan pangan dan angka satu sebagai wilayah yang paling rentan pangan.
Berdasarkan skor IKP, mayoritas kabupaten dan kota di Indonesia memiliki tingkat ketahanan pangan yang baik. Namun, ada 81 kabupaten (19,47 persen) dan 7 kota (7,14 persen) di Indonesia yang perlu mendapat prioritas penanganan kerentanan pangan yang komprehensif.
Di tingkat kabupaten, sebanyak 81 wilayah atau 19,47 persen dari 416 kabupaten memiliki skor IKP yang rendah. Artinya, 81 daerah tersebut masuk dalam kelompok IKP 1 sampai 3. Sebaran wilayah kelompok rentan ini adalah 26 kabupaten (6,25 persen) masuk kelompok 1, 21 kabupaten (5,05 persen) masuk kelompok 2, dan 34 kabupaten (8,17 persen) masuk kelompok 3.
Dari 26 kabupaten kelompok 1, sebanyak 17 kabupaten berada di Provinsi Papua, 6 kabupaten di Provinsi Papua Barat, 2 kabupaten di Provinsi Maluku dan 1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada wilayah kota, mayoritas wilayah memiliki ketahanan pangan yang baik. Sebanyak 32 kota (32,65 persen) masuk dalam kelompok 5 dan 50 kota (51,02 persen) ada di kelompok 6. Namun, ada 7 kota (7,14 persen) memiliki tingkat ketahanan pangan yang rentan.
Ada dua kota (2,04 persen) masuk kelompok 1, yaitu Kota Subulussalam di Aceh dan Kota Tual di Maluku, 2 kota (2,04 persen) masuk kelompok 2, yaitu Kota Gunung Sitoli di Sumatera Utara dan Kota Pagar Alam di Sumatera Selatan, dan 3 kota (3,06 persen) yang masuk kelompok 3, yaitu Kota Tanjung Balai di Sumatera Utara, Kota Lubuk Linggau di Sumatera Selatan, dan Kota Tidore Kepulauan di Maluku Utara.
Beberapa indikasi rentannya 81 kabupaten dan 7 kota adalah kabupaten dan kota tersebut sangat tergantung pada pasokan pangan dari wilayah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya dan akses yang terbatas terhadap infrastruktur dasar air bersih.
Pengeluaran pangan di wilayah tersebut pun lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran. Selain itu, tingkat penduduk miskin dan angka balita stunting atau kerdil tergolong tinggi. Di wilayah Papua masih memiliki masalah kekurangan pangan yang serius.
Pemetaan ketahanan pangan di wilayah-wilayah Indonesia penting. Dengan mengetahui keadaan pangan di wilayah tersebut, baik pemerintah atau lembaga lainnya dapat membuat kebijakan yang tepat sasaran.
Editor: Suhendra