tirto.id - Tim Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendatangi Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, untuk mengukur lahan yang akan dijadikan lokasi pertambangan quarry untuk pembangunan Bendungan Bener. BPN menurunkan 80 pengukur atau 10 tim, mereka menargetkan 200 bidang tanah yang diukur per hari.
Tujuan pengukuran untuk mengetahui fisik dan kepemilikan tanah. Kemudian, terdapat mata air pada quarry 114 hektare. Satu mata air ada di lokasi tersebut, 24 mata air ada di luar lokasi yang akan dilakukan penggalian. Berdasarkan penelitian tim, di titik-titik tersebut tidak ada cekungan air tanah. Jadi, sedikit air di patok-patok itu. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Kanwil ATR/BPN Provinsi Jawa Tengah, Dwi Purnama, di Polres Purworejo, Rabu, 9 Februari 2022.
Dari 114 hektare, 60 hektare akan diperuntukkan mengambil galian andesit, sementara sisanya untuk menyimpan humus. Humus itu akan dikembalikan lagi dan tanah bisa ditanami kembali.
Perihal isu pemerintah tak akan membayar tanah warga, Dwi menyatakan pengukuran merupakan bagian dari proses pembayaran. “Ini masuk dalam penilaian. Setelah nilai ketemu maka baru diajukan permohonan untuk pembayaran. Jadi pasti dibayar, ini bagian dari proses,” kata dia.
“Maka ini harus dilaksanakan. Kalau BPN tidak bisa mengukur, ya, sampai kapan pun tak akan selesai. Kalau BPN pada saat mengukur selalu diganggu, ya, BPN tidak bisa bekerja,” sambung Dwi.
Ia pun meyakinkan kini pihaknya justru berupaya memenuhi hak masyarakat dengan cara mengetahui luas masing-masing kepemilikan, tanah, serta tanaman tumbuh. BPN mengklaim tidak ada pengambilalihan lahan. “Tugas kami adalah menginventarisasi, mengidentifikasi.”
Pada Selasa, 8 Februari 2022, 250 petugas gabungan personel TNI, Polri, dan Satuan Polisi Pamong Praja, dikerahkan untuk menemani tim pengukur. Warga pun menolak kedatangan aparat di kampungnya. Penolakan itu berimbas kepada 64 warga Wadas ditangkap polisi, bahkan disebutkan ada lansia dan anak yang turut dibekuk petugas.
Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ahmad Luthfi menegaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan yang berkaitan dengan Wadas. Ia juga mengklarifikasi beberapa hal, misalnya ihwal ribuan aparat keamanan yang diterjunkan ke lokasi.
“250 personel sudah kami sesuaikan kekuatan dan tingkat ancaman yang timbul di sana. Di sana tidak ada ancaman. Kami hanya menyokong 10 tim dari BPN, yang akan diukur adalah 114 hektare. Masing-masing tim kami ‘bekali’ 20 personel untuk ‘menempel’ BPN. Tidak ada anggota polisi ribuan dalam satu kampung, tidak ada,” ujar dia.
Selanjutnya, ia menyatakan Polri berperan sebagai dinamisator kegiatan. Polda Jawa Tengah atas permintaan BPN meminta polisi untuk melakukan pendampingan, pengamanan, serta fasilitator bagi masyarakat Wadas yang menerima cum menolak proyek tersebut. Waktu bergulir, penolakan warga mulai mengguncang kampung. Terjadi cekcok antara pihak penerima dan penolak proyek.
“Kemudian kami amankan 64 orang yang kami arahkan ke Polres Purworejo, yang hari ini akan kami kembalikan kepada masyarakat agar tidak terjadi konflik antara yang menerima dan belum menerima,” tutur Luthfi.
Ia menambahkan, “Tidak ada penangkapan, penahanan, dan lain sebagainya yang kami lakukan. Hari ini akan kami bebaskan, agar pengukuran berjalan dengan baik.”
Lantas, bagaimana dengan ihwal isu pengepungan masjid? Luthfi menjelaskan bahwa ada personel Polri yang membelakangi masjid karena saat itu terindikasi akan terjadi kontak fisik, yakni pihak penerima proyek mengejar-ngejar para penolak. Sehingga kepolisian membikin parameter agar tak terjadi benturan dua pihak warga.
“Ada salah satu masyarakat yang belum menerima (rencana pembangunan), masuk ke masjid, kemudian kami amankan. Jaminannya adalah TNI, Kasat Serse, dan Kapolsek. Kami amankan dia biar tidak diserang oleh kelompok pro. Tidak ada pengepungan masjid,” kata Luthfi mengklaim.
Luthfi menyatakan yang dilakukan kepolisian telah mengikuti prosedur, namun “pembingkaian di luar menggambarkan kami tidak humanis.” Luthfi juga mengklaim tidak ada penculikan. Kala itu polisi menangkap satu warga, setelah diperiksa si warga mengakui bahwa dirinya memiliki akun media sosial yang diduga untuk mengunggah gambar kontra pembangunan bendungan dengan narasi negatif.
“Sekali lagi, kegiatan yang kami lakukan sesuai standar operasional prosedur. Tidak ada penembakan, tidak ada kekerasan,” kata dia.
Menko Polhukam Mahfud MD pun buka suara soal tindakan Korps Bhayangkara terhadap warga Wadas. “Polisi sudah bertindak sesuai prosedur untuk menjamin keamanan masyarakat. Tidak ada kekerasan dari aparat, tidak ada penembakan. Polisi sudah bertindak atas permintaan, untuk pengawalan dan menjaga masyarakat agar tidak terjebak konflik horizontal dan terprovokasi sesama masyarakat,” kata dia, Rabu (9/2/2022).
Sengketa Lahan: Aparat vs Rakyat
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyayangkan tindakan Polri. Sebab cara-cara tersebut sangat kontradiktif dengan komitmen Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo tentang pendekatan humanis.
“Pendekatan humanis tentunya harus lebih mengedepankan upaya persuasif dibanding upaya represif, melalui intimidatif maupun pemaksaan. Ini mengingatkan pada cara-cara Orde Baru dalam melakukan pembangunan Waduk Kedung Ombo yang juga ada di Jawa Tengah, 30 tahun silam,” ucap dia kepada reporter Tirto, Rabu (9/2/2022).
Menurut Bambang, hal itu hanya menunjukkan arogansi kekuasaan yang dilakukan aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum.
Penangkapan-penangkapan tersebut tak diperlukan bila aparat bisa melakukan persuasif secara baik dan benar. Bambang meneruskan, Kapolri diperintahkan presiden untuk mengawal dan mengamankan investasi, tentu harus dilakukan dengan bijak dan memahami kondisi sosial masyarakat.
Pada perkara Wadas, kata dia, harus ada evaluasi secara menyeluruh untuk aparat-aparat yang melakukan kekerasan terhadap penduduk setempat.
“Harus diingat, sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, kepolisian adalah aparatur negara, bukan sekadar alat pemerintah, dalam melaksanakan kamtibmas dan penegakan hukum. Sebagai aparat negara, kepolisian harus melindungi segenap warga negara, bukan hanya melindungi kepentingan pemerintah saja,” terang Bambang.
Penggunaan kekuatan aparat dengan senjata lengkap yang intimidatif itu tak diperlukan, serta pengerahan aparat bersenjata tentunya harus terukur, seberapa tinggi potensi kericuhan dan bahaya.
“Ini yang dihadapi adalah rakyat sendiri, mereka bukan kelompok bersenjata, bukan kelompok teroris, harusnya tetap terukur. Bukan berlebihan sehingga malah memprovokasi masyarakat yang sebelumnya damai-damai saja,” kata dia.
Proyek Tetap Berlanjut?
Warga Wadas tak setuju lahan mereka hendak ditambang untuk dijadikan material pembangunan Bendungan Bener, sebuah proyek strategis nasional yang berada sekitar 5 kilometer dari desa tersebut. Berdasar data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, Bendungan Bener total investasi bangunan ini mencapai Rp2,060 triliun, dengan skema pendanaan dari APBN.
Bendungan ini direncanakan akan memiliki kapasitas 100.94 m³, diharapkan dapat mengairi 15.069 hektare lahan, mengurangi debit banjir 210 m³/detik, menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 m³/detik, dan menghasilkan 6,00 MW listrik.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memastikan proyek pengukuran tanah untuk di Desa Wadas terus berlangsung meski warga emoh. "Kami memastikan bahwa proyek pengukuran tanah di Desa Wadas yang nantinya akan diambil batuan quarry untuk pembangunan Bendungan Bener akan tetap berjalan," ujar dia, Rabu (9/2/2022).
Keputusan itu sudah bulat dan tugasnya adalah memastikan terciptanya dialog terbuka antarwarga terutama pihak yang belum setuju.
Pembangunan komunikasi tidak hanya kepada warga Desa Wadas saja, menurut Ganjar, tapi terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia lantaran isu ini ramai diperbincangkan publik, terutama di media sosial. Si kepala daerah pun khawatir informasi yang tidak lengkap bisa memberikan perspektif yang berbeda.
“Apakah merusak lingkungan? Tentu tidak benar. Apakah di area itu akan diserobot tanpa dibayar? Negara tidak akan melakukan tindakan seperti itu,” kata Ganjar.
Konflik Wadas belum surut. Lembaga swadaya masyarakat pun bersuara terkait ini. Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Fanny Tri Jambore, misalnya, ia bilang proyek penambangan itu mestinya berhenti karena berkelindan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat.
"Kegiatan pengadaan tanah untuk quarry Bendungan Bener semestinya dihentikan sebagaimana seluruh proyek strategi nasional yang harus ditangguhkan terlebih dahulu,” ucap Fanny.
WALHI pun mendesak penyelenggara negara untuk tunduk terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, artinya presiden harus mampu menunjukkan sikap patuh terhadap hukum.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Usman Hamid menyatakan yang dilakukan oleh warga adalah hak yang sah. Penolakan itu adalah bagian dari perjuangan mereka membela hak atas lingkungan hidup yang sehat di Desa Wadas.
“Pengerahan personel yang masif dan penggunaan kekuatan yang eksesif adalah cermin pemolisian yang tidak demokratis. Itu juga mencederai demokrasi dan keadilan sosio-ekologis,” kata Usman.
Dukungan dari lembaga negara terhadap warga Wadas mengalir dari Komnas HAM. Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara meminta polisi membebaskan warga yang ditangkap, mengingatkan Polda Jawa Tengah menarik seluruh personelnya dari Desa Wadas dan mengevaluasi internal mengenai pola pendekatan kepada masyarakat, serta menyarankan Badan Pertanahan Nasional menunda pengukuran lahan warga.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz