Menuju konten utama
Round Up

Saat Kebijakan Pemerintah Jokowi Tak Mempan Atasi Masalah Pangan

Peneliti INDEF Nailul Huda mengingatkan sejumlah faktor mengapa kebijakan pemerintah cendrung tidak menyelesaikan persoalan.

Saat Kebijakan Pemerintah Jokowi Tak Mempan Atasi Masalah Pangan
Pedagang menata daging sapi yang dijual di Pasar Senen, Jakarta, Senin (10/5/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

tirto.id - “Kita harus berani setop impor pangan, setop impor beras, setop impor daging, bawang, kedelai, sayur buah, ikan, karena semua itu kita punya.”

Kalimat tersebut disampaikan Joko Widodo saat ia masih menjadi calon presiden periode 2014-2019. Janji itu disampaikan di depan masyarakat Cianjur, Jawa Barat pada Juli 2014. Namun, janji itu mungkin hanya sekadar janji karena hingga kini pangan Indonesia masih ketergantungan pada impor.

Teranyar, Presiden Jokowi resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2022 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan per 24 Februari 2022. Dalam aturan terbaru ini, Jokowi membolehkan pihak swasta melakukan pengadaan impor daging selama memenuhi syarat tertentu.

“Selain badan usaha milik negara, pelaku usaha lainnya dapat melakukan pemasukan Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setelah memenuhi persyaratan tertentu," demikian bunyi Pasal 7 ayat 2 PP tersebut.

Kebijakan itu tentu tidak bisa dilepaskan dengan aksi pedagang daging sapi baru-baru ini. Dalam beberapa hari terakhir, harga daging sapi merangkak naik. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) 4 Maret 2022 misal, harga rata-rata daging di semua provinsi berada pada angka Rp126.900. Angka ini bergerak dari Rp125.400 per 23 Februari 2022. Dalam data yang sama, harga daging sudah mencapai Rp140 ribu yakni di Aceh (Rp140.650) dan DKI Jakarta (Rp140.000).

Kenaikan harga tersebut direspons dengan aksi mogok para pedagang daging di beberapa wilayah Indonesia sejak 28 Februari hingga 4 Maret 2022. Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan mereka dan menuntut harga daging turun, tetapi tidak digubris. Pedagang pun merasa aksi mereka percuma.

“Ya menurut saya enggak ada gunanya lah. Karena kan kita mengharapkan harga turun,” kata salah satu pedagang daging sapi, Adi di Pasar Slipi, Palmerah, Jakarta Barat, dikutip dari Antara.

Adi menilai justru aksi mogok selama lima hari itu membuat para pedagang daging merugi karena tidak mendapatkan penghasilan. “Saya jadi rugi jutaan lah karena mogok kemarin," ujar Adi.

Adi mengungkapkan selama mogok berjualan itu seharusnya bisa menjual 5 kg hingga 6 kg daging sapi per harinya. Padahal, sewaktu harga daging sapi pada kisaran Rp110.000 per kilogram, Adi bisa menjual 10 kilogram hingga 20 kilogram per hari.

“Sekarang mah lihat saja, masih sepi. Apalagi pas harganya masih Rp140.000,” tutur dia.

Sementara itu, pedagang sapi lainnya, Suminta (54) mengaku kesulitan menjual daging dengan harga Rp140.000 per kilogram. Bahkan menurut dia, kemungkinan harga akan terus naik mendekati hari lebaran.

“Kalau tahun lalu kan pas lebaran itu bisa sampai Rp150.000," ujar Suminta. Dia berharap pemerintah mau membantu para pedagang sapi untuk menurunkan harga daging per kilogram agar mudah menjual dagangannya.

Kebijakan Pemerintah Tak Mempan?

Kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah pangan, tapi masih menyisakan masalah baru bukan kali pertama di 2022. Salah satunya masalah minyak goreng yang masih tetap langka dan harga belum stabil. Langkah yang diambil pemerintah seolah-olah tak mempan mengatasi permasalahan ini. Soal minyak goreng bisa dibaca di link ini.

Selain kasus minyak goreng, pemerintah juga dihadapkan dengan masalah kedelai. Pada 23 Februari 2022, para perajin tahu tempe bahkan melakukan aksi mogok produksi. Hal ini sebagai respons atas kenaikan harga kedelai impor yang mencapai Rp11.500/kg di Februari 2022. Padahal, harga kedelai pada 2021 masih Rp9.500/kg. Hingga kini, belum jelas upaya pemerintah dalam menyelesaikan kasus kedelai ini.

Contoh lain adalah harga telur. Telur sempat tembus harga Rp30.300 per kilogram pada 30 Desember 2021. Pemerintah kemudian merespons dengan melakukan operasi pasar.

Harga telur pun akhirnya turun di angka Rp23.900/kg rata-rata di semua provinsi pada 17 Februari 2022. Sebagai perbandingan, harga telur di Jakarta pada 17 Februari adalah Rp20.850. Namun harga kembali naik di angka Rp24.250/kg untuk harga rata-rata, sementara khusus Jakarta tembus Rp23.350/kg.

Masalah Tata Kelola

Langkah pemerintah yang tidak mempan menyelesaikan masalah pangan ditanggapi sejumlah ekonom. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengingatkan ada sejumlah faktor mengapa kebijakan pemerintah cendrung tidak menyelesaikan persoalan.

Faktor pertama adalah ongkos produksi dan situasi dunia internasional. Hal ini terjadi pada kasus minyak goreng yang bergantung pada harga kelapa sawit yang tinggi serta dampak perang Ukraina-Rusia yang memengaruhi harga minyak atau kasus kenaikan harga kedelai yang terdampak akibat inflasi dolar Amerika.

Faktor kedua, kata Nailul, adalah memang adanya kenaikan permintaan komoditas pangan tertentu secara signifikan pada momen-momen tertentu seperti kenaikan permintaan daging saat jelang Ramadan dan Idulfitri.

“Saya rasa kenaikan harga daging disebabkan oleh naiknya permintaan menjelang bulan puasa. Memang siklusnya menjelang puasa naik, nanti sampai lebaran biasanya tetap tinggi. Untuk kenaikan harga yang disebabkan kenaikan permintaan bisa ditanggulangi dengan mengguyur stok di pasar atau istilahnya operasi pasar,” kata Nailul kepada reporter Tirto, Jumat (4/3/2022).

Faktor lainnya adalah kemunculan para pemburu rente. Kelompok ini berusaha mencari untung mulai dari permintaan, produksi hingga situasi global.

Dalam pandangan Nailul, pemerintah selama ini masih belum cakap dalam menangani masalah pangan ini. Ia mencontohkan bagaimana pemerintah tidak mampu mengambil sikap dengan keberanian memproduksi sendiri minyak goreng skala besar untuk mencegah kekurangan minyak.

Ketidakcakapan lain pemerintah dalam masalah pangan adalah ketidakmampuan memitigasi lonjakan harga, kata Nailul. Pemerintah seharusnya sudah bisa mengambil langkah antisipatif jauh-jauh hari sebelum terjadi masalah harga sembako.

“Contohnya daging ini yang tiap mau puasa dan lebaran pasti naik karena permintaan yang naik. Maka seharusnya pemerintah sudah sedia stok yang melimpah untuk antisipasi harga daging yang akan naik," kata dia.

Oleh karena itu, Nailul mendorong agar pemerintah memenuhi kebutuhan dalam negeri secara mandiri. Selain itu, pemerintah harus bisa menyiapkan perbanyak stok pangan untuk menghindari inflasi yang tinggi.

“Kemudian, sistem distribusi impor barang diatur seketat mungkin untuk menghindari pemburu rente,” kata Huda.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berbicara lebih jauh. Ia khawatir masalah yang ada sudah tersistematis. Ia memahami ada masalah harga produk yang tidak bisa dikelola seperti minyak goreng, tetapi bukan berarti pemerintah lepas tangan ketika kontrol harga pangan dipegang dunia internasional.

“Okelah itu dari sisi internasional nggak bisa dikendalikan. Yang bisa dikendalikan adalah mitigasi di dalam negeri,” kata Bhima kepada reporter Tirto.

Bhima juga menyindir soal kebijakan domestic market obligation (DMO) bagi eksportir produk sawit yang dinilai terlambat. Ia mengingatkan, wacana DMO sudah muncul sejak 2020, tetapi baru dilaksanakan saat Indonesia krisis minyak goreng saat ini.

Bhima juga mencontohkan komoditas lain, yakni kedelai. Pemerintah seharusnya mendorong produksi kedelai dengan kondisi 80 persen kedelai Indonesia adalah impor. Namun pemerintah justru mendorong pertumbuhan properti padahal angka produksi kedelai terus menurun.

Masalah lain adalah soal peran lembaga yang tidak optimal. Bhima menyebut peran Bulog yang tidak masuk dalam rantai distribusi dalam menjaga stok sembako agar harga tetap stabil.

Selain itu, Bhima juga menyindir posisi Satgas Pangan yang tidak jelas hasil kerjanya padahal sudah menemukan pelanggaran berupa upaya penimbunan bahan pokok seperti soal penimbunan minyak goreng. Akan tetapi, penindakan hukum tersebut tidak jelas.

“Kalau kita bicara soal kegagalan pemerintah, selain terlambat untuk antisipasi seperti pemadam kebakaran, panik, operasi pasar bahkan tidak sedikit kepala daerah yang memanfaatkan situasi untuk meraup elektabilitas," tegas Bhima.

Oleh karena itu, kata Bhima, pemerintah harus mengambil sejumlah langkah. Pertama, mulai perbaiki tata niaga dengan memonitor proses distribusi barang. Ia mencontohkan proses distribusi minyak goreng yang mencapai 7 pemain di rantai pasok. Pelaku penimbun harus ada penegakan hukum demi memastikan pasokan pangan terpenuhi.

“Jadi memastikan kalau klaim misalnya pasokan aman, tapi gak sampai ke masyarakat bawah berarti ada distributor yang main di situ. Nah ini harus dilakukan penegakan hukum," kata Bhima.

Kedua, pemerintah harus mengurangi target produksi B30 dalam kasus penanganan minyak goreng. Hal tersebut penting mengingat Indonesia lebih butuh minyak goreng daripada bahan bakar untuk kebutuhan energi.

Dalam kasus komoditas impor dengan negara lain, kata Bhima, pemerintah bisa melakukan kerja sama yang lebih tegas dan mencari alternatif penjual. Sebagai contoh, Indonesia impor gandum dari Ukraina bisa disubstitusi ke Australia atau ke Amerika dengan catatan kontrak dan harga yang jelas dan tegas.

Ketiga, pemerintah harus mengoptimalisasi Bulog lagi. Bulog harus bisa mengambil momentum dengan mengambil barang dengan membeli barang komoditas di saat harga murah dan mendistribusikan saat harga barang mulai mahal. Jika ada kendala keuangan, maka pemerintah harus memberikan dana pemulihan ekonomi nasional sebagai unsur pemulihan ekonomi.

“Anggaran untuk stabilisasi pangan bisa dimasukkan ke dalam anggaran PEN, karena pemulihan ekonomi nggak berjalan optimal kalau inflasi terlalu tinggi, khusunya dari sisi pangan, jadi harus bisa ditahan dengan tambahan anggaran untuk gudang-gudang Bulog harusnya," kata Bhima.

Bhima menambahkan. “Jadi serapan bulog paling tidak untuk komoditas strategis beras, kedelai, jagung itu bisa mencukup sampai akhir tahun.”

Keempat atau terakhir, kata Bhima, pemerintah bisa memberikan subsidi. Namun subsidi yang diberikan tidak boleh ke arah swasta, tetapi langsung kepada pihak yang terpengaruh di harga bawah atau memberikan ke Bulog.

“Jadi saya kira subsidi, ya subsidi ke Bulog lah harusnya. Jadi Bulog harus bermain baik ngambil dari sisi distribusi dan memastikan ke pasar-pasar tradisional dan ritel modern. Bulog itu harus sampai ke sana, jadi fungsi Bulog harus diperkuat lagi," tutur Bhima.

Baca juga artikel terkait PANGAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz