tirto.id - Rabu, 9 Oktober 1968, Presiden Soeharto memimpin sidang kabinet terbatas membahas persiapan kebutuhan sandang dan pangan jelang Lebaran. Sidang kabinet pagi itu akhirnya memutuskan, bahwa pemerintah akan mengimpor 390.000 ton terigu dari Amerika Serikat. Sebuah penggalan cerita yang diambil dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973” (54) yang dikutip dari laman soeharto.co.
Keputusan Soeharto kala itu menjadi catatan masa awal dimulainya impor terigu—produk turunan gandum, secara besar-besaran masuk Indonesia. Tujuan awalnya memang untuk stabilisasi harga, karena komoditas ini dianggap stabil harganya, pasokan yang banyak di dunia, dan punya subtitusi yang erat dengan beras. Semenjak 1970, tiga pabrik olahan biji gandum dibangun dan sekaligus menandai mulai berkurangnya bantuan dari AS. Impor terigu sudah bergeser menjadi gandum, bantuan AS pun perlahan berkurang. Impor gandum terus meningkat dari tahun ke tahun terutama dari AS.
“Dalam waktu yang sama, AS mengirim beberapa pakar pangan ke Indonesia untuk memengaruhi pengambil keputusan dan mampu meyakinkan para teknokrat dengan argumentasi ilmiah,” kata peneliti pangan, M Husein Sawit.
Apa yang terjadi di awal Orde Baru menjadi tonggak penting bagaimana gandum yang semula bukan makanan pokok orang Indonesia, tapi kenyataannya kini sudah jadi kebutuhan pangan yang penting di Indonesia. Tepung terigu sudah jadi bahan baku sejumlah produk makanan olahan populer antaralain mi instan, biskuit, kue, hingga jajanan gorengan.
Produk mi instan misalnya, makanan cepat saji ini sudah tak asing bagi lidah masyarakat Indonesia. Kebutuhan mie instan di Indonesia terus melonjak naik. Berdasarkan data yang dihimpun World Instant Noodles Association (WINA), total konsumsi mie instan di Indonesia diperkirakan mencapai 14,8 miliar bungkus pada 2016. Angka ini meningkat dari konsumsi tahun sebelumnya, yakni 13,2 miliar bungkus. Selain itu, pada 2017 diproyeksikan akan kembali mengalami peningkatan hingga 16 miliar bungkus.
Harga yang terjangkau, rasa yang pas, mudah mendapatkan dan mengolahnya, membuat mi instan bergeser dari pangan alternatif sebatas selingan, kini telah menjadi makanan pelengkap di meja makan, bahkan telah menjadikan mi instan sebagai makanan utama.
Permintaan pasar yang tinggi terhadap mi instan secara langsung mendorong permintaan terhadap gandum. Padahal gandum bukan tanaman asli Indonesia. Gandum termasuk tanaman subtropis, sehingga budidaya gandum sangat minim di Indonesia. Ketergantungan impor pun tak bisa dihindari.
Laporan dari Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menunjukkan bahwa impor gandum dari Juli 2015 sampai Mei 2016 telah mencapai total 8,2 juta ton. Sedangkan sepanjang 2016 mencapai 8,71 juta ton. Impor gandum tahun ini ditaksir meningkat antara 5-6 persen hingga 8,79 juta ton.
Ini dibuktikan dari tahun-tahun sebelumnya, lonjakan impor gandum juga dipicu dari hadirnya produsen tepung terigu baru yang mulai beroperasi atau ekspansi. Sayangnya peningkatan industri tepung masih berkutat pada bahan baku gandum. Pihak industri selalu punya alasan masih tetap menggunakan gandum untuk membuat terigu. Ratna Sari Loppies, Direktur Eksekutif Aptindo, kepada Tirto menyatakan bahwa sekarang ini tepung terigu sudah bisa jadi pengganti beras melalui mi instan. Ia mengakui kondisi demikian belum bisa dipasok maksimal dari sumber daya lokal seperti bahan baku singkong untuk tepung pengganti terigu.
“Memang ada, mi instan yang dibuat dari cassava, tapi itupun cuma campuran saja, hanya bagian kecil saja. Tepung terigu tetap menjadi bahan utama dalam pembuatan mi instan,” kata Ratna.
Tantangan semacam ini bukan barang baru, beberapa peneliti di Indonesia mencoba menjawabnya, bahkan masyarakat sudah menerapkan penggunaan tepung pengganti terigu gandum. Misalnya, tepung tapioka dan tepung singkong (mocaf) yang sudah mulai digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi lethek di Bantul, atau tepung beras, tepung pisang, tepung ubi ungu dan sorgum yang telah banyak digunakan dalam pembuatan roti serta gorengan di Indonesia.
Fajrin Hal Lala, peneliti dari Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, dalam risetnya mencoba mencampurkan tepung terigu, mocaf, dan cmc dalam perbandingan kombinasi yang berbeda. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa subtitusi mocaf pada mi instan yang dikehendaki adalah sebesar 25 persen. Ini tentu jadi peluang untuk memaksimalkan penggunaan bahan baku lokal untuk pembuatan mi instan.
Ginanjar Putra Jatmiko, peneliti dari Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang juga menjelaskan tentang potensi pembuatan mi instan dari bahan baku umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium). Ia menyatakan bahwa kimpul berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk olahan mi, tapi dalam proses pengolahannya masih memiliki beberapa kendala yaitu tidak adanya gluten yang terkandung dalam kimpul yang berfungsi dalam pembentuk sifat elastis pada mi.
Gluten memegang peran penting terhadap karakteristik mi. Pada saat gluten, tepung, dan air bercampur, maka akan terbentuk gluten network yang akan memerangkap air. Semakin banyak gluten yang ditambahkan, maka mi instan menjadi semakin elastis dan kenyal. Untuk itu, diperlukan penambahan gluten agar produk mi memiliki karakteristik yang baik.
Potensi singkong dan umbi-umbian lain sebagai pengganti tepung dari gandum bukan hanya imaji. Menurut International Center for Tropical Agriculture, Indonesia termasuk dari 2 negara penghasil singkong terbesar di Asia, setelah Nigeria dan Thailand. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2015, Indonesia menghasilkan lebih 21 juta ton singkong per tahun. Sebuah bahan baku yang melimpah untuk dimaksimalkan, dan tentunya perlu sentuhan inovasi terhadap produk tepung olahan singkong seperti mocaf (Modified Cassava Flour) yang belakangan namanya mulai dikenal di masyarakat.
Tepung mocaf adalah tepung singkong yang termodifikasi karena fermentasi bakteri asam laktat sehingga mengubah sifat tepung tersebut. Keistimewaan mocaf dapat mengembang seperti tepung terigu dengan kadar protein sedang. Berbagai penelitian menunjukkan bahan pangan di dalam negeri punya peluang menjadi pengganti tepung terigu. Masalahnya soal kemauan dunia usaha dan pemerintah, apakah mau mengakhiri "jebakan" impor gandum yang sudah bergulir sejak lima dekade silam.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra