tirto.id - Sebagaimana biasanya Bank Sampah Rawajati, Jakarta Selatan, lebih sering diramaikan tamu dan warga sekitar RW 3 saja. Sementara warga di luar RW 3 kerap meminta mereka menjemput sampah dengan gerobak motor. Meski begitu, Silvia Ermita terlihat sibuk. Selama setengah jam berbincang dengan saya, ia sudah menerima tiga panggilan telepon dan meminta jeda waktu untuk menerima empat tamu.
“Kewalahan kita, sampah warga setiap seminggu itu minta diambil. Paling jauh jemput ke RW 4, sekitar 200 meter. Ini sudah mendung, gelap, semoga enggak hujan waktu kru saya keliling ambil sampah warga,” kata Silvia, Ketua Bank Sampah Rawajati, awal Februari lalu.
Beberapa saat kemudian kru pengambil sampah bersiap keliling rumah warga. Mereka terdiri tiga laki-laki dan dua perempuan dengan senjata dua gerobak motor, formulir setoran bank sampah, karung plastik, dan timbangan gantung. Petugas laki-laki memanggul barang bekas non-organik, sedangkan dua perempuan sibuk mencatat hasil timbangan. Setiba di Bank Sampah Rawajati, barulah formulir itu disalin ke buku tabungan.
“Kami dapat menampung sampah non-organik sebulan 3 ton. Organik sebulan 950 kilogram. Dengan adanya bank sampah, kami berharap warga hanya membuang 10 persen sampahnya ke TPS,” katanya.
Bank Sampah Rawajati hanya menerima sampah organik berupa daun, rumput, dan batang pohon. Selain itu, mereka juga menghimpun sampah non-organik berupa kertas, kardus, kaleng, gelas plastik, botol plastik, dan sebagainya. Jika tak bisa didaur ulang, Silvia akan mengirim sampah ke Lapak Apong di wilayah Condet, Jakarta Timur.
“Ini harga disesuaikan dengan rasa capek. Tempat sampah ini bisa buat pakaian kotor juga. Buatnya tiga hari. Harganya Rp30 ribu,” ujarnya, mencontohkan salah satu bentuk daur ulang dari kertas bekas menjadi tempat sampah.
Harga yang dipatok tergantung nilai jual di Lapak Apong. Misalkan harga kardus bekas setiap kilogram Rp1.400, maka Silvia membelinya seharga Rp1.200. Belakangan, ia mengeluh karena harga jual semakin menurun, mengurangi saldo Bank Sampah Rawajati yang kini sebesar Rp33 juta. Padahal tahun sebelumnya mereka meraup omset hingga Rp45 juta.
“Tahun 2016 harga lagi turun. Kaleng saja yang tadinya Rp2 ribu sekarang Rp150. Makanya bingung saya. Gelas Aqua itu tadinya Rp6 ribu bahkan bisa sampai Rp15.000, sekarang Rp5.500,” jelasnya.
Selain didaur ulang dan dilimpahkan ke Lapak Apong, Silvi bersama sembilan rekannya mengolah sampah organik menjadi kompos. Ada empat tahapan, dari pencacahan hingga pengepakan. Satu kantong kompos berisi 500 kilogram dijual seharga Rp10 ribu.
Di lahan seluas 500 meter persegi, Bank Sampah Rawajati juga mengelola tanaman hidroponik. Jenisnya beragam, ada sawi, bayem, dan kangkung. Panen setiap tiga minggu. Biasanya hidroponik itu membuahkan keuntungan minimal Rp400 ribu setiap bulan.
Awalnya Bank Sampah ini dibuat atas inisiatif ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. Dari semula hanya di RW 3, akhirnya mengembang ke 8 RW lain. Kemudian, pada 16 November 2013, Fauzi Bowo, mantan Gubernur Jakarta, secara resmi membuat kampung itu sebagai bank sampah percontohan. Kini mereka memiliki 737 nasabah, tetapi yang aktif 360 orang.
Tak seorang pun para penggiatnya dibayar. Omset yang terkumpul diputar lagi untuk menutupi kebutuhan operasional, dari listrik, bahan bakar mesin pencacah dan gerobak motor, bahan daur ulang kertas, hingga alat tulis kantor.
Silvia mendapati kebanyakan nasabahnya enggan melakukan pemilahan sampah sendiri. Mereka hanya mau menjual satu karung sampah dari beragam jenis. Misalnya, harga botol plastik yang masih ada air, memiliki selisih harga dengan yang sudah dibuang isi dan mereknya, sampai Rp1.700.
“Suka nakal, warga kadang enggak mau memilah sendiri. Ada juga yang campur botol, ada yang dikasih tas dan sepatu,” keluhnya.
Di ruang khusus pengelolaan kompos, Niniek Nuryanto menjelaskan kepada lima tamu mengapa Bank Sampah Rawajati tak menerima sampah sisa makanan. Ini lantaran sampah itu bisa dikelola oleh warga sendiri dengan cara yang praktis. Ia menyarankan agar setiap warga membuang ke biopori yang dekat dengan kediamannya.
Namun, sebagaimana umumnya di kawasan permukiman lain, sampah yang tidak ditangani oleh pengelolaan secara komunal seperti Bank Sampah Rawajati, akan berakhir dengan cara diambil oleh para tukang sampah, lewat gerobak dan diatur masing-masing rukun tetangga, dengan upah Rp700 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan.
Para petugas yang dipekerjakan RT ini mengantar sampah ke Lahan Pembuangan Sampah. LPS bisa menampung skala sampah minimal 3 kelurahan dalam 1 kecamatan. Setelah di LPS, kendaraan yang digerakkan pemerintah DKI Jakarta membawanya ke tempat pembuangan sampah terpadu Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Pekerjaan Rumah bagi Gubernur Jakarta
Produksi sampah di DKI Jakarta menjadi salah satu isu krusial bagi pemimpin ibu kota, siapa pun mereka, apakah gubernur petahana Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama ataupun Anies Baswedan. Isu ini pun digulirkan dalam visi dan misi serta debat kandidat.
“Ya karena itu isu yang seksi,” kata Isnawa Adji, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta di ruang kerjanya, awal Februari lalu.
Isnawa menjelaskan, isu sampah perkotaan memang harus jadi pemahaman publik yang segera diatasi. Dengan begitu, sampah yang dibebankan pada pemerintah daerah bisa dikurangi.
Baik pasangan Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi mengatakan bahwa pengelolaan sampah penduduk Jakarta harus dilakukan lewat program daur ulang berbasis komunitas, dari tingkat RT dan RW—sebagaimana contoh Bank Sampah Rawajati maupun beberapa kampung lain di Pancoran, Malaka Sari, Duri Kosambi, dan Semper.
“Ada bank sampah yang sudah memiliki saldo sampai ratusan juta, ada yang Rp80 juta. Itu mereka bisa menggerakkan banyak orang, nasabahnya bisa punya banyak uang, dan bank sampahnya berdaya di kasnya,” tuturnya.
Ahok, misalnya, pada awal Februari lalu datang ke Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Ia kesal karena menemukan tumpukan sampah di pinggir Kali Sunter. Kata Ahok, ada masalah pengelolaan sampah di kawasan masyarakat miskin; sampah menumpuk karena warga tak mampu membayar biaya patungan untuk kebersihan. Namun bagi Isnawa, sebenarnya tak ada halangan bagi masyarakat untuk melakukan penghijauan atau menjaga kebersihan. Masyarakat miskin tak harus menyumbang dalam bentuk uang.
Caranya bisa lewat musyawarah tingkat RT atau RW. Misalnya, membuat komitmen menjaga lingkungan tetap bersih. Bila ada warga yang membuang sampah sembarangan, bisa didenda 1 pohon. Kemudian bagi warga yang enggan ikut kerja bakti, bisa didenda Rp10 ribu. Secara perlahan mekanisme penghargaan dan hukuman ini bisa memunculkan kesadaran masyarakat. Ini baru satu contoh metode.
“Jadi kalau kebersamaan itu muncul di tingkat RT, saya yakin bakal banyak RT yang bersih sendiri nantinya, hijau sendiri. Jangan tergantung sama PPSU (Pekerja Penanganan Sarana dan Prasarana Umum). Sebentar-bentar ada got kotor, telepon PPSU, suruh bersihin. Kalau ada sampah numpuk di pojok suruh PPSU ambil sendiri. Salah. Harusnya RT itu diberdayakan. Kan, RT di DKI dapat uang operasional. RW dapat uang operasional,” jelasnya.
Sebagai gambaran, tahun lalu, Jakarta memproduksi sampah sebanyak 2.401.687 ton. Tahun 2015, produksi sampahnya 2.342.987 ton. Sejalan laju sampah yang terus naik tiap tahun, pemerintah Jakarta pun memperbanyak sejumlah perkakas pengelolaan sampah, dengan penambahan pelbagai truk dan eskavator.
Terkadang bahkan penambahan alat berat pengangkut sampah pun bisa menghadapi persoalan pada penampungan sampah secara terpusat. Metode ini sebetulnya sudah banyak ditinggalkan oleh sejumlah kota di dunia. Tahun lalu, misalnya, terjadi antrean truk sampah hingga 12 jam di Bantar Gebang. Solusinya, pemerintah DKI Jakarta membuat kontrak dengan PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia, perusahaan tender pengelolaan sampah, untuk meminimalisir antrean tersebut.
Pengelolaan sampah di Bantar Gebang tetap seperti sebelumnya, sampah diubah menjadi kompos, biji plastik, hingga menghasilkan listrik yang dijual ke PLN.
“Sekarang sudah tidak ada lagi sampah di Jakarta menumpuk sampai sekian meter itu," ujar Isnawa. "Jadi truk sekarang cepat balik lagi ke Jakarta, angkut banyak sampah. Kalau di tahun lalu saya akui karena punya banyak kendala. Kita kemarin baru beli 40 alat berat di Bantar Gebang.”
Ahok, dalam salah satu debat, mengatakan akan bikin program membangun insinerasi di 3 lokasi dengan kapasitas 3 ribu ton sampah per hari. Insinerasi adalah pengolahan termal dari material sampah menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Alat penggeraknya adalah teknologi yang diimpor dari negara maju yang ramah lingkungan.
Menurut Isnawa, pembelian teknologi ini tengah diproses. Dasar dari program ini adalah peraturan presiden nomor 18 tahun 2016 tentang percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah di tujuh kota termasuk di Jakarta. Program ini disebut Intermediate Treatment Facility (ITF), fasilitas pengolahan sampah di dalam kota dengan mengurangi jumlah sampah sebesar-besarnya sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir.
DKI Jakarta tengah merencanakan pembangunan ITF di Sunter untuk menampung sampah wilayah Jakarta Pusat dan wilayah Jakarta lain, minus Jakarta Selatan. Satu ITF diharapkan mampu menampung hingga 2.000 ton sampah setiap hari. Dengan begitu DKI Jakarta pelan-pelan mengurangi ketergantungan pada pembuangan sampah secara terpusat macam sekarang di Bantar Gebang. Hingga kini Bantar Gebang, yang memiliki luas 110 hektare, menanggung sampah sekitar 7.000 ton setiap hari dari Jakarta.
“Kita tidak lihat (itu usulan) petahana atau tidak, itu sudah kebutuhan Jakarta. Jakarta harus punya, terserah mau pasangan calon manapun ngomongin itu. Siapa pun calon gubernurnya, pasti akan memandang masalah sampah harus menjadi prioritas," kata Isnawa.
"Paling lama kita harapkan pada 2021, Jakarta sudah mandiri dalam hal pengolahan sampah,” ujarnya.
Selain program fasilitas pengolahan sampah di dalam kota, usulan lain dari petahana ialah memasang 8 ribu CCTV di pelbagai titik kawasan rawan perkotaan. Isnawa menganggap bahwa program ini penting untuk dieksekusi.
Untuk mengetahui bagaimana pengawasan terhadap apa yang disebut "titik rawan" problem Jakarta, saya diajak melihat sebuah ruang pusat pengendali berisi layar monitor yang memantau situasi ibu kota.
“Sekarang bisa real time melihat pergerakan truk sampah," katanya menunjuk layar, "bisa tahu mana kali dan sungai yang kotor, mana titik-titik yang masih perlu penanganan." Ia mengatakan DKI Jakarta kini memiliki sekitar 5.000 CCTV milik pemerintah maupun bekerjasama dengan swasta.
Selain bisa memantau langsung laporan warga melalui aplikasi Qlue, di ruang pengendali itu kita bisa melihat titik lokasi alat berat dan truk sampah.
"Ini semua terkoneksi dengan Smartcity di Menkominfo. Bahkan kami juga bekerja sama dengan gedung-gedung di Jakarta. Kalau gedung itu punya CCTV mengarah ke aliran sungai, kita bisa koneksikan ke IT kita," ujar Isnawa.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam