tirto.id - Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Kemenkumham) kembali disorot soal jual-beli kamar di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Hal ini terungkap ketika salah satu warga binaan Lapas Cipinang berinisial WC bercerita bahwa dia harus menyetor uang demi mendapatkan kamar selama ditahan. Uang tersebut diperlukan demi napi bisa mendapat kamar.
“Nanti duitnya diserahkan ke sipir, di sini seperti itu. Kalau untuk tidur di kamar, antara Rp5 juta hingga Rp25 juta per bulan. Biasanya mereka yang dapat kamar itu bandar narkoba besar," kata WC ketika dikonfirmasi di Jakarta, seperti dikutip Antara, 3 Februari 2022.
Kasus jual-beli kamar disebut sudah lama terjadi di Lapas Cipinang, bahkan menjadi sumber pemasukan petugas. Namun warga binaan enggan melapor karena khawatir masuk sel isolasi.
“Ya mau enggak mau kita harus bayar buat tidur. Minta duit ke keluarga di luar untuk dikirim ke sini. Kalau enggak punya duit ya susah. Makannya yang makmur di sini napi bandar narkoba,” kata WC.
Kalapas Klas I Cipinang Tony Nainggolan pun membantah kabar jual-beli kamar ini. Ia justru menegaskan napi tidak perlu mengeluarkan uang untuk menikmati fasilitas Lapas, termasuk tidur.
“Baru kemarin saya membuka program admisi orientasi (pengenalan lingkungan) dan saya sampaikan kalau di Lapas Cipinang tidak ada urusan yang berbayar, termasuk masalah tidur," kata Tony.
Namun, Tony mengakui, bila Lapas Kelas I Cipinang saat ini kelebihan kapasitas. Dari seharusnya diisi 880 orang, kini diisi sebanyak 3.206 orang narapidana dari berbagai kasus.
“Kalau benar ada praktik berbayar dilakukan pegawai atau narapidana, akan saya tindak tegas,” kata Tony.
Bukan Isu Baru
Masalah jual beli kamar di lapas memang bukan kali pertama ini terjadi. Kasus yang terungkap secara gamblang adalah kasus jual beli kamar lapas Sukamiskin pada Juli 2018 yang dilakukan Fahmi Darmawansyah, suami dari pesohor Inneke Koesherawati.
Kala itu, Fahmi memberikan uang Rp200 juta-Rp500 juta serta mobil Mitsubishi Triton dan tas mahal bermerk Louis Vuitton kepada eks Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein dan istrinya demi mendapatkan sel mewah di Lapas Sukamiskin.
Fasilitas mewah itu terdiri atas water heater, AC, TV, spring bed hingga kamar mandi berkeramik. Semua fasilitas tersebut ada di kamar pria yang dihukum karena kasus korupsi proyek Bakamla itu.
Terakhir, Ia pun divonis di tingkat Peninjauan Kembali 1 tahun 6 bulan atau berkurang dari putusan tingkat kasasi yang mencapai 3 tahun 6 bulan. Putusan tersebut keluar pada Desember 2020.
Aksi jual beli kamar lapas ini mendapat kritik dari Institute Criminal and Justice Reform (ICJR). Menurut ICJR, praktik jual beli kamar sudah berlangsung menahun dan berkaitan dengan kondisi buruk lapas dan rutan Indonesia saat ini.
“Kondisi penuh sesak rutan dan lapas membuat hak dasar misalnya tempat tidur yang layak pun menjadi dapat diperdagangkan. Situasi kelebihan kapasitas terus terjadi tanpa solusi konkret,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, Minggu (6/2/2022).
Erasmus menunjukkan data bahwa jumlah tahanan dan napi di Indonesia per 30 Maret 2020 mencapai 270.721 orang dengan kapasitas total hanya 131.931 orang. Beban rutan/lapas saat itu mencapai 205 persen. Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan asimilasi di rumah, angka beban lapas sempat turun pada Agustus 2020 menjadi 175 persen.
Mulai 2021 beban lapas kembali meningkat. Pada Juni 2021 terdapat beban 200 persen dengan jumlah 271.992 orang atau lebih banyak dari sebelum pandemi dan hingga Januari 2022, beban rutan dan lapas mencapai 223 persen.
Menurut ICJR, pemerintah sebenarnya punya banyak momentum membenahi soal overcrowding dalam 7 tahun terakhir. Hal tersebut seperti insiden kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang mengakibatkan 48 orang warga binaan meninggal dan sejumlah kasus lain. Langkah-langkah penyelesaian pun sudah direkomendasikan oleh ICJR.
Erasmus menilai, komitmen serius pemerintah bisa dilakukan demi mencegah beban rutan dan lapas kembali meningkat. Komitmen tersebut dapat diikuti dengan sejumlah langkah seperti mengkaji ulang penerapan UU Narkotika yang mengedepankan hukuman pidana dan penjara.
Di sisi lain, ada sejumlah langkah langsung demi menekan beban lapas. “Pertama, amnesti/grasi massal bagi pengguna narkotika untuk kepentingan sendiri yang terjerat UU Narkotika berbasis penilaian kesehatan, karena jumlah pengguna narkotika saat ini mencapai 103.081 orang,” terang Erasmus.
Kedua, kebijakan presiden serukan polisi dan jaksa tidak melakukan penahanan rutan untuk pengguna narkotika/tindak pidana ekspresi misalnya penghinaan. Alternatif penahanan non-rutan dapat digunakan seperti tahanan rumah dan kota. Pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP.
Ketiga, untuk kasus penggunaan narkotika, yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis di lembaga, maka presiden dapat menginstruksikan jaksa untuk menuntut dengan rehabilitasi rawat jalan, mendayagunakan peran puskesmas tanpa perlu memindahkan kelebihan beban rutan/lapas ke pusat rehabilitasi.
Keempat, masih untuk kasus penggunaan narkotika, presiden bisa meminta jaksa untuk menuntut menggunakan Pasal 14a dan c KUHP tentang pidana bersyarat dengan masa percobaan untuk pengguna narkotika, atau syarat rehabilitasi jalan ataupun inap berdasarkan kebutuhan.
Kelima, untuk tindak pidana paling banyak lainnya semisal pencurian dan penganiyaan (tidak untuk kekerasan seksual) dilakukan pendekatan penanganan kasus dengan pengarusutamaan peran korban (restoratif justice), dengan mengutamakan penggunaan ganti kerugian pada korban yang selaras dengan pertanggungjawaban pelaku, bisa dengan memperbanyak penggunaan Pasal 14c KUHP tentang pidana bersyarat berupa penggantian kerugian dengan masa percobaan.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mendorong agar ada pengusutan soal kasus jual-beli kamar lapas. Sebab, jual-beli kamar lapas seharusnya tidak terjadi.
“Memang saya sepakat harus diusut paling gak kalapasnya harus diperiksa, kalapas harus diperiksa kemudian termasuk pengawasannya harus diperiksa," kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Senin (7/2/2022).
Namun, kasus ini tidak akan selesai lewat penegakan hukum dan pengawasan pegawai. Ia mengingatkan kasus jual beli kamar lapas dan masalah lapas yang terjadi saat ini sudah tiap tahun muncul.
"Ini kan hampir tiap tahun ada berulang terus nggak selesai-selesai. Tahun lalu juga sama, sekarang ada lagi. Ini sampai kiamat akan begini terus," kata Fachrizal.
Pendapat hingga kiamat yang disampaikan Fachrizal bukan tanpa alasan. Ia sepakat dengan pandangan sejumlah pihak bahwa kasus ini terjadi akibat overcrowding, tetapi pemerintah tidak kunjung menyelesaikan akar persoalannya, yaitu kekacauan sistem pidana Indonesia.
Ia mencontohkan kondisi Lapas Cipinang yang kini diisi 3.000 lebih napi, tetapi kapasitas hanya 800 lapas. Hal itu sendiri bertentangan dengan aturan internasional Nelson Mandela's Rule bahwa harus ada standar dalam pelayanan di lapas dan negara wajib memastikan ketersediaan layanan dasar demi kebutuhan lapas. Sebagai contoh, satu napi mendapat jatah uang makan Rp10-15 ribu atau 1 kamar diisi 2-3 orang.
“Cuma masalahnya kenapa Mandela's rule gak bisa diterapkan karena pemasyarakatan itu seolah-olah tidak bisa mengadang gempuran tahanan dan napi yang dikirim ke mereka oleh polisi dan jaksa," kata Fachrizal.
Kepolisian dan jaksa kerap kali melempar tahanan atau napi ke rutan maupun lapas. Jikalau tidak bisa dijerat, aparat penegak hukum tidak tertutup kemungkinan akan mencari pasal yang membuat tahanan untuk masuk penjara.
Oleh karena itu, solusi idealnya adalah pemerintah harus mengubah regulasi pemidanaan. Sebagai contoh, banyak napi saat ini adalah napi narkotika. Pemerintah perlu mengedepankan konsep dekriminalisasi dalam revisi UU Narkotika.
Kemudian, upaya penerapan restorative justice memang dikedepankan, tetapi juga perlu konsep dekriminalisasi secara terukur. Ia mencontohkan bagaimana dulu Mahkamah Agung berusaha mengatur soal pencurian barang yang dianggap ringan maupun berat, tetapi tidak ditindaklanjuti Kemenkumham.
Bagi Fachrizal, upaya penyelesaian secara sistemik adalah soal political will. Ia beralasan, upaya penataan regulasi masih di bawah kementerian yang sama, yakni Kemenkumham lewat Ditjen Perencanaan Perundang-undangan (Ditjen PP). Ditjen PP harus bersinergi dengan Ditjen PAS soal penerapan hukuman agar tidak memicu overcrowding di lapas di masa depan.
Sebagai contoh, kata Fachrizal, Ditjen PP dinilai mengedepankan hukum pemenjaraan lewat RKUHP padahal Ditjen PAS mengalami overcrowding karena banyak lapas mengalami kepenuhan kapasitas.
“Jadi jangan kemudian dia (Menkumham) pusing di Dirjen PAS kemudian sisi lain Dirjen PP bikin regulasi yang membuat peluang pidana-pidana baru. Itu sama dengan nguras lautan atau kayak misalkan ada dua orang di kolam. Satu berusaha ngeluarin air dari dalam kolam ke dalam bak yang satu lagi dalam bak masukin ke dalam kolam. Ini gak pernah surut," kata Fachrizal.
Facrizal memandang Menkumham Yasonna harus menyinkronkan dengan mengajak Ditjen PP dan Ditjen PAS di bawahnya bersinergi dan membuat rancangan aturan yang tidak mengarah pada overcrowding lapas.
Kemudian, kata dia, Yasonna harus melakukan pembahasan dengan DPR dan segera menggolkan aturan tersebut. Menurut Fachrizal, hal itu harusnya bisa dilakukan dengan posisi Yasonna yang berhasil menggolkan sejumlah undang-undang dalam waktu singkat seperti UU Cipta Kerja maupun UU Ibu Kota Negara baru.
“Apa yang gak bisa? Bisa toh. Menterinya partai berkuasa, dia punya power. Apa? Bikin KUHAP apa susahnya, RUU IKN, UU Cipta Kerja seminggu dua minggu selesai?" kata Fachrizal mempertanyakan.
“Harusnya (bisa masalah overcrowding selesai) kalau mau. Kuncinya di political will, kemauan politik dari kementerian. Ini kan sudah masalah politik karena sistemik. Mengubah sistem harus ada kemauan politik. Kalau case per case serahkan ke penegak hukum dan inspektorat pengawasan, tapi kalau sistemik begini harus ada kemauan politik, ada politik anggaran, ada politik sumber daya,” kata Fachrizal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz