Menuju konten utama

KPK Tegaskan Berhak Terlibat Usut Korupsi Helikopter AW-101

Di sidang praperadilan tersangka korupsi Helikopter AW-101, Irfan Kurnia, KPK menegaskan berhak menangani kasus yang dilakukan bersama-sama orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

KPK Tegaskan Berhak Terlibat Usut Korupsi Helikopter AW-101
Penyidik KPK melakukan pemeriksaan fisik pada Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8/2017). ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, penetapan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW) 101 adalah sah. Hal itu mengacu kepada proses penyidikan yang berjalan sudah sesuai ketentuan.

Penjelasan KPK ini muncul dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh Irfan sebagai tersangka dari pihak swasta di kasus korupsi ini yang sudah ditetapkan oleh KPK.

"Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan," kata anggota biro hukum KPK, Mia Suryani Siregar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, pada Senin (6/11/2017).

KPK membantah dalil Irfan bahwa penyidikan dengan konsep konektivitas tidak bisa dilakukan karena tim penyidik tidak dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Hukum dan HAM.

KPK beralasan, mereka mempunyai kewenangan khusus berdasarkan pasal 42 UU KPK. Mereka bisa melakukan koordinasi dan supervisi perkara tindak pidana korupsi dalam kasus pidana mana pun, baik peradilan umum maupun militer.

"Berdasarkan pasal 42 UU KPK maka dapat disimpulkan KPK bewenang untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum tanpa dipersyaratkan pembentukan tim penyidik dengan surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menkum HAM," ujar Mia.

Penerapan pasal 42 UU KPK pun tidak dimaknai keharusan membentuk tim penyidik gabungan antara KPK dan TNI. Menurut KPK, peran koordinasi dan pengendalian upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan jauh lebih penting untuk memproses perkara.

Mia mengatakan KPK terlebih dulu melakukan proses penyelidikan, serta berkoordinasi dengan penyelidik dan penyidik POM TNI. KPK telah melakukan proses penyelidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi per tanggal 24 Maret 2017. Sementara POM TNI melakukan penyelidikan terkait dugaan pidana insubordinasi, penyalahgunaan wewenang dan korupsi pengadaan Helikopter Angkut AW 101 2016.

"Jelas termohon (KPK) telah terlebih dahulu melakukan penyelidikan atas dugaan pengadaan helikopter AW 101 tahun 2016 di TNI AU," kata Mia.

Selain itu, KPK menyatakan sejumlah perkara peradilan umum dan militer tetap bisa diproses meskipun tidak berada satu sistem peradilan. Sebagai contoh, penyidikan perkara peradilan umum dan militer dilakukan secara terpisah atau splitzing seperti kasus Brigjen TNI Teddy Hernayadi terdakwa korupsi penyimpangan pengelolaan dana devisa di Bidbialugri Pusku Kemenhan yang telah diputus nomor 363K/MIL/2017.

"Terhadap perkara ini, meskipun tindak pidananya dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan militer, namun tidak pernah dibentuk tim penyidik tetap koneksitas dan persidangan terhadap pelaku militer telah dilakukan oleh peradilan militer," Mia menambahkan.

Seperti diketahui, tersangka korupsi pengadaan helikopter AW-101 Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh mengajukan gugatan praperadilan, Jumat (3/11/2017). Irfan mengajukan gugatan lantaran menyoalkan prinsip penyidikan konektivitas antara TNI-KPK.

Dalam kasus korupsi pembelian helikopter AW-101, sudah ada lima tersangka terkait, yakni 4 dari unsur militer dan satu merupakan sipil, Irfan.

Kasus ini diselidiki pada April 2017, saat TNI AU membeli satu unit Helikopter AW101 dengan metode pembelian khusus. Persyaratan lelang harus diikuti dua pengusaha. Dalam hal ini ditunjuk PT Karya Cipta Gemilang dan PT Diratama Jaya Mandiri.

PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp514 miliar. Namun, pada Februari 2016, saat meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai kontraknya menjadi Rp738 miliar.

Baca juga artikel terkait KORUPSI HELIKOPTER AW101 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom