tirto.id - Inilah kisah Karima dan Radit. Mereka pasangan suami istri dengan dua anak: Suluh dan Tirta. Karima, seorang ibu rumah tangga dengan kemampuan tata boga mumpuni sekaligus garda terdepan ketahanan pangan keluarga. Radit, desainer grafis untuk agen periklanan yang nyaris tak pernah menyentuh kantor semenjak pandemi. Suluh, bocah berusia 4 tahun dengan keingintahuan tinggi. Dan Tirta, masih bocah 10 bulan yang gemar rebahan di pangkuan ayah atau ibu.
Awal Maret lalu, ketika libur panjang akhir pekan, mereka berencana merayakan Sabtu di rumah. Kata Radit, sebagai kompensasi telah bekerja keras di permulaan tahun. Sebenarnya Karima mau membawa anak-anak tamasya ke luar kota. Radit menolak, sebab jalanan pasti macet.
Radit menyiapkan perlengkapan hiburan: mesin karaoke, daftar lagu favorit mereka; sekaligus bebenah rumah. Karima mengurus kudapan; ia berencana membuat kue bola ubi ungu, camilan kesukaan keluarga (kecuali si bocah 10 bulan). Suluh dan Tirta, tentu saja mereka berlakon sebagai tamu agung.
“Kami batal bikin kue bola,” aku Karima pada saya di rumahnya di Depok, Rabu (9/3/2022). “Gue baru engeh [sadar] minyak goreng tinggal seliter setengah.”
Dalam situasi stok minyak goreng sawit menjadi jarang dan mahal. Karima mengambil keputusan tepat. Ia kapok keliling toko kelontong dan swalayan mencari minyak goreng. Sekalipun ada di swalayan, pembelian dibatasi hanya untuk 2 liter saja per orang. Sementara di warung harganya kisaran Rp35 ribu – Rp39 ribu per dua liter minyak goreng premium. Padahal biasanya ia beli dengan harga Rp28 ribu.
Satu liter setengah minyak goreng bisa bermanfaat untuk beberapa hari ke depan, pikir Karima. Tapi karena ia kadung janji, ia putar otak dan mengolah ubi-ubi menjadi kue bolu. “Gue cuma perlu uap air, bukan minyak panas,” kata Karima.
“Semenjak minyak susah, gue mengurangi gorengan dan tumisan. Ya, akal-akalan emak-emak deh. Alhamdulillah, suami dan Suluh suka,” imbuhnya.
Seharusnya pasokan minyak goreng sudah pulih sejak 14 Februari 2022. Sebab Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bilang 415.787 ton minyak goreng atau 72,4 persen dari total Domestic Market Obligation (DMO) sudah terdistribusi dalam kurun 14 Februari – 8 Maret 2022.
Hal tersebut wujud implementasi Permendag 8/2022 tentang Perubahan Kedua atas Permendag 19/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Sehingga eksportir CPO kudu memasok 20 persen minyak goreng dari volume ekspor mereka ke pasar dalam negeri.
“Distribusi DMO tersebut sudah melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi minyak goreng satu bulan yang mencapai 327.321 ton. Pasokan minyak kita melimpah,” ujar Lutfi dalam konferensi pers, Rabu (9/3/2022).
Pernyataan pemerintah tidak berbanding lurus dengan keadaan lapangan. Selain Karima dan keluarga; Latifah, seorang pengusaha Warung Tegal skala kecil di Depok juga turut merintih akibat krisis minyak goreng.
Sudah nyaris satu bulan, ia meniadakan gorengan dari menu jualan harian. Sebab minyak goreng langka di pasaran. Tidak ada di minimarket. Warung terdekat menjual dengan harga Rp36 ribu per dua liter minyak premium. Dalam kondisi normal hanya Rp26 ribu. Sementara kebutuhan minyak Latifah 4-5 liter dalam satu hari.
“Saya nggak mungkin menaikkan harga. Bisa ditinggal pembeli,” ujarnya kepada saya, Rabu lalu.
Latifah tidak punya pilihan selain tetap membeli minyak goreng dengan harga tinggi. Ia juga tidak berani mengurangi lebih banyak menu terkecuali aneka gorengan: tahu, tempe, dan bakwan.
“Tumis, sambal butuh minyak. Sekali goreng ikan itu, minyak, kan, harus ganti juga. Nggak bisa dipakai lagi,” keluhnya.
Pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET): Minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter. Namun, kenyataan di lapangan lebih mahal dari HET.
Lonjakan harga dan kelangkaan stok di pasar diduga akibat spekulan dan penimbunan dan penyelewengan pasokan ke luar negeri. Pemerintah pun bekerja sama dengan Polri akan menindaktegas pelaku sesuai hukum yang berlaku.
