Menuju konten utama

Bisakah Indonesia Mengurangi Konsumsi yang Bahan Bakunya Impor?

Piter nilai upaya mengurangi impor tak bisa hanya dilakukan dengan kata-kata, tapi harus dibarengi dengan peningkatan produksi dalam negeri.

Bisakah Indonesia Mengurangi Konsumsi yang Bahan Bakunya Impor?
Pekerja mengangkut karung berisi tepung terigu di sebuah gudang di Pekanbaru, Riau, Senin (9/9/2018). ANTARA FOTO/FB Anggoro/wsj/18.

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengingatkan harga barang-barang terindikasi mengalami kenaikan akibat ketidakpastian ekonomi global. Peringatan itu menjadi alarm bagi pemerintah untuk mulai menguatkan produksi dalam negeri dan mengurangi konsumsi barang-barang impor.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Edy Priyono mengatakan, dari sisi konsumsi Indonesia belum lepas dari ketergantungan terhadap barang-barang impor seperti gandum dan kedelai. Gandum selama ini menjadi bahan baku tepung roti dan mie. Sementara kedelai, dibutuhkan untuk pembuatan tahu dan tempe.

Pada 2019, konsumsi gandum per kapita penduduk Indonesia mencapai 30,5 kilogram (kg). Rata-rata pertumbuhan konsumsi gandum per kapita penduduk Indonesia dari 2014-2019 sebesar 19,92 persen.

Sementara konsumsi kedelai per kapita Indonesia sebesar 2,09 kg pada 2019. Angka ini memang turun 5,85 persen dibandingkan 2018 yang sebesar 2,22 kg. Namun konsumsi diperkirakan meningkat mulai 2020 hingga 2029.

Tingginya konsumsi kedua komoditas tersebut tidak dibarengi dengan kapasitas jumlah produksi dalam negeri. Ini menyebabkan pemerintah harus mengambil inisiatif membuka keran impor. Tujuannya untuk menghindari kelangkaan dan kenaikan harga terhadap kedelai dan gandum.

Dalam jangka pendek, pemerintah juga tidak punya banyak pilihan. Yakni tetap mempertahankan harga agar tidak naik dan stabil, dengan memberikan subsidi.

“Karena itu, solusi jangka panjangnya kita harus mendorong produksi dalam negeri agar ketergantungan pada barang impor bisa dikurangi," kata Edy dalam keterangan tertulis, Minggu (6/3/2022).

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, sekitar 86,4 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor. Impor kedelai pada 2021 mencapai 1,482 miliar dolar AS atau Rp21,04 triliun. Nilai tersebut meningkat 479,4 juta atau 47,78 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun ironinya, di tengah tingginya impor, harga kedelai impor justru mengalami peningkatan pada awal 2022. Berdasarkan data Bloomberg, harga kedelai sempat berada di level 1.586 dolar AS per bushel atau naik 0,62 persen.

Kondisi tersebut membuat para perajin tempe dan tahu di Indonesia melakukan aksi mogok produksi selama tiga hari, terhitung 22 hingga 23 Februari 2022. Aksi mogok tersebut dilakukan sebagai langkah protes atas naiknya harga kedelai yang menjadi bahan baku produksi tempe dan tahu.

Dampak dari tingginya harga kedelai tersebut, para perajin tempe menaikan harga 10 hingga 20 atau mencapai Rp6.000. Ketua umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan, kenaikan harga kedelai setiap tahun masih bisa ditoleransi oleh perajin. Misalnya pada 2020 harga kedelai impor per kg hanya di kisaran Rp7.500/kg.

Kemudian pada 2021 kedelai dalam setahun naik menjadi Rp9.500/kg, tapi pada Desember 2021 sampai Februari 2022 alias hanya selang 3 bulan, harga kedelai melonjak menjadi 11.500/kg.

“Ada yang harganya sekarang itu Rp11.100/kg, kemudian ada juga yang sampai dengan Rp11.750/kg jadi rata-rata Rp11.500/kg. Kalau di Kalimantan Rp12 ribu/kg, di Aceh 13 ribu/kg, gimana distribusinya,” kata Aip kepada Tirto, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, impor tepung gandum Indonesia sepanjang 2021 mencapai 31,34 ribu ton dengan nilai total 11,81 juta dolar AS. Dari jumlah tersebut, seberat 19,9 ribu ton diimpor dari India dengan nilai 6,76 juta dolar AS.

Impor tepung gandum terbesar Indonesia berikutnya berasal dari Vietnam, yakni seberat 4,67 ribu ton (14,9 persen) dengan nilai 1,97 juta dolar AS. Diikuti Korea Selatan dengan berat 3,95 ribu ton (12,59 persen) senilai 1,63 juta dolar AS.

Menurut catatan sejarah, Indonesia pertama kali mengimpor gandum secara resmi pada 1969. Di tahun tersebut, Amerika Serikat (AS) memperkenalkan paket kerja sama ekonomi di bawah Public Law 480 (PL 480) berisi perpanjangan kerja sama bantuan makanan kemanusiaan berbentuk tepung terigu, atau gandum ke Indonesia.

Indonesia bahkan menjadi importir gandum terbesar pada 2019. Total impor gandum Indonesia pada periode itu mencapai 10,9 juta ton, disusul Mesir, Turki, dan Italia yang masing-masing mengimpor sebanyak 10 juta, 7,4 juta, dan 7,1 juta ton.

Di tengah kebutuhan yang besar, pemerintah justru mengajak masyarakat ikut andil dalam pengurangan konsumsi barang-barang kebutuhan impor. Seperti gandum yang menjadi bahan baku roti dan mie. Edy menilai, sudah saatnya masyarakat bergeser ke produk karbohidrat lain, yang merupakan produk dalam negeri.

“Tentu tidak mudah mengubah pola konsumsi. Tapi kita mesti mengarah ke sana,” kata Edy.

Produksi Dalam Negeri Harus Ditingkatkan

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai, upaya mengurangi produk impor tidak bisa hanya dilakukan dengan kata-kata saja. Artinya harus dibarengi dengan peningkatan produksi dalam negeri.

Sementara berdasarkan proyeksi Kementerian Pertanian, produksi kedelai Indonesia terus menurun sejak 2021 hingga 2024. Pada 2021, proyeksi kedelai yang dihasilkan dari dalam negeri mencapai 613,3 ribu ton, turun 3,01 persen dari tahun lalu yang mencapai 632,3 ribu ton.

Produksi kedelai Indonesia diperkirakan kembali turun 3,05 persen menjadi 594,6 ribu ton pada 2022. Setahun setelahnya, produksi kedelai bakal berkurang 3,09 persen menjadi 576,3 ribu ton. Sementara, kedelai yang berasal dari Indonesia turun 3,12 persen menjadi 558,3 ribu ton pada 2024.

Penurunan tersebut disebabkan persaingan ketat penggunaan lahan dengan komoditas lain yang juga strategis, seperti jagung dan cabai. Hal tersebut pun berimbas pada penurunan luas panen sekitar 5 persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan proyeksi produktivitas kedelai yang naik 2 persen per tahun.

"Kita tidak bisa mengurangi impor ketika kenaikan produksi dalam negeri masih lebih kecil dibandingkan kenaikan konsumsi karena kenaikan jumlah penduduk," katanya saat dihubungi reporter Tirto, Senin (7/3/2022).

Sementara tanpa impor akan terjadi kenaikan harga atau inflasi. Oleh karena itu, menurutnya kebijakan yang tidak bisa dihindari adalah menaikkan impor. Termasuk dengan membolehkan swasta melakukan impor daging.

Di sisi lain, pengamat ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani mengatakan, produk-produk impor bersifat konsumtif, dan ada barang substitusi dalam negeri, sebaiknya memang dikurangi. Sebab hal ini akan membantu menyehatkan keuangan secara nasional, dan lebih bisa menghidupkan ekonomi dalam negeri.

“Untuk produk-produk impor yang memang menjadi keniscayaan, dan produksi dalam negeri belum efisien, maka impor untuk jangka pendek tetap dibutuhkan untuk menghindari inflasi yang tidak terkendali," kata Ajib kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait IMPOR atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz