tirto.id - Marsekal (purn) Agus Supriatna enggan memberi keterangan detail ihwal dugaan korupsi pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101 saat diperiksa KPK sebagai saksi dalam penyidikan tersangka Irfan Kurnia Saleh, Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri. Agus berdalih, kasus itu terjadi saat dirinya menjabat KSAU sehingga ada hal yang bersifat rahasia dan tidak bisa disampaikan.
Dalih Agus Supriatna sempat membuat penyidik KPK terkendala dalam pengusutan kasus yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp224 miliar itu.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, sikap Agus Supriatna tak menyurutkan langkah KPK untuk mengusut kasus tersebut. KPK akan berkonsultasi dengan Puspom TNI untuk menyelesaikan kendala perkara korupsi helikopter ini.
"Kami akan konsultasi dengan POM TNI. Kemudian juga bisa saja yang bersangkutan [Agus Spuriatna] diperiksa di sana," kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Mantan Kepala LKPP ini tak mau memberi penjelasan lebih rinci apakah sikap Agus Supriatna yang berdalih melindungi rahasia negara itu layak atau tidak. Menurut Agus, permasalahan tersebut nantinya terungkap dalam persidangan di Pengadilan Militer lantaran POM TNI sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini.
Alasan Tak Masuk Akal
Klaim Agus Supriatna yang membawa-bawa masalah rahasia negara dinilai tak masuk akal oleh peneliti Transparency International Indonesia Wawan Heru Suyatmiko. Menurut Wawan, Agus merupakan saksi dalam penyidikan kasus tersebut sehingga ia seharusnya tak punya alasan buat menutup-nutupi kasus. Dalam Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), saksi bahkan diwajibkan memenuhi kewajiban berdasarkan UU yang harusnya dipenuhi.
"Dia dipanggil sebagai saksi dari pihak swasta yang terlibat korupsi. Ketika dilakukan penyidikan, KUHP [menyatakan] ketika penyidik melakukan [penyidikan] ya sudah gugur rahasia itu," kata Wawan kepada Tirto.
Ihwal keterbukaan informasi yang disebut Agus terganjal rahasia negara, Wawan menyebut Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik sudah mengaturnya.
"Bahkan rahasia negara sekali pun, ketika dia juga menggunakan Undang-undang keterbukaan informasi publik dan masuk dalam ranah penyidikan kasus apa pun itu bisa dibuka. Karena ini ranahnya penyidikan," kata Wawan.
Wawan tidak memungkiri kalau ada sejumlah informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik seperti informasi intelijen atau informasi keamanan negara yang menyangkut data blueprint rencana pembelian alutsista.
Hanya saja, Wawan menyebut, pengadaan helikopter AW 101 tidak berkaitan dengan ancaman keamanan negara dan proses pembeliannya melalui mekanisme pembelian barang dan jasa yang informasinya bisa terbuka untuk umum.
Wawan mengatakan hanya penyidik yang boleh menentukan lantaran saksi punya kewajiban memberikan keterangan seluas-luasnya dalam proses pemeriksaan tanpa berdalih rahasia.
"Nanti penyidiknya saja yang mengatur sesuai UU. Mana yang boleh masuk dalam ranah pengadilan atau tidak," kata Wawan.
Agus Harus Buka Kasus
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim. Mufti berpandangan Agus harus buka-bukaan dalam proses hukum dalam penyidikan hingga di persidangan. Menurut Mufti, semua informasi, termasuk rahasia negara harus diungkapkan kepada penyidik dalam proses penyidikan meski tidak semua fragmen diungkapkan kepada publik.
"Selama proses itu masih pemeriksaan dan masih dalam proses penyidikan masih jalan ya boleh saja [membuka informasi rahasia]," kata Mufti saat dihubungi Tirto.
Mufti menjelaskan, Agus tak punya alasan untuk menutupi informasi mengingatkan proses pemeriksaan saksi dalam penyidikan dilakukan secara tertutup. Hal serupa, kata Mufti, juga bisa dilakukan dalam persidangan meski secara umum proses persidangan harus dilakukan secara terbuka. “Bisa saja kan tertutup untuk materi tertentu," kata Mufti.
Konteks Kasus
Kasus dugaan korupsi dalam pembelian helikopter AW 101 mencuat tujuh bulan menjelang Jenderal Gatot Nurmantyo lengser sebagai Panglima TNI. Kasus ini terungkap dalam investigasi yang dilakukan tim Puspom TNI dan investigasi TNI AU yang dikawal KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto pada Januari 2017.
Sebelum hasil investigasi ini dirilis, Hadi yang saat itu baru menjabat KSAU, juga sempat mengatakan dirinya mendapati ada pembelian helikopter yang tidak sesuai penganggaran. Ketidaksesuaian ini muncul lantaran perencanaan dilakukan TNI AU tapi administrasi anggarannya dilakukan Kementerian Pertahanan.
Kejanggalan ini muncul lantaran Kemenhan tidak mengetahui Helikopter AW 101 yang hendak dibeli untuk tujuan angkut bukan untuk kebutuhan presiden. Helikopter untuk kebutuhan presiden sendiri sebelumnya sudah ditolak Presiden Joko Widodo.
Dalam investigasi ini terungkap, ada satu helikopter yang dibeli tapi tidak diterima sebagai tambahan kekuatan buat TNI AU. Hasil investigasi ini kemudian dikirimkan Hadi kepada Gatot pada 24 Februari 2017. Gatot kemudian menggandeng KPK, BPK, PPATK, dan Polri buat menelusuri kasus ini.
Puspom TNI kemudian menetapkan lima tersangka dari lingkungan TNI AU yakni Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, pejabat pemegang kas atau pekas Letkol Adm WW, staf pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Adapun tersangka dari sipil, penanganannya dilakukan KPK. Dalam hal ini, KPK menetapkan Irfan Kurnia Saleh selaku Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri. Irfan diduga mengatur tender proyek pengadaan helikopter senilai Rp715 miliar itu. Negara diperkirakan mengalami kerugian Rp224 miliar akibat pembelian helikopter tersebut.
Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih