Menuju konten utama

Saat Pandemi COVID Membuat Kepuasan Terhadap Kinerja Jokowi Tinggi

Sejumlah survei merilis data kepuasan terhadap kinerja Jokowi rata-rata tinggi. Apa yang melatarbelakanginya?

Saat Pandemi COVID Membuat Kepuasan Terhadap Kinerja Jokowi Tinggi
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (22/11/2021). ANTARA FOTO/Pool-Hafis=dz Mubarak/hp.

tirto.id - Beberapa lembaga survei menyebutkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tinggi. Mari kita runut.

Pertama, hasil survei dari Indikator Politik Indonesia (IPI) yang dilakukan pada periode 2-6 November 2021. Survei ini dilakukan dengan metode wawancara tatap muka terhadap 2.020 responden yang dipilih acak.

Indikator menyatakan 72 persen responden puas terhadap kinerja Jokowi. Atau naik 13 persen dari 59 persen sejak Agustus 2021. Tingkat kepuasaan ini meningkat sejak Pilpres 2019. Menurut Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi, kenaikan tersebut karena pandemi COVID-19.

Dalam survey itu, 77,6 persen responden mengaku puas terhadap penanganan pandemi oleh pemerintah. Serta menurunnya persepsi publik yang sepakat bahwa ekonomi nasional memburuk, dari 52,5 persen menjadi 40,4 persen. Dua ini yang menyumbang kepuasan kinerja presiden meningkat, kata Burhanuddin.

Indikator Politik Indonesia melakukan survei yang sama dalam periode 15-17 Februari 2022. Dengan melibatkan 626 responden acak. Hasilnya, 70 persen masyarakat puas terhadap kinerja Jokowi-Ma’ruf.

Lagi dan lagi, kepuasan masyarakat tersebut lantaran kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi.

Kedua, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan 71,7 persen puas terhadap kinerja Jokowi. Survei dilakukan pada 8-16 Desember 2021 dengan metode wawancara tatap muka terhadap 2.420 responden acak.

Direktur Riset SMRC, Deni Irvani mengatakan, tingkat kepuasaan ini stabil dalam dua tahun terakhir. Berkelindan dengan upaya penanganan pemerintah terhadap pandemi. Bahkan 75 persen responden mendaku sangat atau cukup puas dengan kinerja pemerintah menangani COVID-19; bahkan dalam hal ini meningkat, sebelumnya 61 persen pada survei Oktober 2020.

Begitu juga dengan tingkat pemulihan ekonomi akibat COVID-19. Berdasarkan survey tersebut, 60,1 responden merasa sangat atau cukup puas dengan kinerja pemerintah. Lebih tinggi ketimbang hasil survei September 2021, yaitu 50,7 persen.

Ketiga, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan 73,9 persen responden puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Survei melibatkan 1.200 responden acak dengan metode wawancara tatap muka. Hasil kali ini meningkat dari 66,4 persen saat survei pada Oktober 2021.

Litbang Kompas juga mengukur tingkat kepuasaan masyarakat terhadap Jokowi dalam beberapa bidang: kesejahteraan sosial 76,4 persen; politik dan keamanan 77,6 persen; penegakan hukum 69 persen; perekonomian 60,4 persen.

Sementara itu, 68 persen responden survei mengaku puas dengan kinerja Jokowi dalam menjamin rasa aman warga dari tekanan, ancaman, dan kejahatan dari dalam-luar negeri. Lalu, 68 persen responden mendaku puas dengan penanganan konfik antarkelompok, gerakan separatis dan sebagainya.

Serta, 78 persen responden puas terhadap kinerja Jokowi membangun sikap menghargai perbedaan. Dan 66 persen responden puas terhadap kinerja Jokowi memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan.

Terakhir, 73 persen responden puas karena Jokowi menjamin kebebasan berpendapat masyarakat.

Kepuasan Warga Sebatas Penanganan COVID-19

Peneliti Kebijakan Publik dari Lembaga Swadaya Masyarakat The Prakarsa, Eka Afrina Djamhari menilai, peningkatan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, lebih karena penanganan pandemi COVID-19. Jokowi banyak mengeluarkan kebijakan dan program yang populis dalam situasi krisis kesehatan seperti ini.

“Jika pertanyaannya diarahkan seperti ini mungkin saja dapat menggiring responden survei untuk menjawab puas. Apalagi program yang dikucurkan cukup beragam,” ujar Eka kepada reporter Tirto, Rabu (23/2/2022).

Namun jika mau dilihat dalam bidang lain, semisal pelaksanaan tata kelola kenegaraan yang demokrasi, maka pemerintahan Jokowi justru tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Terutama dalam hal demokrasi substantif.

“Banyak kebijakan meskipun dinyatakan sudah ada konsultasi publik, tapi nyatanya masih terbatas pada demokrasi formalitas,” ujarnya.

The Prakarsa pernah melakukan penelitian dengan tema “Mengukur Indeks Tata Kelola Civil Society Organizations dalam Penguatan Demokrasi Substantif di Indonesia.” Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam terhadap 163 informan yang terdiri dari 99 pengurus CSO, 5 akademisi, 13 media representatif, 19 perwakilan pemerintah pusat dan daerah, dan 27 masyarakat dampingan CSO. Para responden tersebar di 6 wilayah (D.I. Yogyakarta, Jabodetabek, Jawa Tengah, NTB, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara).

Rerata responden yang berasal dari CSO mengamini indeks demokrasi Indonesia yang menurun. Riset merujuk data Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020; menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia 6,30 dan terendah dalam lima tahun terakhir.

CSO mengalami tantangan dalam mengisi demokrasi substantif. Meskipun pemerintah membuka ruang bagi CSO berpendapat, namun ruang itu hanya formalitas; terkhusus dalam isu besar yang menjadi agenda politik pemerintah.

CSO masih dianggap sebagai hambatan pemerintah membuat kebijakan. Semisal dalam penolakan masyarakat terhadap UU KPK, UU Cipta kerja atau Omnibus Law, dan UU Minerba. Tidak ada jaminan suara masyarakat didengar, dipertimbangkan atau dihitung.

Dalam riset tersebut, CSO berharap pemerintah tidak saja membuka ruang dengar-pendapat, namun aspirasi masyarakat dapat dijadikan pertimbangan kebijakan.

Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi dilatarbelakangi tindakan strategis presiden menggemukkan barisan pendukung dan menguruskan kelompok oposisi—kini hanya tersisa 2 partai oposisi: Partai Demokrat dan PKS.

Dari kondisi politik yang tidak seimbang ini, memengaruhi publik; akan terjadi penyeragaman opini publik terutama konstituen dari oposisi tersebut. Sehingga perdebatan publik mengecil dan sangat bergantung kepada negara.

Karena minimnya perdebatan publik, menyebabkan menurunnya kualitas demokrasi. Suara-suara yang minoritas dan terpinggirkan akan sulit mengemuka.

“Ada baiknya negara terbuka dengan semua, baik itu pro dan kontra,” ujar Wasisto kepada reporter Tirto, Rabu (23/2/2022).

Sehingga Wasisto menilai, kepuasaan masyarakat terhadap kinerja Jokowi karena penangan pandemi semata. Terutama soal akses vaksinasi COVID-19.

“Langkah populis presiden dalam mendorong vaksinasi gratis bagi semua warga negara. Ini berdampak pada penilaian positif publik kepada pemerintah,” tukasnya.

Baca juga artikel terkait KINERJA JOKOWI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz