Menuju konten utama

DKI Hasilkan 4 Ribuan Ton Sampah Makanan Per Hari

Jakarta, dan kota-kota lain di Indonesia, menghadapi problem sampah makanan.

Pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang, Bekasi. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Selasa malam, 7 Februari lalu. Meja di warung tenda 1001 seafood di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, baru saja dibersihkan ketika saya datang. Ada enam orang yang tengah makan. Di sebelah kanan saya ada perempuan dan lelaki paruh baya. Keduanya menikmati capcay dan ikan bakar. Di meja belakang ada empat lelaki hampir selesai menyantap ikan bakar.

Saat pesanan saya datang, pembeli di sebelah kanan saya selesai makan, salah satunya menyisakan setengah piring nasi dan capcay. Sisa makanan itu, oleh seorang pelayan, dituangkan ke kantong kresek merah besar dekat ember cuci piring; dan sisa kuah dibuang ke trotoar, bercampur dengan air sisa cuci piring dan busa sabun.

Dedi, seorang pelayan warung, mengatakan sisa makanan dalam kantong kresek itu terkumpul sejak warung buka pukul 8 malam. Baru tiga jam isinya nyaris penuh. Biasanya, kata Dedi, sampah makanan dalam sehari hanya satu kantong plastik besar.

“Kita buka sampai subuh. Sampahnya nanti ada yang ambil dari dinas. Sebelum subuh, sudah ada mobil truk sampah yang datang,” ujar Dedi.

Sampah makanan di kawasan kuliner seperti di bilangan Sabang, 1 kilometer dari Balai Kota, bukan pemandangan yang baru, menjadi keseharian saban malam sesudah para pekerja pulang dari kawasan perkantoran di Thamrin, menjadi bagian dari mata rantai problem pengelolaan sampah di ibu kota.

Di kawasan kuliner lain di Jakarta pun sama saja. Di salah satu warung tenda di Kalibata seorang pembeli tidak menghabiskan rawon yang dipesannya. Setengah nasi di piring, setengah sisa rawon. Pelayan di warung itu lantas membuang sisa makanan tersebut ke sebuah jerigen yang dimodifikasi menjadi tempat sampah.

Di kawasan kuliner jalan Ampera, saya menyambangi resto Daeng Naba, makanan khas Makassar, yang buka sejak pukul 11 pagi hingga 11 malam. Saya meminta sampah makanan selama sehari resto itu beroperasi untuk ditimbang. Total sampah yang dihasilkan seberat 10,3 kg. Sebagian besar isi sampah makanan adalah nasi.

Menyisakan sampah makanan adalah ironi. Apalagi jika mengingat angka kemiskinan dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Pada 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 28 juta warga Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Angka gizi buruk pun masih 19,4 juta jiwa pada 2014 hingga 2016.

Seandainya seorang penduduk Indonesia menyisakan sebutir nasi saja dalam satu kali makan, maka sudah ada 249 juta butir nasi yang terbuang sia-sia. Jika satu gram beras berisi 50 butir, maka ada 4.980 kg beras yang dibuang tiap hari.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia. Friends Of Earth (FOE) pada Januari 2016 merilis dalam satu tahun produksi sampah makanan di dunia mencapai 1,3 miliar ton. Dampak terburuk dari sampah makanan itu selain kerusakan lingkungan, meningkatnya gas metana dan pemborosan, adalah ancaman krisis pangan.

Sumber Sampah Makanan

Di Jakarta, kondisi seperti itu sudah berlangsung lama. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta pada 2011 pernah merilis jumlah sampah di DKI Jakarta. Dalam sehari produksi sampah mencapai 7.500 ton. Mirisnya, lebih dari 54 persen atau 4.050 ton adalah sampah makanan. Sampah makanan itu tidak hanya dari sisa makanan yang sudah dikonsumsi, tetapi juga sisa sampah makanan saat produksi.

Penyumbang besar sampah masih berasal dari rumah tangga. Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2011 mencatat dari total sampah di Jakarta, 65 persennya berasal dari perumahan.

Parama Maharddhika, penggiat Creata, sebuah organisasi yang fokus pada masalah sampah, mengatakan banyaknya produksi sampah itu bermula pada perilaku masyarakat. Terutama sampah dari rumah tangga. Saat memasak makanan misalnya, ada bagian dari sayur yang dibuang karena tidak disukai atau tidak layak makan.

“Ada juga sisa minyak setelah digunakan. Ini yang berbahaya, karena masuk kategori B3. Kita beli makanan yang menggunakan bungkus pasti juga ada sampah. Minyak itu pasti ada plastik pembungkusnya,” kata Parama, awal Februari lalu. Sedangkan sampah dari konsumsi biasanya dari makanan yang tidak habis atau makanan yang tidak layak dikonsumsi, biasanya karena masa kadaluwarsa telah lewat.

Di sisi lain pola konsumsi makanan yang masih berpatok pada seberapa banyak porsi makanan, bukan pada kebutuhan kalori, turut berperan meningkatkan jumlah sampah. “Waktu lapar, beli atau masak makanan banyak. Tapi setelah kenyang, banyak sisanya. Seharusnya kita bisa mengukurnya: berapa kebutuhan kalori untuk sehari. Kalau sesuai kebutuhan, sisa jadi semakin minim,” kata Parama.

Selain dari rumah tangga, sampah makanan juga datang dari warung makan atau restoran. Masalahnya juga sama, sisa makanan masih tidak bisa dicegah. Pada pengujung 2015, Creata pernah melakukan riset terhadap produksi sampah salah satu restoran cepat saji di Depok, Jawa Barat. Riset itu dilakukan selama delapan hari sebagai proyek percobaan mengenai restoran tanpa sampah di Depok.

Selama delapan hari, jumlah sampah itu mencapai 267 kg. Dari jumlah itu 138,9 kg adalah sampah organik, berasal dari sisa makanan. Lainnya sampah campuran, plastik, kertas dan residu. Bagian menarik lain dari penelitian itu adalah 98 persen dari sampah tersebut bisa didaur ulang atau digunakan kembali.

“Ini hanya pilot project, tentu hasil dari restoran lain berbeda. Bedanya biasanya pada pengelolaan sampahnya, ada restoran yang sudah punya pengelolaan sampah yang baik,” kata Parama.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/02/21/HL-Sampah-1.jpg" width="860" alt="INFOGRAFIK HL Sampah" /

Buruknya Pengelolaan Sampah

Jika Anda berjalan di sepanjang trotoar Jalan Sabang pada malam hari, Anda akan mencium baru harum masakan, tumis terasi, bawang atau asap sate yang bikin perut keroncongan. Tapi coba Anda menyusuri kawasan Sabang pada siang hari. Anda bakal mencium bau busuk menyengat di beberapa titik.

Namun, bagian terburuk dari sampah itu bukan pada bau menyengat, melainkan pencemaran tanah akibat limbah sampah makanan yang sulit terurai, seperti kuah berminyak. Imbasnya pada kualitas air di kawasan tersebut yang tambah buruk. Bandingkan jika apa yang dicontohkan di Sabang juga terjadi di kawasan kuliner kota Anda, di tempat kerja Anda, di rumah Anda, yang ujungnya berimbas pada pencemaran sungai dan lingkungan.

Ini sudah jadi perhatian global. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menaksir, setiap tahun, sepertiga makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia di dunia berakhir menjadi sampah, atau jumlahnya 1,3 miliar ton. Ini termasuk 45% dari buah dan sayuran, 35% dari makanan laut, 30% dari sereal, 20% dari produk susu, dan 20% dari daging.

PBB mewanti-wanti, dengan proyeksi populasi dunia mencapai 9,6 miliar pada 2050, dan pertumbuhan tercepat di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, problem pemimpin negara saat ini dan ke depan: Bagaimana kita memproduksi cukup makanan bagi setiap orang?

Jawabannya, demikian menurut PBB, bukanlah memproduksi cukup makanan, melainkan menyetop sampah makanan yang telah kita ciptakan selama ini.

Masalah sampah makanan di pelbagai kota padat penduduk seperti Jakarta adalah pencemaran lingkungan lantaran pengelolaannya yang semrawut.

Hasil pemantauan air tanah dari Balai Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2015 menunjukkan pada lapisan akuifer bebas cekungan air tanah (CAT) Jakarta, dari 85 lokasi sumur yang dipantau, hanya ada 16 lokasi yang memenuhi baku mutu. Masih ada sampah yang menumpuk di sungai-sungai di Jakarta. Bahkan saat ini sampah di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang semakin menggunung. Menurut Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Jakarta, saat ini ada 25 juta meter kubik sampah di Bantar Gebang. Luasnya mencapai 110 hektar dengan tinggi tumpukan 30 meter.

Kepala dinas Isnawa Adji mengatakan saat ini pemerintah sudah mengupayakan pembangunan ITF (Intermediate Treatment Facility) sebagai solusi mengonversi sampah menjadi energi.

“Kita ingin Jakarta salah satu yang mempunyai ITF. Itu semacam pusat pengolahan sampah. Kisarannya antara 500, 750, sampai dengan 2.000 ton per hari. ITF ini tentunya kami cari teknologinya yang ramah lingkungan,” kata Isnawa, 6 Februari lalu.

Pemerintah hendak mencari satu solusi praktis untuk memecahkan kerumitan mengelola sampah. Padahal dalam urusan pemilahan sampah untuk mempermudah daur ulang dan pengelolaan pun masih kacau. Usaha beberapa warga di kawasan perumahan atau permukiman dengan memilah sampah, organik dan non-organik, terkadang sia-sia. Sebab, pada proses pengangkutan, sampah makanan, kaca, dan plastik tetap dijadikan satu. Beberapa warga yang sudah memiliki kesadaran pengelolaan sampah berkelanjutan akhirnya mempercayakan pengelolaan sampah kepada swasta.

Waste4Change adalah salah satu perusahaan pengelolaan sampah di Bekasi yang mengambil alih peran pengelolaan sampah. Semula perusahaan ini berfokus pada kampanye dan konsultan pengelolaan sampah. Namun belakangan mereka juga menggarap pengelolaan sampah.

Hana Nur Auliana dari Waste4Change mengatakan saat ini pihaknya memiliki sekitar 1.200 pelanggan dari rumah tangga. Mereka menjemput sampah secara berkala dari rumah-rumah pelanggan dengan syarat sampah sudah dipilah menjadi tiga: sampah organik, kertas dan plastik, serta pecah belah.

“Dulu kita kampanye supaya ada pemilahan sampah dari warga, tapi setelah dipilah, jadi sia-sia karena waktu diambil truk sampah tetap dijadikan satu. Dari situ akhirnya kita bikin juga pengelolaan sampah,” kata Hana saat ditemui di kantor Waste4Change, awal Februari lalu.

Untuk sampah kertas dan plastik serta pecah belah, Waste4Change memiliki rekanan untuk mengelolanya. Sedangkan khusus untuk sampah organik dikelola sendiri menjadi kompos. Mereka memberdayakan pemulung sampah di Bantar Gebang. Sebagian dari hasil kompos itu dijual, sebagian lain dipakai sendiri untuk kebun pepaya seluas 4 hektare milik perusahaan.

Apa yang dilakukan Waste4Change sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri, mengandalkan prakarsa mandiri, dikerjakan secara komunitas, justru ketika pemerintah malas bekerja.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam