tirto.id - Hutan muncul dalam benak pemerintah kala memikirkan bagaimana menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Pembahasan ini muncul dalam rapat Kementerian Pertanian bersama Komisi IV DPR RI, Senin (29/3/2021).
Awalnya Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Fraksi Gerindra G. Budisatrio Djiwandono menyinggung rencana Kementerian Pertanian membuka lahan seluas 300 ribu Hektare (Ha) untuk menggenjot produksi kedelai yang dipaparkan di awal 2021. Ia bertanya: “Apakah ada rencana bapak (Menteri Pertanian) menggunakan kawasan hutan dalam mengembangkan budi daya kedelai?”
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tak menampik kemungkinan itu. “Sepanjang itu sudah clear, ada petaninya, kami masuk,” kata Syahrul. Menurutnya jumlah penduduk Indonesia cukup besar sehingga perlu upaya keras menyelesaikan persoalan kebutuhan kedelai yang saat ini masih banyak dipenuhi dari impor.
Berkebalikan dengan pemerintah, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan pembukaan hutan untuk tanam kedelai tak boleh dilakukan. Dwi yang juga merupakan Guru Besar IPB University beralasan peningkatan produksi kedelai tidak bisa dilakukan dengan sekadar menambah lahan.
“Jawaban saya sudah pasti: Program tersebut akan gagal, tidak akan menghasilkan apa pun,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Selasa (30/3/2021).
Dwi beralasan tanaman kedelai rawan terhadap gangguan hama dan itu akan semakin menjadi jika ditanam di lahan baru seperti hasil pembukaan hutan. Hal ini pernah ia alami langsung pada 1987. Waktu itu Dwi terlibat dalam upaya penanaman kedelai di lahan hutan yang baru dibuka dua tahun. Meski telah menggunakan pestisida terbaik yang mereka punya, tim tetap tidak berhasil menangkal serangan hama.
Dwi menjelaskan bahwa penanaman kedelai sebenarnya cukup menggunakan lahan pertanian yang sudah ada.
Permasalahan kedelai saat ini justru lebih pelik pada soal siapa yang mau menanamnya. Dwi bilang banyak petani enggan menanam kedelai dan lebih memilih komoditas lain karena tak menguntungkan. Harga jual kedelai petani hanya Rp5000-Rp6.000/kg, sedangkan biaya produksi Rp12.000/kg. Tren ini katanya sudah berlangsung sejak 1990-an saat pertama kali petani kedelai Indonesia menghadapi derasnya kedelai impor--yang terus berlanjut sampai hari ini.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat tren impor kedelai Indonesia terus meningkat. Dari hanya 541.060 ton pada 1990 lalu menjadi 1,30 juta ton 1999, 1,31 juta ton 2009, dan 2,44 juta ton 2019.
Di sisi lain produksi terus turun. Dari 1,48 juta ton 1990 ke 1,38 juta ton 1999, 974.512 ton 2009 dan menjadi 953.571 ton 2018.
“Tidak usah teori dan program muluk-muluk. Di pertanian sederhana, ketika itu menguntungkan, petani akan terus mengusahakannya. Ketika rugi, tahun berikutnya tidak akan tanam,” ucap Dwi.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra khawatir produksi kedelai yang merabah hutan akan semakin memperparah deforestasi. Ia bilang tanpa kedelai saja Indonesia sudah babak belur menghadapi deforestasi akibat perkebunan sawit. “Indonesia akan jadi punya dua komoditas yang memicu deforestasi. Kami jadi khawatir konversi hutan semakin besar karena ada kedelai,” ucap Syahrul kepada reporter Tirto, Selasa.
Syahrul mengatakan kisah sukses Brasil menjadi produsen kedelai nomor satu di dunia tidak lepas dari deforestasi. Forbes mencatat Brasil yang mampu meningkatkan produksi dari 14 juta metrik ton kedelai pada 1980 menjadi 123 juta metrik ton pada 2019 membayar dengan harga yang mahal, yaitu hilangnya 792.051 kilometer persegi hutan Amazon sejak 1970 sampai 2019.
Pola serupa juga terjadi pada Indonesia. Data US Department of Agriculture mencatat per 1990 produksi sawit Indonesia hanya 2,65 juta metrik ton dan per 2019 meningkat menjadi 42,5 juta metrik ton. Greenpeace mencatat selama periode 1990-2019 terjadi deforestasi seluas 40,25 juta Ha.
Bertambahnya kawasan hutan yang dirambah juga berpotensi menjegal keberhasilan Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca. Ia bilang Indonesia praktis akan menyumbang pemburukan pemanasan global yang trennya makin sulit dikendalikan.
“Lebih baik tidak ada konversi hutan untuk kepentingan apa pun,” ucap Syahrul.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino