Menuju konten utama

Merunut Kasus Richard Lee & Mengapa Tidak Tepat Dijerat UU ITE

Pengacara Publik LBH Jakarta Nelson sebut Pasal 30 UU ITE tidak tepat dipakai untuk menjerat Richard, lantaran di situ disebutkan "milik orang lain."

Merunut Kasus Richard Lee & Mengapa Tidak Tepat Dijerat UU ITE
Richard Lee (tengah) dipulangkan Polda Metro Jaya pada Kamis malam (12/8), ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

tirto.id - Subdit Siber Polda Metro Jaya menangkap Richard Lee karena dugaan akses ilegal terhadap akun Instagram @dr.richard_lee. Akun tersebut telah disita polisi, tapi diakses oleh si pemilik.

"Ini terjadi akses ilegal dan pencurian oleh seseorang, kemudian dilakukan lidik dan sidik oleh penyidik. Berdasarkan penyelidikan, ternyata yang lakukan akses ilegal dan pencurian akun dilakukan sendiri oleh RL," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, Kamis (12/8/2021).

Kasus ini bermula ketika polisi menyidik kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Richard terhadap Kartika Putri, melalui akun Instagram-nya. Dalam perkara ini, penyidik masih mengupayakan mediasi dan selama proses penyidikan berlangsung, akun Instagram Richard Lee disita berdasarkan keputusan hakim.

Kemudian, pada 6 Agustus 2021, penyidik melihat unggahan di akun @dr.richard_lee, yang bertuliskan “Hai semua, akhirnya saya kembali lagi setelah sekian lama. Ini adalah perjuangan yg luar biasa!! Banyak halangan, banyak hambatan..”.

“Padahal secara sadar, R mengetahui akun tersebut telah disita berdasarkan surat penyitaan tanggal 5 Agustus (yang diterbitkan) Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, dikuatkan dengan ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juli 2021,” jelas Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Kompol Rovan Richard Mahenu.

Pada 10 Juli, pengadilan membuatkan berita acara penyitaan terhadap akun Richard. Tak hanya itu, polisi juga menemukan bukti bahwa Richard mengunggah promosi produk.

"Yang bersangkutan ada mengunggah endorse di akun Instagram-nya, di-story maupun feed-nya, padahal akunnya sudah kami sita," sambung Rovan. Polisi pun menduga Richard menghapus barang bukti, yakni unggahannya ketika akun tersebut dikuasai penegak hukum.

Akibat unggahan itulah polisi menangkap Richard pada 11 Agustus 2021 di rumahnya di kawasan Palembang, Sumatera Selatan. Dalam perkara akses ilegal ini, Richard dijerat Pasal 30 juncto Pasal 46 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Pasal 231 KUHP dan/atau Pasal 221 KUHP. Dia terancam 8 tahun penjara.

Richard pun harus lapor diri dalam perkara ini. "Sudah dilakukan pemeriksaan, tidak dilakukan penahanan dan wajib lapor, dengan alasan yang bersangkutan kooperatif selama pemeriksaan," ujar Yusri.

Sementara, perkara dugaan pencemaran nama baik terhadap Kartika Putri, polisi masih mengusutnya.

Richard Lee Tersangka, tapi Tidak Ditahan

Dalam unggahan di akun Instagram @dr.richardlee_official, Richard berterima kasih dan mengatakan bahwa "saya sudah kembali". Hal itu diunggah usai ia menjalani pemeriksaan.

Razman Arif Nasution, kuasa hukum Richard, mengatakan kalau kliennya dibebaskan atas perintah langsung dari Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.

"Pertama, kami berterima kasih kepada Bapak Kapolri yang telah mengatensi kejadian atau perkara tentang klien saya. Klien saya tidak ditahan atas atensi Pak Kapolri," kata Razman, usai pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Kamis (12/8/2021), usai pemeriksaan Richard.

Kooperatif selama pemeriksaan jadi dalih polisi tidak menahan Richard di sel.

Razman membandingkan kasus Richard dengan kasus lain dalam segi persepsi hukum. Misalnya, ada garis polisi yang membatasi sebuah rumah yang bersengketa. Tapi untuk memasuki rumah itu harus dengan keputusan polisi atau ketetapan pengadilan.

“Kalau dunia maya, bagaimana? Dia (Richard) bilang, mengunggah itu di (akun) Facebook. Lalu otomatis terunggah di (akun) Instagram. Lalu kami tidak menghilangkan data yang lain, mungkin hilang otomatis atau apa,” jelas Razman.

Ia berpendapat perlu ada kajian teknologi dalam perkara ini. Bahkan tim kuasa hukum bisa mendatangkan ahli untuk kesaksian di pengadilan.

Yang disita polisi pun akun Instagram Richard, bukan akun Facebook-nya. Menurut si advokat, Facebook berbeda dengan akun media sosial lainnya. “Saya minta dia tidak ditahan dan biar nanti di pengadilan kami datangkan ahli. Kalau memang ini dianggap serius, kami bawa ke Mahkamah Konstitusi. Kami minta putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Razman.

Bahkan kuasa hukum pun meminta penangguhan penahan untuk Richard, istri dokter tersebut jadi pihak penjamin. Razman yakin kliennya tak melarikan diri dari perkara.

Tak Tepat Menjerat Richard Lee dengan UU ITE

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora berujar untuk Pasal 30 UU ITE tidak tepat dipakai untuk menjerat Richard, lantaran di situ disebutkan "milik orang lain."

“Sedangkan itu (akun Facebook dan Instagram) milik dia sendiri. Memang sedang disita, tapi penyitaan bukan berarti barang tersebut berubah kepemilikan jadi punya polisi. Dia bisa kena (pasal) menghilangkan barang bukti,” kata Nelson kepada reporter Tirto, Jumat (13/8/2021).

Richard dapat dijerat Pasal 231 KUHP jika ia terbukti menghapus unggahan yang terkait dengan tindak pidana. Namun bila yang dihapus adalah unggahan yang tidak berkelindan dengan tindak pidana, maka penghapusan itu bukanlah masalah.

Bunyi Pasal 231: [PDF]

Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang atau yang dititipkan atas perintah hakim, atau dengan mengetahui bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Ayat (2): Dengan pidana yang sama, diancam barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak atau membikin tak dapat dipakai barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang.

Ayat (3): Penyimpan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Ayat (4): Jika salah satu perbuatan dilakukan karena kealpaan penyimpan barang, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.

“Lagi pula yang dilakukan polisi itu berlebihan. Buat apa sita akunnya? Bikin berita acara pemeriksaan saja, lalu ekstrak, dan simpan videonya. Cukup dokumentasikan, tak usah sita akun,” tutur Nelson.

Pun misalnya akun Richard disita, kata dia, polisi bisa memastikan dia tidak dapat mengakses akun tersebut, misalnya dengan mengganti kata kunci akun media sosial.

Kasus-kasus pencemaran nama baik merupakan pasal-pasal karet dan antikritik. Pihak yang tidak suka dikritik, sambung Nelson, bisa gampang saja lapor polisi. Bukan tak mungkin seseorang diproses hukum karena unggahan di media sosial.

Perihal wajib lapor, sebetulnya itu adalah kelanjutan dari pengalihan penahanan, dari penahanan di rutan menjadi tahanan kota. Nelson menyatakan wajib lapor itu ada karena polisi tak ingin repot mengawasi, maka ‘meminta’ si tersangka untuk wajib lapor demi memastikan dirinya tak melarikan diri.

Peluang Revisi UU ITE

Presiden Joko Widodo membuka peluang untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pernyataannya disampaikan saat rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga mengatakan hal serupa. Lewat akun Twitter ia bilang: “Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk merevisi UU ITE. Dulu pada 2007/2008 banyak yang usul dengan penuh semangat agar dibuat UU ITE. Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknya, lah. Ini kan demokrasi.”

Pernyataan ini keluar hanya satu bulan sejak pemerintah dan DPR mengesahkan 33 rancangan undang-undang yang masuk ke dalam program legislasi nasional prioritas 2021. UU ITE tidak termasuk di dalamnya.

Ditarik lebih jauh, sejak disahkan pada 2008 lalu, UU ITE memang telah memakan banyak korban: mulai dari warga biasa sampai oposisi pemerintah sesama politikus. Ia kerap digunakan sebagai alat untuk memenjarakan pihak yang berbeda pendapat atau malah untuk membungkam kritik. Dalihnya banyak: melanggar kesusilaan, penghinaan, menyiarkan kebencian, hingga pencemaran nama baik.

Sementara, berdasarkan data kasus 2008-2020 yang dikumpulkan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menunjukkan aktivis, jurnalis, akademisi kini menjadi pihak yang lebih sering dilaporkan, meskipun mayoritas yang dilaporkan masih warga kebanyakan.

70 persen dari para pelapor UU ITE adalah kalangan pejabat publik (38 persen), kalangan profesi (27 persen) dan kalangan pengusaha (5 persen), sedang sisanya adalah sesama warga (29 persen) dan tidak jelas latarnya (1 persen). Lantas, merujuk dari pemantauan kasus-kasus UU ITE di lembaga peradilan oleh Koalisi Masyarakat Sipil menunjukkan dari 2016-2020 terdapat 768 perkara terkait pasal bermasalah UU ITE.

Bila sebelumnya kebanyakan kasus diputus dengan pidana percobaan ringan, pasca revisi UU ITE 2016 kasus-kasus UU ITE justru menunjukkan tingkat penghukuman hingga 96,8 persen (744 perkara) dan tingkat pemenjaraan mencapai 88 persen (676 perkara) dengan putusan penjara 1-5 tahun, sedang putusan pidana percobaan hanya 9 persen (68 perkara).

Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Sukamta mengatakan rencana Jokowi merevisi UU ITE harus komprehensif. Jika tidak, pernyataan Jokowi hanya langkah politis jelang 2024 saja.

“Kemungkinan UU ITE yang sudah direvisi baru bisa diterapkan pada tahun 2023 atau 2024 di pengujung masa jabatan Presiden Jokowi. Jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya gerak politik kosong belaka,” kata Sukamta lewat keterangan tertulis, Selasa (16/2/2021).

Baca juga artikel terkait KASUS DR RICHARD LEE atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz