tirto.id - Peristiwa rombongan pengendara harus berurusan dengan kepolisian kerap terjadi. Kejadian baru-baru ini, rombongan supermoto melintasi Jalan Tol Layang Dalam Kota Kelapa Gading-Pulogebang, Sabtu, 26 Februari 2022, sekitar pukul 3 pagi. Perbuatan mereka viral di media sosial.
Polisi memeriksa rombongan itu pada Minggu, 6 Februari 2022. Hasilnya, kelompok pengendara roda dua itu tak tahu bahwa jalur yang mereka lintasi adalah jalan bebas hambatan. Polisi pun memberikan sanksi kepada para pelanggar tersebut.
“Iya (para pengendara) sudah minta maaf. 21 kendaraan (motor rombongan) kami tilang dan amankan di Subdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, 28 orang sudah kami klarifikasi,” ujar Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Jamal Alam, ketika dihubungi Tirto, Senin (7/3/2022).
Mereka dijerat Pasal 287 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan ancaman pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.00 lantaran melanggar pasal rambu larangan sepeda motor masuk tol. Regulasi ini juga berguna bagi pemotor yang nekat melintasi tol.
Sebagai upaya preventif agar insiden serupa tak berulang, polisi menyiapkan dua hal. “Kesatu, dilaksanakan penjagaan di jalan penghubung menuju tol yang tidak memiliki gardu tol oleh jajaran Satuan Petugas Jalan Raya. Kedua, diimbau agar pengelola jalan tol memasang gerbang masuk tol,” terang Jamal.
Tak hanya ‘ketidaktahuan’ publik soal peraturan lalu lintas. Kerap ada masyarakat yang meminta pengawalan polisi, baik itu personal atau kelompok. Oktober 2020, seorang pria diduga Richard Muljadi, cucu konglomerat yang sempat bermasalah empat tahun lalu, lari bersama seekor anjing dan dua pria lain. Apa yang bikin ramai adalah mereka berlari diiringi dengan mobil Patroli Jalan Raya. Peristiwa itu terjadi di Denpasar, Bali.
Kemudian ada rombongan konvoi motor gede dengan pengawalan dari kepolisian, lolos tidak diperiksa di pos pemeriksaan ganjil-genap Kota Bogor, Jumat, 12 Februari 2021. Iring-iringan belasan motor besar berpelat nomor B itu memasuki kawasan Kota Bogor sekitar pukul 08.30 dari Jalan Raya Parung melalui Jalan Sholeh Iskandar.
Petugas gabungan dari dishub dan kepolisian di simpang Lotte Grosir Yasmin tak memberhentikan rangkaian kendaraan untuk dicek pelat nomornya. Padahal beberapa kendaraan dalam konvoi itu berpelat nomor ganjil, yang dilarang masuk Kota Bogor pada saat pemberlakuan sistem ganjil-genap pada hari tersebut.
Ada juga warganet yang mengunggah rombongan motor gede yang menerobos lampu merah. Padahal ada pengendara motor lain yang berhenti.
Arogansi rombongan maupun pengawalan dari kepolisian, membuat publik bersuara. Gabungan dua entitas itu tak mencerminkan keadilan bagi seluruh pengguna jalan raya.
Secara legalitas, polisi memang diperbolehkan mengawal kendaraan. Misal pada Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, menyatakan “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.”
Ada juga di Pasal 134 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan [PDF] yang menegaskan bahwa pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan yakni: a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; b. Ambulans yang mengangkut orang sakit; c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas; d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; f. Iring-iringan pengantar jenazah; dan g. Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Hal ini diperkuat Pasal 135 ayat (1) yaitu “Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.” Merujuk kepada regulasi tersebut, polisi boleh mengawal konvoi kendaraan, tapi tujuan iring-iringan harus jelas.
“Apakah itu bermasalah dari sisi legalitas? Itu tidak bermasalah, karena basis legalitasnya ada. Tapi urgensinya, apa? Perspektif masyarakat melihat pengawalan polisi terhadap kelas menengah ke atas akan menimbulkan polemik. Jangan sampai ada opini polisi hanya mau mengawal kelompok ini saja,” tutur peneliti di Pusat Riset Politik BRIN, Sarah Nuraini Siregar, kepada Tirto, Senin (7/3/2022).
Polisi mestinya bisa memahami hal mendesak apa yang menyebabkan mereka turun tangan mengawal konvoi kendaraan mewah. Bahkan yang sering ditemukan, lanjut Sarah, keberadaan pengawalan Korps Bhayangkara malah ‘meminggirkan’ hak pengguna jalan lain.
“Seharusnya konvoi itu memberikan keamanan dan keadilan terhadap pengguna jalan lain demi kelancaran lalu lintas, tapi yang terjadi sebaliknya,” kata Sarah.
Perihal diskresi kepolisian, kebijakan ini terbilang luas dan cair. Artinya, bagaimana polisi mengejawantahkan keputusannya. Namun kehendak polisi itu bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Umpama dalam kemacetan yang sulit diurai, lalu rombongan tersebut sulit bergerak, diskresi ‘melibas aspal’ boleh saja. Namun jika keadaan lalu lintas normal atau lengang, maka polisi tak perlu menggunakan kewenangannya untuk menyingkirkan hak pengguna jalan lain.
Bisakah diskresi yang dipilih oleh anggota patroli jalan raya melahirkan sanksi bagi mereka? Perlukah Divisi Profesi dan Pengamanan menelusuri pelanggaran kepolisian yang mengawal konvoi? Sarah berpendapat, biasanya Divisi Profesi dan Pengamanan bergerak jika ada pengaduan dan sejatinya menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran kode etik dan pidana.
“Persoalannya, sampai sekarang belum ada mekanisme pengawasan atau evaluasi atas diskresi yang diambil polisi,” ucap Sarah.
Kewenangan dan kerawanan penyalahgunaan bagai dua sisi uang, termasuk penyalahgunaan diskresi. Polisi bisa menggunakan diskresinya karena pertimbangan kala itu, tapi belum ada indikator evaluasi terhadap efektivitas diskresi. Perihal sanksi terhadap pelanggar lalu lintas, termasuk rombongan kendaraan.
“Kembali ke undang-undang yang mengatur. Sepanjang penilangan dilakukan sebetul-betulnya, dengan proses yang sesuai, itu sudah memenuhi prosedur. Yang paling penting, polisi berikan kriteria ketat untuk rombongan ini. Prosedur (sebelum pengawalan) lebih ketat,” terang Sarah.
Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi berkata, diskresi kepolisian ini pun bisa jadi masalah, sebab polisi yang mengetahui siapa yang berhak atau tidak dikawal.
“Dalam praktiknya, pengawalan ini sudah jadi rahasia umum, diperjualbelikan. Meski di peraturannya tidak ada itu,” ujar dia kepada reporter Tirto.
Ihwal pembayaran ini pun semestinya diatur dengan jelas. Apalagi istilah “menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia”, membuat polisi ‘suka-suka’ memutuskan untuk mengawal, kata Fachrizal.
Fachrizal menyatakan seharusnya Polri bisa kembali ke asas penting dari suatu negara hukum: persamaan di hadapan hukum. “Kalau mau adil, dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bukan polisi yang mengatur jalan raya, tapi Dinas/Kementerian Perhubungan.”
“Di UU LLAJ itu kompetisi polisi lalu lintas dan Kementerian Perhubungan. UU LLAJ sekarang ‘memenangkan’ kepentingan polisi,” sambung Fachrizal. “Jika mau adil, seharusnya pengendali lalu lintas, ya, Kementerian Perhubungan karena dia yang tahu data. Tidak semua butuh patwal, karena macet bisa diurai.”
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, secara logika, polisi tidak boleh mengawal lantaran kepolisian adalah petugas keamanan yang mendapatkan anggaran dari negara, bukan petugas keamanan privat yang bisa disewa.
“Tapi fakta-fakta di lapangan memang banyak praktik polisi melakukan pengawalan untuk swasta, perusahaan atau perorangan. Ini tentu tidak bisa dibenarkan. Kalau polisi sudah melakukan kegiatan untuk pengawalan swasta, sebaiknya ganti baju satpam saja,” ujar Bambang kepada Tirto, Senin (7/3/2022).
Agar Polri tak menyalahgunakan diskresi, maka perlu pengawasan kuat, penegakan aturan, serta disiplin internal yang berwibawa. “Aturan-aturan perihal diskresi sudah ada, hanya saja implementasinya bagaimana? Kalau kepala satuannya permisif pada pelanggaran, ya, akan terus berulang,” kata Bambang.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz