tirto.id - Perpolitikan Indonesia jelang pemilihan umum serentak 2024 semakin ramai dengan kemunculan sejumlah partai politik baru. Teranyar, eks Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin resmi mendeklarasikan struktur kepengurusan Partai Pelita.
Din yang menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Partai Pelita menyerahkan tongkat kepengurusan kepada Beni Pramula, Ketua Umum Ikatan Pemuda Muhammadiyah 2014-2016 dan Presiden Pemuda Asia Afrika 2015-2020. Selain Beni, Din melantik Tantan Taufiq Lubis yang merupakan pendiri Pemuda OKI dan Vice Presiden Pemuda Islam tingkat dunia.
Kehadiran Partai Pelita ini tentu menarik karena sejumlah pengurusnya pernah aktif di ormas keagamaan Muhammadiyah seperti Syaiful Bakhri (mantan Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah 2010-2015) dan tokoh muda mereka seperti Beni.
Berdirinya Partai Pelita juga tidak lepas dari pengumuman Din pada Februari 2022 lalu bahwa dia ingin mendirikan parpol sendiri. Pria yang sempat aktif sebagai pengurus Golkar periode 1998-2000 ini juga vokal dalam politik nasional Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Ahmad Yani (eks politikus PBB dan PPP) hingga Amien Rais yang merupakan Ketua Majelis Syuro Partai Ummat.
Fenomena Kemunculan Partai Baru
Dalam catatan Tirto, Partai Pelita merupakan satu dari berbagai parpol yang lahir jelang Pemilu 2024. Pada akhir 2019, Anis Matta, Fahri Hamzah dan sejumlah pentolan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga resmi mendirikan Partai Gelora. Parpol ini sempat berbentuk ormas bernama Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI).
Selain Gelora, ada pula Partai Ummat besutan Amien Rais. Parpol ini didirikan Amien usai ia keluar dari PAN. Ia mengajak sejumlah loyalisnya di PAN hingga tokoh-tokoh Alumni 212 seperti Alsufri Idrus Sambo maupun Neno Warisman. Namun kabar terakhir, sejumlah loyalis seperti Agung Mozin dan Neno Warisman menyatakan keluar dari partai itu.
Di parpol berhaluan Islam tersebut, muncul juga Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang digawangi oleh eks Sekjen Partai Hanura Gede Pasek Suardika. Pasek yang juga eks petinggi Partai Demokrat itu menjadi Ketua Umum PKN dan membangun parpol baru ini bersama sejumlah eks Hanura dan loyalis Anas Urbaningrum di Partai Demokrat dulu seperti Mirwan Amir.
Kemudian ada Partai Buruh. Parpol ini bangkit kembali setelah gagal ikut verifikasi pemilu pada 2014. Partai yang sebelumnya pernah dipimpin Mochtar Pakpahan ini, kini berada di bawah komando Presiden KSPI Said Iqbal. Iqbal yang sempat nyaleg lewat PKS pada 2009 itu mengkonsolidasikan para tokoh buruh untuk memenangkan Pemilu 2024.
Selain Partai Buruh, parpol yang hidup lagi adalah Partai Masyumi Reborn. Partai ini kini dipimpin oleh eks politikus PPP dan PBB, Ahmad Yani. Selain Ahmad Yani, ada juga MS Kaban yang merupakan eks Ketua Umum PBB sekaligus mantan Menteri Kehutanan yang sempat tersandung kasus korupsi.
Jika ditarik ke belakang, maka ada kesamaan bahwa pendirian partai baru saat ini tidak lepas dari kehadiran tokoh yang notabene sudah malang-melintang di politik sebelumnya. Sebut saja Amien Rais, Said Iqbal, Gede Pasek hingga Ahmad Yani.
Faktor Tokoh dan Logistik
Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai keberadaan figur penting bagi sebuah partai politik. Dedi mencontohkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat Demokrat, Prabowo Subianto dengan Gerindra atau tokoh yang dibangun seperti Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY saat ini di Demokrat maupun Salim Jufri Segaf di PKS.
“Pelita, Gelora juga memerlukan itu. Jika salah menunjuk tokoh utama, maka parpol akan sulit tergeliat,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Rabu (2/3/2022).
Namun, kata Dedi, sebuah partai baru terbentuk tidak sebatas soal figur dan kepemilikan kader yang mapan secara intelektual politik. Partai juga harus mempunyai logistik yang kuat untuk tetap eksis hingga menjadi peserta pemilu.
Dedi mencontohkan Partai Golkar yang berdiri kokoh meski beberapa kali ditinggal kader besar yang membangun partai sendiri. Dalam catatan sejarah, setidaknya sudah ada 4 partai yang ketua umum maupun pendiriya adalah eks kader Golkar yakni Partai Berkarya (Tommy Soeharto), Partai Hanura (Wiranto), Partai Nasdem (Surya Paloh) dan Partai Gerindra (Prabowo Subianto).
Dedi menilai, kondisi partai baru saat ini berbeda dengan dinamika internal Golkar yang akhirnya keluar dan mendirikan parpol sendiri. Partai-partai baru saat ini belum tentu bisa menyamai parpol pecahan Golkar yang notabene memiliki logistik dan ketokohan yang kuat. Meski para pendiri parpol anyar saat ini adalah jebolan partai yang sudah berkuasa seperti PKS atau PAN.
Sebab, kata Dedi, partai butuh logistik berbentuk program untuk menghadapi masyarakat yang merasa jenuh dengan politik serta parpol lama yang tidak mungkin mau kehilangan konstituennya.
“Gelora didirikan oleh purnawirawan PKS, tetapi hanya sebatas mapan intelektual politik, tidak diimbangi dengan basis logistik. Demikian halnya dengan Partai Ummat, atau Pelita," kata Dedi.
Sementara itu, Dosen Komunikasi Politik UIN Syarief Hidayatullah, Adi Prayitno berbicara pada hal paling dasar dalam masalah politik Indonesia. Ia mengingatkan bahwa setiap partai berdiri demi orientasi kekuasaan.
“Orang bikin partai itu tentu tujuannya ingin berkuasa, ingin menang, ingin mendapatkan jabatan publik, tidak mungkin tujuan itu ingin masuk surga," kata Adi kepada reporter Tirto.
Adi mengatakan, parpol ingin kader mereka bisa menjadi pejabat public, entah kepala daerah, eksekutif atau legislatif. Logika pembentukan partai pun tidak lepas dari kondisi politik masyarakat Indonesia yang labil. Ia mengacu pada hasil survei lembaga risetnya, Parameter Politik Indonesia yang menemukan bukti bahwa hanya 20 persen masyarakat yang mendeklarasikan diri sebagai kader partai atau bagian partai.
Untuk mencapai target tersebut, kata Adi, partai-partai baru ini kemudian menjual figur tokoh-tokoh yang ada agar bisa memperoleh suara publik. Sebagai contoh, Pelita menjual Din Syamsuddin yang merupakan aktivis Muhammadiyah, Partai Ummat menjual Amien Rais, Gelora menjual Fahri Hamzah dan Anis Matta serta Partai Buruh menjual Said Iqbal.
“Ya mereka memang tokoh untuk kalangan sendiri, tapi kan ketika dipasarkan ke publik, persoalannya apakah mereka akan diterima atau nggak, ya tinggal uji materi nanti," kata Adi.
Selain itu, partai-partai baru harus hidup dengan logistik mumpuni. Ia mengakui tidak sedikit partai baru akhirnya berdiri kokoh karena logistik yang besar seperti Prabowo saat membangun Gerindra, Surya Paloh yang merupakan pengusaha saat mendirikan Nasdem.
“Agak jarang partai politik yang dibuat oleh aktivis, dibuat oleh tokoh-tokoh akademisi atau langsung ormas tertentu bisa lolos ke Senayan," kata Adi.
Adi menambahkan, “Ya tinggal uji nyali nanti apakah tokoh-tokoh aktivis, tokoh-tokoh ormas ini bisa menjaring pemilih seperti yang sudah dilakukan oleh orang lain, tokoh lain Surya Paloh yang bisa bikin partai sejauh ini kuat," kata Adi.
Akan tetapi, kata Adi, upaya untuk mengambil kekuasaan dengan mendirikan partai politik itu tidak mudah meski sudah punya figur dan logistik. Di Indonesia, ada sejumlah tantangan. Pertama, parpol baru harus lolos verifikasi faktual KPU yang sulit. Salah satu syarat yang menantang adalah harus menyiapkan pengurus di level nasional dan kabupaten/kota 100 persen.
Syarat kedua adalah harus lolos ambang batas parlemen 4 persen. Angka ini tergolong sulit, kata Adi. Hal tersebut bisa dilihat dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dulu disebut partai yang cukup menjanjikan dan besar, dinilai punya logistik, tetapi tidak lolos ke parlemen.
“Jangankan partai baru, partai di parlemen saja kan sudah banyak yang nggak lolos. PBB misalnya, kemudian Hanura gak lolos. Ini yang saya kira menjadi dua hal jalan terjal dialami partai politik baru," kata Adi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz