Menuju konten utama

Membidik Pajak Rokok untuk Mengatasi Defisit Pembiayaan JKN

Hampir tujuh tahun eksis, BPJS Kesehatan masih saja didera masalah defisit neraca keuangan. Pembiayaan JKN dari pajak rokok dibidik untuk menambalnya.

Membidik Pajak Rokok untuk Mengatasi Defisit Pembiayaan JKN
Warga memperlihatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) di Banda Aceh, Aceh, Jumat (17/1/2020). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/foc.

tirto.id - Pernah dengar para perokok dengan pongahnya mengatakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dibiayai oleh cukai mereka? Benarkah “pajak dosa” mereka begitu signifikan dalam neraca keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan?

Edi Susanto, 57 tahun, dulunya adalah perokok berat. Warga Tangerang ini berkenalan dengan rokok sejak sekolah menengah dan memutuskan berhenti di usia 53 tahun. Dia bisa menghabiskan satu bungkus rokok filter, bahkan lebih, dalam sehari.

Edi memutuskan berhenti merokok setelah indera penglihatannya semakin kabur dan diminta melakukan operasi katarak. Tahun berikutnya, dia didiagnosis stroke. Untung saja Edi sudah menjadi peserta mandiri BPJS Kesehatan sejak 2014 sehingga semua biaya pengobatannya ditanggung JKN.

Sekarang karena sudah tidak kerja, jadi pilih turun kelas (dari kelas 1 menjadi kelas 3) supaya tidak berat,” cerita Edi kepada Tirto.

Dia sempat menunggak iuran BPJS Kesehatan selama satu tahun. Edi lantas melunasinya demi mengamankan biaya operasi katarak. Sekarang, kepesertaan Edi termasuk pada golongan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Dengan begitu, dia hanya membayar iuran JKN sebesar Rp25.500—sisanya, sebesar Rp16.500, disubsidi negara.

Cerita Edi adalah satu dari sekian contoh perilaku merokok yang menyumbang celah kebocoran bagi JKN. Kebiasaan buruknya membikin beban penyakit katastopik tertimbun di masa tua dan membuat kemampuan ekonomi keluarga menurun. Sangat tidak sebanding dengan sumbangan kesehatan dari cukai rokok yang pernah dia beli.

Kini, hampir tujuh tahun BPJS Kesehatan berjalan. Sejak pertama kali beroperasi pada 2014, sistem jaminan kesehatan ini telah mulai berbenah. Satu masalah yang masih jadi pekerjaan rumah lembaga ini adalah defisit keuangan.

Pada pengujung 2020 ini, Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan diprediksi masih akan mengalami defisit sebesar Rp4,9 triliun. Di sisi lain, beban penyakit katastopik yang faktor pemicunya terkait dengan rokok tidak pernah berkurang. Penyakit jantung, misalnya, mengambil porsi pembiayaan paling besar—sekira 52 persen.

Setelah penyakit jantung, mengekor penyakit kanker (16 persen), stroke (13 persen) seperti yang diderita Edi, dan gagal ginjal (12 persen). Lain itu, masih ada penyakit lain dengan selisih persentase cukup besar, yakni talasemia atau kelainan darah (2,3 persen), hemofilia atau gangguan pembekuan darah (1,7 persen), hepatitis (1,6 persen), dan leukimia (1,5 persen).

Perawatan penyakit katastropik seperti masalah jantung, gagal ginjal kronis, atau kanker butuh waktu lama dan biaya besar. Ia menyerap pembiayaan JKN hingga 22 persen dari keseluruhan klaim. Masalahnya, seturut Riset Kesehatan Dasar 2018, saat ini jumlah perokok di Indonesia sekitar 75 juta orang atau 33 persen dari total penduduk Indonesia—tertinggi ketiga di dunia.

Karena itulah, klaim bahwa cukai rokok mampu membiayai JKN sebenarnya adalah kepongahan yang tak berdasar. Renny Nurhasana juga membantah kebanggaan semu itu dalam disertasinya Kesinambungan Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan Nasional Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di Jabodetabek (2018). Pasalnya, seturut temuan riset Renny, rumah tangga yang punya pengeluaran besar untuk rokok cenderung tidak rutin membayar iuran JKN.

Konsumsi rokok berdampak multidimensi, perilaku rokok menyumbang defisit JKN,” tegas Analisis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wawan Juswanto dalam diskusi mengenai cukai rokok beberapa waktu lalu.

Krisis kesehatan dan ekonomi karena rokok bukanlah hal baru di Indonesia. Laporan World Bank Group 2002-2017 (PDF) mengungkap rokok memicu 21 persen kasus penyakit kronis di Indonesia dan membikin beban ekonomi USD1,2 miliar per tahun.

Pada 2020, jumlah anggaran kesehatan tercatat lebih dari Rp130 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak Rp48,8 triliun habis untuk membayar premi penerima bantuan iuran (PBI) JKN. Mereka itu merupakan 40 persen penduduk Indonesia dengan tingkat kesejahteraan terendah. Data BPS pada 2018 menunjukkan bahwa rokok adalah faktor penyebab kemiskinan terbesar kedua setelah beras.

Lingkaran Setan BPJS Kesehatan

Menjelang tahun ketujuh eksistensinya, BPJS Kesehatan sudah membangun kerja sama dengan lebih dari 27.000 fasilitas kesehatan. Cakupan kepesertaannya juga sudah mencapai 221 juta jiwa di seluruh Indonesia. Namun, mengapa Indonesia masih kesulitan mewujudkan pembiayaan JKN yang berkelanjutan?

Tantangan anggaran kesehatan di tahun 2021 ini termasuk peningkatan defisit karena ketidakseimbangan iuran dan biaya manfaat,” kata Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan Didik Kusnaini dalam diskusi menyoal JKN berkelanjutan yang digelar oleh The SMERU Research Institute.

Defisit bisa terjadi karena total iuran premi peserta JKN lebih rendah dari biaya klaim manfaat yang dikeluarkan. Mirisnya, ketidakseimbangan rasio klaim ini bisa mencapai 100 persen. Menurut Didik, defisit akan melebar apabila premi tidak mengalami kenaikan. Seturut proyeksinya, defisit akan mencapai Rp4,5 triliun pada 2021, kemudian naik lagi hingg Rp10,9 triliun pada 2022.

Dalam wawancara bersama Tirto, Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan bahwa faktor lain penyebab defisit pembiayaan adalah masalah pada kepesertaan sektor informal alias PBPU yang menunggak pembayaran premi. Lalu, sanksi bagi mereka yang mangkir dalam kepesertaan BPJS sejatinya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013 (PDF).

Teguran tertulis, denda, atau tidak mendapat pelayanan publik,” demikian termaktub dalam Pasal 5 (2) aturan tersebut.

Namun, hingga sekarang, sanksi ini belum terlaksana karena BPJS Kesehatan tak punya wewenang mengeksekusi. Pemerintah juga belum membuat aturan lebih lanjut terkait lembaga mana yang berhak menjadi eksekutor kebijakan tersebut.

Sektor informal ini tak sampai 50 persen yang menunggak, tapi bagaimana kita bisa memaksa mereka untuk membayar. Ini mesti ada enforcement, mesti ada sanksi [bagi penunggak iuran], dan itu [sudah] diatur undang-undang, diatur oleh aturan pemerintah. Tapi, kita belum menjalankan karena untuk menjalankan kita butuh [dukungan] masyarakat,” ujar Fachmi.

Infografik HL Indepth BPJS Kesehatan

Infografik HL Indepth Menyelamatkan BPJS Kesehatan

Sumber Tambahan Pembiayaan JKN

Beragam cara sudah ditempuh untuk menambal ketimpangan neraca keuangan. Mulai dari menyuntikkan dana tambahan dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dengan jumlah variatif per tahun, memperbaiki manajemen klaim di fasilitas kesehatan, hingga mitigasi rujukan dari luring ke daring.

Selain itu, “pajak dosa” dari rokok juga santer dibahas karena punya potensi pembiayaan besar. Selama ini, cukai tembakau sudah dimanfaatkan untuk mendukung program JKN secara tidak langsung. Hal itu pun telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBH CHT).

Beleid tersebut mengamanatkan sedikitnya 50 persen DBH CHT yang diterima daerah dipotong dan dialokasikan untuk program JKN. Dengan mempertimbangkan ragam akibat perilaku merokok yang membikin JKN kebobolan, potensi tambahan biaya dari tembakau kembali dibidik.

Keterikatan risiko akibat rokok dengan penyakit katastopik jelas,” kata Didik.

Kajian Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) 2018 telah menghitung potensi penerimaan fiskal sebanyak Rp13,5 triliun dari pemberlakuan iuran asuransi wajib penyakit terkait rokok (PTR) senilai Rp50 per batang.

Selain pajak rokok, ada beberapa potensi pendanaan JKN lain yang dikaji Kemenko PMK. Di antaranya penambahan harga BBM sebesar Rp50 per liter dengan potensi penerimaan senilai Rp3,65 triliun. Dana tambahan juga bisa diperoleh dari pengalihan subsidi BBM sebesar Rp250 per liter dengan potensinya Rp1,6 triliun.

Begitu pula pengalihan subsidi gas dan listrik sebesar 2,5 persen dengan potensi Rp1,7 triliun. Lalu, masih ada pula potensi dari pungutan Sugar Sweetened Beverages (SSB) dan makanan tidak sehat. Tapi, potensi SSB tidak terlalu signifikan—hanya Rp0,27 triliun—dan tidak populer bagi industri makanan dan minuman. Terakhir, penambahan pungutan alkohol 10 persen dengan potensi hanya sekitar Rp0,6 triliun.

Di antara beberapa pilihan itu, potensi penerimaan dari “pajak dosa” perilaku merokok adalah opsi yang paling menjanjikan bagi pendanaan berkelanjutan JKN. Hitung-hitung sambil menyelam minum air, pemberlakuan pajak dosa dan kenaikan cukai rokok setidaknya juga akan mengurangi jumlah perokok di Indonesia. Semoga.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi