Menuju konten utama

Pemanasan Global Dimulai dari Sepiring Makanan

Peternakan sapi masih menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar yang berasal dari makanan. Ini sebuah pesan bahwa konsumsi manusia terhadap makanan punya peran dalam mengganggu lingkungan.

Pemanasan Global Dimulai dari Sepiring Makanan
Ilustrasi. Kandungan karbon dari makanan. Foto/iStock

tirto.id - Sepiring spageti yang berisi daging, pasta, saus tomat, bawang, minyak, dan lainnya menyuguhkan kelezatan. Namun, sepiring spageti juga menyimpan jejak karbon sekitar 10,94 kg CO2-eq/setara dengan karbon dioksida yang bisa menyumbang efek rumah kaca hingga pemanasan global.

Situs World Economic Forum menurunkan artikel tentang bagaimana makanan yang ada dalam piring kita berkontribusi dalam pemanasan global. Setiap makanan yang kita konsumsi berasal dari rantai produksi yang mengeluarkan emisi karbon, salah satu yang paling besar dalam pemanasan global adalah adalah konsumsi daging sapi.

Rantai jejak karbon makanan berasal dari pertanian, perkebunan, pabrik pengolahan makanan, transportasi distribusi, dan peternakan. Satu rantai seperti pertanian berasal dari pupuk, pestisida, dan bibit. Setiap rantai produksi makanan itu menyumbangkan jejak karbon. Makanan yang kita makan bertanggung jawab pada sepertiga jejak karbon global.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan oleh Journal of Cleaner Production, mereka menyusun peringkat makanan berdasarkan tingkat gas rumah kaca yang dihasilkan sejak pertanian sampai dengan ke piring saji setiap orang, termasuk piring-piring makanan yang menyajikan daging sapi yang lezat untuk disantap.

Peternakan yang dibuat untuk produksi daging sapi memproduksi emisi gas rumah kaca lebih tinggi daripada pertanian tradisional. Misalnya untuk memproduksi 50 kilogram bawang hanya membutuhkan satu kilogram gas rumah kaca, namun untuk memproduksi 44 gram daging sapi untuk satu kilogram gas kaca. Industri agrikultur, kehutanan dan pemanfaatan lahan tanam menyumbang pemanasan global 24 persen dari total emisi dunia.

Infografik Jejak Karbon dioksida dari makanan

Produksi Karbon dari Makanan

Stephen Clune, dosen senior jurusan Sustainable Design dari Lancaster University dan Karli Verghese

peneliti dari RMIT University melakukan eksperimen dan penelitian tentang jejak karbon dalam makanan. Mereka mengkumpulkan 369 riset tentang siklus produksi dari 168 varietas makanan segar, termasuk sayuran, buah, kacang-kacangan, padi-padian, produk peternakan, dan daging. Dari 168 varietas itu lantas disusun manakah yang paling banyak menghasilkan gas rumah kaca dalam proses produksinya. Aktivitas produksi seperti pra penanaman, perawatan tanaman, proses panen, hingga distribusi produk tadi.

Misalnya untuk daging sapi dan domba, sumber emisi utama mereka adalah metan, gas ini lahir dari fermentasi bakteria yang mengubah makanan menjadi energi dalam perut hewan mereka. Metan berkontribusi sangat tinggi dalam emisi gas rumah kaca. Usai dewasa dan masuk masa konsumsi, hewan-hewan tersebut dijagal, proses penjagalan tersebut menghasilkan emisi karbon dari konsumsi energi yang digunakan. Dua peneliti itu juga mengembangkan penelitian hingga pengolahan produk pertanian/peternakan, pengalengan produk makanan, pendinginan, dan proses masak.

Limbah konsumsi manusia juga turut menyumbang emisi gas rumah kaca. Selain itu sisa makanan yang ada dalam limbah konsumsi merupakan pemborosan. Data dari FAO menunjukkan bahwa sepertiga makanan yang diproduksi manusia terbuang sia-sia, senilai 940 miliar dolar AS. Salah satu target Sustainable Development Goals adalah mereduksi sisa makanan. Di daerah sub sahara sisa panen yang ada mencapai empat miliar dolar per tahun, rata-rata sisa makanan yang tak termakan di rumah dan restoran di Amerika mencapai 1500 dolar AS dan 1.060 dolar AS di Inggris.

Mau tak mau perlu ada kesadaran bahwa makanan yang kita makan berkontribusi dalam produksi gas rumah kaca yang akan memengaruhi pemanasan global. Ini pun juga harus berlaku di Indonesia, sebagai negara yang kaya akan ragam kuliner--Indonesia tentu menyumbang jejak karbon. Ini bisa dimulai dari proses produksi pertanian di dalam negeri, dan beberapa orang sudah memulainya.

Rita Mustikasari dari Martani Pangan Sehat menjelaskan tentang bagaimana alternatif pertanian yang ramah lingkungan. Menurutnya dengan memanfaatkan segala yang disediakan alam dan mengurangi semaksimal mungkin produk sintesis bisa membuat lingkungan lebih bersih dan sehat. Misalnya menanam produk tanaman organik yang berasal dari produk non Genetic Modified Organism (GMO). Komunitas di mana Rita mengabdi juga memaksimalkan limbah makanan untuk pupuk sehingga bisa digunakan kembali untuk alam.

Rita menyadari bahwa proses produksi makanan di perdesaan adalah satu tantangan besar, sedangkan di perkotaan di mana sisa makanan dibuang lalu menjadi limbah berakhir sebagai masalah. Salah satu usaha untuk menekan sampah makanan dan sampah non organik misalnya bisa kita lihat dari produk olahan dari Martani. Tempe bungkus daun, diikat dalam satu biting (batang daun kelapa). Tempe yang dibungkus dengan daun pisang atau daun jati memiliki cita rasa alami yang berbeda. Di pasar tradisional di Pulau Jawa hal ini masih dilakukan, tapi belakangan banyak di kota besar lebih menggunakan plastik karena lebih murah. Bahan baku kedelai yang dipakai juga kedelai lokal bebas GMO ditanam petani lokal.

“Tempe kedelai lokal lebih manis komentar beberapa konsumen. Kebanyakan pabrik tempe menggunakan kedelai impor sebagai bahan bakunya. Artis dan beberapa orang saja yang memang sengaja memproduksi tempe kedelai lokal,” katanya dari situs Martani Pangan Sehat.

Apa yang telah dimulai oleh Rita Mustikasari barangkali langkah kecil untuk merealisasikan pertanian yang ramah lingkungan, tapi bisa berkontribusi menekan produksi karbon di udara dari proses produksi yang tak mempertimbangkan alam. Bagi konsumen, bisa memulainya dengan mengurangi konsumsi daging, memilih sayur-buah lokal, memasak dengan benar, hingga mengurangi sampah makanan. Ini karena persoalan lingkungan bisa dimulai dari sepiring makanan yang kita konsumsi setiap hari.

Baca juga artikel terkait MAKANAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra