tirto.id - Sebuah video yang diunggah AJ+ pada 20 Juni 2018 mendadak mendapat banyak perhatian warganet. Video tersebut menceritakan sebuah program sosial bertajuk “A Blessing to Share” yang telah mengumpulkan makanan sisa dari 50 pesta pernikahan sejak November 2017. Makanan yang dikumpulkan tersebut kemudian disalurkan ke penduduk yang tinggal di daerah kumuh di Jakarta.
Video yang telah disukai sebanyak 4.465 pengguna dan ditwit ulang sebanyak 4.582 kali (data akses per 28 Juni 2018 pukul 16.30 WIB) itu menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.
Benarkah laporan AJ+ tersebut? Mari periksa.
Dalam Food Sustainability Index (FSI) yang diterbitkan oleh The Economist Intelligent Unit (EIU) bersama Barilla Center for Food and Nutrition Foundation (BCFN), terdapat penilaian ketahanan pangan terhadap sejumlah negara—Indonesia salah satunya—di dunia.
Indeks ketahanan pangan dalam laporan tersebut dinilai berdasarkan 58 indikator yang dirangkum dalam empat aspek: keseluruhan (overall), makanan mubazir dan limbah makanan (food loss and waste), pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), dan tantangan gizi (nutritional challenges).
Indeks tersebut digambarkan dalam skala angka 0-100, di mana 100 berarti paling bagus, sedangkan 0 berarti sebaliknya. Skor yang didapat masing-masing negara dikategorikan ke dalam tiga kelompok: rendah (0-33), menengah (33-67), dan tinggi (67+).
Pada 2016, EIU dan BCFN melakukan penilaian terhadap 25 negara pada FSI, sedangkan pada 2017 bertambah menjadi 34 negara. Dalam laporan tersebut, secara keseluruhan pada 2016 Indonesia berada di peringkat ke-21 dari 25 negara dengan skor 50,77. Indonesia masih lebih baik dibandingkan Uni Emirat Arab (UAE), Mesir, Arab Saudi, dan India.
Namun, pada 2017, indeks memburuk: secara keseluruhan Indonesia berada di peringkat ke-32 dari 34 negara dengan skor 52,43, hanya lebih baik daripada India dan UEA.
Dalam aspek food loss and waste yang mengukur tentang kecakapan suatu negara untuk mengatasi sampah dan pemborosan makanan, Indonesia mendapat skor 32,53 pada 2016 dan 42,11 setahun kemudian. Penilaian tersebut dilakukan melalui beberapa indikator seperti persentase makanan yang hilang dari total produksi makanan negara, respons kebijakan terhadap kehilangan pangan, sampah makanan per kapita per tahun, serta respons kebijakan terhadap sampah makanan.
Skor pada 2016 dikategorikan termasuk kelompok rendah, sedangkan skor 2017 termasuk kelompok menengah. Namun, jika ditilik secara peringkat, Indonesia termasuk kelompok tiga negara terbawah pada dua periode penilaian tersebut.
Pada 2016, Indonesia berada di peringkat kedua terbawah, di bawah UEA dan hanya lebih baik dibandingkan Arab Saudi. Pada tahun selanjutnya, meski skor lebih tinggi, peringkat tidak berubah: kedua dari bawah, di bawah Lebanon, dan di atas UEA.
Perancis adalah negara terbaik dalam urusan mengatasi pemborosan makanan ini. Dalam dua periode penilaian tersebut, negara ini selalu menempati peringkat pertama dengan skor 80,25 pada 2016 dan 84,89 pada 2017. Dua negara terbaik lainnya adalah Australia dan Afrika Selatan (2016), serta Jerman dan Spanyol (2017).
Pemborosan Makanan dan Kemiskinan
Rendahnya peringkat Indonesia pada FSI tersebut menandakan bahwa masih banyak hasil produksi makanan yang tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga terbuang dan mubazir. Negara ini juga bisa dianggap belum cakap dalam menangani masalah kehilangan dan sampah makanan.
Ironisnya, di saat banyaknya makanan terbuang dan menjadi sampah, di luar sana masih banyak masyarakat yang kurang mampu dan tergolong miskin. BPS mencatat sejak Maret 2012 hingga September 2017 tingkat kemiskinan menunjukkan tren menurun. Namun, secara keseluruhan, persentase kemiskinan masih di atas 10 persen. Pada Maret 2012, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 11,96 persen dan turun menjadi 11,66 persen pada September 2012.
Selanjutnya, tingkat kemiskinan tersebut terus menurun hingga 10,96 persen pada September 2014. Namun, pada periode selanjutnya, tingkat kemiskinan kembali naik. Pada Maret 2015 tingkat kemiskinan tercatat sebesar 11,22 persen. Berselang enam bulan, angka tersebut turun menjadi 11,13 persen. Tahun lalu, tingkat kemiskinan berada pada level 10,64 persen pada bulan Maret. Pada September, ia turun menjadi 10,12 persen atau 26,58 juta jiwa penduduk di seluruh Indonesia.
Meskipun persentase penduduk miskin hanya sekitar 10,12 persen dari total penduduk Indonesia, belum tentu penduduk lainnya dapat dikategorikan sebagai penduduk dengan kondisi ekonomi yang berada. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah rumah tangga yang menerima atau membeli beras miskin (raskin) atau sebutan lainnya beras sejahtera (rastra). Raskin mulai disalurkan sejak 1998 dipicu terjadinya krisis moneter pada masa tersebut.
Penyaluran raskin pada awalnya bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Namun, sejak 2002, fungsinya diperluas tidak hanya sebagai program darurat, tapi juga sebagai perlindungan masyarakat. Dari awal pelaksanaan hingga 2006, para penerima manfaat raskin ditentukan dari data milik BKKBN. Namun, sejak 2007, penerima manfaat raskin ditentukan berdasarkan data Rumah Tangga Miskin (RTM) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Laporan Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS pada 2012 ada 52,67 persen rumah tangga penerima manfaat Raskin. Meskipun pada dua tahun selanjutnya persentase penerima manfaatnya turun tipis menjadi 51,69 persen pada 2013 dan 51,12 pada 2014, angka-angka ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih belum sejahtera.
Penurunan cukup tinggi terjadi pada 2015. Pada tahun tersebut rumah tangga penerima manfaat raskin menjadi 42,61 persen, turun sebesar 8,51 persen dari tahun sebelumnya. Namun, pada 2016 persentase penerima manfaat raskin kembali naik menjadi 44,32 persen. Penurunan kembali terjadi di 2017 dengan rumah tangga yang menerima manfaat raskin ialah sebesar 35,93 persen, atau turun 8,39 persen dari tahun sebelumnya. Artinya, ada sepertiga dari total rumah tangga di Indonesia yang masih tidak sejahtera.
Menilik angka-angka indikator kesejahteraan penduduk, adalah hal yang mengherankan ketika Indonesia masuk ke dalam kategori negara paling boros makanan nomor dua di dunia.
Editor: Maulida Sri Handayani