“Kami memiliki data yang terverifikasi, informasi tangka penyimpanan dan jalur distribusi minyak goreng. Data tersebut siap kami bagikan ke Polri,” ujar Mendag Lutfi.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah meminta pemerintah bersikap tegas dengan menindak secara hukum dan membuka daftar perusahaan yang abai terhadap DMO kelapa sawit. Ia juga minta pemerintah menghentikan sementara ekspor kelapa sawit dalam kurun satu bulan.
“Karena tidak efektifnya kebijakan DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) di lapangan, dan masih terus membumbung tinggi serta kelangkaan minyak goreng di banyak daerah,” ujar Said dalam keterangan tertulis, Rabu.
Lepas dari Ketergantungan Sawit
Krisis minyak goreng sawit membuktikan kuatnya ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap produk olahan gorengan. Menurut Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universita Padjadjaran cum Pakar Gastronomi, Fadly Rahman situasi ini berkelindan dengan masifnya industri perkebunan sawit yang telah tumbuh di Indonesia sejak abad ke-19 peralihan abad ke-20.
Ketika itu masih zaman kolonial Belanda, pasokan sawit mengalami surplus. Para pelaku industri mencium prospek bisnis gemilang. Apalagi iklim dan kondisi tanah sangat mendukung. Permintaan hingga ke mancanegara berjibun. Dan kondisi tersebut bertahan hingga masa kemerdekaan.
“Perkebunan sawit dinasionalisasi, diambil alih orang Indonesia. Berkembang menjadi gurita ekonomi yang menguntungkan segelintir pengusaha perkebunan,” ujarnya kepada saya, Rabu (9/3/2022).
Pertumbuhan pesat komoditas sawit pada era Orde Baru. Membuat posisi Indonesia sebagai eksportir sawit diperhitungkan dunia. Minyak goreng sawit pelan-pelan menggeser keberadaan minyak goreng kelapa. Karena harga minyak goreng sawit murah dan terjangkau, kata Fadly.
Tren menggoreng dengan minyak sawit juga mengubah pola memasak di masyarakat Indonesia. Sebelumnya warga terbiasa mengolah makanan dengan cara rebus, kukus, panggang, dan bakar.
Kini, masyarakat menggemari makanan yang renyah dan tahan lama. Makanan yang digoreng memiliki kecendrungan awet ketimbang makanan yang direbus dan dikukus.
“Mindset masyarakat juga berubah karena terkait dengan ekonomi,” ujarnya.
Padahal makanan gorengan dengan minyak sawit tidak baik bagi kesehatan. Penting untuk masyarakat kembali membiasakan mengolah makanan dengan direbus, dikukus, dipanggang, atau difermentasi. Dalam konteks ini, pemerintah mesti memberikan pendidikan sebagai bekal pengetahuan bagi masyarakat, terutama ibu rumah tangga.
“Ini adalah momen yang sangat baik untuk memutus mata rantai terhadap sawit dan mafia pangan yang permainannya sudah membahayakan kita semua,” tegasnya.
Said Abdullah menyatakan hal senada, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk menerapkan cara pengolahan makanan selain dengan menggoreng. Ia menyarankan agar pemerintah mengembangkan diversifikasi pangan rakyat. Agar masyarakat tidak lagi tergantung pada minyak goreng sawit.
“Ketergantungan kita terhadap minyak goreng sawit sangat tinggi. Padahal kita juga mengenal virgin coconut oil (VCO) atau minyak kelapa yang lebih sehat dari minyak sawit,” ujar Said dalam keterangan tertulis.
Certified Nutrition and Wellness Consultant Nutrifood, Moch. Aldis Ruslialdi mengatakan makanan yang digoreng bisa memicu munculnya penyakit kolestrol dalam darah. Mengakibatkan tingginya risiko penyakit kardiovaskular: jantung koroner.
Ia menyebutkan bahwa minyak jagung dan kanola lebih sehat karena rendah lemak jenuh, yakni masing-masing 13 persen dan 7 persen. Sementara minyak zaitun hanya satu persen lebih tinggi lemak jenuhnya daripada minyak jagung, yakni 14 persen.
Kemudian, minyak lainnya, seperti minyak kelapa mengandung 92 persen lemak jenuh, lalu minyak sawit dengan kandungan 52 persen lemak jenuh, yang berarti minyak goreng non-kolesterol bukanlah solusi sehat.
“Lemak jenuh banyak cenderung membeku, (minyak goreng) yang baik sukar membeku. Minyak goreng yang sehat adalah minyak yang rendah kandungan lemak jenuhnya karena konsumsi lemak jenuh meningkatkan kadar kolesterol,” ujar Aldis.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz