tirto.id - Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta mempercepat pembersihan 45 depo sampah rampung minggu depan. Sebab, saat ini masih ditemukan sampah liar di 27 kelurahan Kota Yogyakarta.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengatakan, baru 18 kelurahan yang telah masuk kategori hijau atau mampu mengelola sampahnya. Dia bilang, perlu perhatian khusus dalam pengentasan masalah sampah lantaran berkaitan pula dengan perubahan perilaku.
"Kelurahan yang saya nilai kuning ini, masih ada yang buang sampah di luar depo. [Antara lain] di pinggir jalan, ada yang buang ke sungai, ada yang naruh di sembarang tempat ya," sebut Hasto diwawancarai di Kompleks Balai Kota Yogyakarta, DIY, Selasa (8/4/2025).
Terkait dengan kebersihan depo, Hasto mengeklaim, sudah ada 14 depo besar di Kota Yogyakarta yang bersih dan terkondisi. Hal ini ditambah dengan dukungan sebagian tempat pembuangan sementara (TPS) yang juga sudah bersih.
"Dari 31 itu, ada 15 yang sudah bersih. Sehingga hari ini total yang bersih jadinya 14 [depo besar] ditambah 15 [TPS]," sebutnya.
Hasto bilang, Pemkot Yogyakarta menargetkan, minggu depan semua depo yang berjumlah 45 telah bersih. Selain itu, 31 TPS pun ditargetkan bersih juga pada minggu depan.
"Sehingga, minggu ini ada kesempatan untuk membersihkan depo-depo kecil sebersih-bersihnya tidak numpuk. Saya kasih waktu, paling telat tanggal 11 itu sudah semua depo sudah bersih gitu," lontarnya.
Hasto membeberkan, pembersihan depo dimaksudkan untuk pemaksimalan pengolahan sampah real time. Sehingga sampah yang diproduksi, pada hari itu langsung ditangani.
"Sudah tidak ada lagi mengolah sampah sampai tumpukan itu. Karena tumpukan itu yang betul-betul sudah jadi lindi," ujarnya.
Dengan sistem demikian, kata Hasto, akan tampak kemampuan pengolahan sampah di Kota Yogyakarta. Termasuk kemampuan mengimbangi pengolahan dibanding produksi sampah.
"Saya akan buktikan itu minggu depan, itu karena menurut laporan-laporan prediksi-prediksi kan bisa," ujarnya.
Seiring dengan itu, Pemkot Yogyakarta pun melakukan pengecekan terhadap mesin insenerator yang mereka miliki. Mengingat, produksi sampah di Kota Gudeg bisa mencapai 230-235 ton per hari.
"Sisanya kita bisa [kirim pengelolaan sampah] ke Panggungharjo, bisa ke Bawuran. Nah, saya kira dengan cara seperti itu maka kita ini agak optimislah bahwa sampah ter-manage dengan baik," tegasnya.
Namun, Hasto menegaskan bahwa tantangan yang paling serius adalah merubah perilaku masyarakat. "Saya kira ini kalau nanti ini sudah deponya habis semua itu agak enteng agak lega itu. Tinggal mencerna sampah harian sambil merubah perilaku," ucapnya.
Oleh sebab itu, Hasto akan mulai menggulirkan pula program One Village One Sister University. Program ini akan menggandengkan kampus dengan kampung melalui KKN tematik pengentasan sampah. "Semua kampung di Kota Yogyakarta ini semua tandem bekerja sama dengan perguruan tinggi. Satu persatu jumlahnya 169 kampung," lontarnya.
Para Legislator Angkat Bicara soal Sampah
Terpisah, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal DIY, GKR Hemas, R.A. Yashinta Sekarwangi Mega, dan Ahmad Syauqi Soeratno, dan Hilmy Muhammad melaksanakan tugas konstitusi penyerapan aspirasi daerah dalam rangka Pemantauan dan Evaluasi Perda Dan Raperda Terkait Pengelolaan Sampah di DIY pada Selasa (08/04/2025).
Keempat anggota DPD RI asal Yogyakarta sepakat untuk mendukung masing-masing kabupaten/kota memiliki roadmap yang jelas dalam penanganan sampah yang terintegral, koordinatif, dan komprehensip.
Menyampaikan arahannya, GKR Hemas menyoroti berbagai permasalahan dalam penerapannya aturan yang belum maksimal, apalagi jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi serta tingginya wisatawan di DIY dan terus meningkat.
“Permasalahan tersebut antara lain, Pertama, kurangnya sinkronisasi antara peraturan. Kedua, lemahnya pengawasan implementasi kebijakan dan ketiga, minimnya political will pemerintah kabupaten/kota dalam menjadikan pengelolaan sampah sebagai prioritas pembangunan,” terang Permaisuri Keraton Yogyakarta tersebut.
Permasalah lain juga disampaikan oleh Senator Hilmy Muhammad. Menurut Hilmy, penanganan sampah tidak mungkin dilakukan secara maksimal jika tidak dilakukan dari sejak hulu hingga hilir. Sampah harus sudah dikelola dan dipilah dari rumah-rumah. Ia juga menilai perlu kebijakan yang jelas bagi adanya reward bagi yang melaksanakan dan punishment bagi melanggar ketentuan.
“Pengelolaan sampah harus dari hulu sampai hilir. Harus diakui bahwa masalah utamanya ada di hulu. Ini yang kami alami di Pondok Krapyak. Kami menekankan untuk pemilahan sampah dari awal. Budaya ini bisa terbangun setelah tiga bulan. Masyarakat kita membutuhkan pembiasaan. Bahkan hari ini kami mampu menampung sampah yang ada dari masyarakat desa,” terang pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut.
Gus Hilmy juga menekankan perlunya kebijakan yang jelas bagi dengan adanya reward bagi yang melaksanakan dan punishment bagi melanggar ketentuan. Ia mencontohkan program Hompimpah yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.
“Catatan hari ini adalah kurangnya pencegahan dan penegakan atas apa yang sudah diatur, masih sangat lemah. Seperti yang terjadi di Gunungkidul, kami mengapresiasi pemberian reward oleh Pemkab Gunung Kidul melalui program Hompimpah. Nah, ini apakah perlu dibuat perlombaan kebersihan berjenjang dari tingkat RT hingga Kabupaten/Kota, yang harapannya dari lomba ini menjadi budaya dan kebiasaan,” papar warga Panggungharjo yang juga salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Meski demikian, Gus Hilmy menyayangkan pengelolan sampah belum terintegrasi antarkabupaten/kota. Padahal menurutnya, penanganan sampah ini perlu komitmen bersama, apa yang bisa dilakukan oleh kabupaten/kota dan apa yang menjadi tugas Pemda DIY.
“Sekilas tadi tidak ada koordinasi yang tampak, bahkan tadi ada kabupaten yang tidak berkenan ketika dikirimi sampah. Perlu ada koordinasi yang dipimpin oleh Provinsi sehingga komitmen menyelesaikan sampah ini bisa tercapai. barangkali Provinsi mengambil salah satu jenis sampah khusus,” jelas Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Sementara itu, Syauqi menekankan pentingnya pendekatan komprehensif sehingga dapat menghasilkan pola pengelolaan sampah yang bersifat terpadu dan komprehensif.
“Pendekatan komprehensif menekankan pentingnya nilai budaya, ekonomi, dan teknologi. Kita perlu mengubah Perspektif bahwa sampah adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehingga perlu dikelola dengan baik. Dengan demikian, kita aktivitas pengelolaan sampah menjadi bagian dari aktivitas ekonomi yang bisa bermanfaat lebih luas (circular economy). Untuk solusi pengelolaan saat ini, penggunaan teknologi tak dapat dihindarkan,” kata Bendahara Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Periwisata Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut.
Pelibatan mahasiswa yang sedang kuliah kerja nyata (KKN) ditekankan oleh Yashinta. Menurutnya, mahasiswa yang sedang melaksanakan tugas kuliah di beberapa desa bisa dilibatkan untuk membantu mengatasi masalah sampah di tempat masing-masing.
“Kami mendukung program KKN tematik sebagai upaya sinergi,” katanya.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Andrian Pratama Taher