Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Menilik Motif Bocornya Nama Anggota KPU-Bawaslu Sebelum Pemilihan

Wasisto menilai kemunculan daftar nama anggota KPU-Bawaslu terpilih sebelum putusan berkaitan dengan konstelasi politik masa depan.

Menilik Motif Bocornya Nama Anggota KPU-Bawaslu Sebelum Pemilihan
Petugas keamanan bersiaga di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (29/6/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.

tirto.id - Komisi II DPR resmi mengumumkan nama-nama yang menjadi anggota KPU-Bawaslu periode 2022-2027. Tujuh nama anggota KPU terpilih antara lain: Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy'ari, Mochammad Afifudin, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Sementara 5 nama anggota Bawaslu terpilih adalah Lolly Suhenty, Puadi, Rahmat Bagja, Totok Hariyono, dan Herwyn Jefler Hielsa Malonda.

Pemilihan anggota KPU-Bawaslu kali ini agak sedikit spesial. Sebab, nama-nama yang terpilih sudah 'bocor' sehari sebelum pemilihan pada Kamis (17/2/2022). Dalam daftar yang diterima wartawan sehari sebelumnya, ada beberapa nama yang disebut-sebut sebagai komisioner KPU-Bawaslu periode 2022-2027.

Salah satu pimpinan Komisi II DPR Luqman Hakim pun cepat-cepat mengklarifikasi dan membantah bahwa lembaganya sudah memutuskan nama-nama anggota KPU dan Bawaslu terpilih. “Hoaks itu!” kata politikus PKB ini.

Namun dari daftar nama-nama yang tersebar tersebut, toh ada yang akhirnya benar-benar terpilih. Sejumlah pemerhati pemilu pun merespons soal pemilihan anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 tersebut.

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) misalnya. Mereka menyoroti sejumlah poin, salah satunya soal pesan berantai yang beredar soal penentuan nama-nama anggota KPU-Bawaslu terpilih.

Wakil Direktur Puskapol UI Hurriyah beranggapan kemunculan daftar nama KPU-Bawaslu memicu skeptisme publik soal integritas proses uji kelayakan dan kepatutan anggota KPU-Bawaslu. Alasannya, daftar nama yang muncul memuat soal latar belakang organisasi calon yang memicu keraguan publik.

“Hal ini (kemunculan nama kandidat dengan latar belakang ormas) menimbulkan ironi publik terhadap proses penyelenggaraan seleksi uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR RI yang seolah mengesankan formalitas proses seleksi, sementara hasilnya telah ada sebelum uji kelayakan dan kepatutan dilakukan,” kata Hurriyah, Kamis (17/2/2022).

Hurriyah juga menyoroti soal keterwakilan 30 persen perempuan dalam komposisi komisioner KPU dan Bawaslu. Ia menyayangkan komitmen DPR yang rendah untuk memenuhi komitmen tersebut sebagaimana amanat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Selain itu, Puskapol UI melihat beberapa anggota DPR membenturkan kebijakan afirmatif dengan persoalan kapasitas dan profesionalitas perempuan. Pertanyaan yang dilontarkan Komisi II DPR dalam fit and proper test seolah merendahkan kapasitas kandidat padahal ada anggota DPR yang bilang pula bahwa mereka orang terbaik yang telah melewati ujian kapasitas dan profesionalitas.

Puskapol juga mengkritik penayangan secara terbuka pelaksanaan fit and proper test yang sempat terganggu, padahal publik berhak untuk memonitor proses uji kelayakannya.

Penilaian berbeda diungkapkan peneliti KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana. Ia menilai nama-nama yang dipilih merupakan kandidat terbaik karena sudah berhasil melalui uji kelayakan dan kepatutan. Mereka juga menilai nama-nama terpilih punya kemampuan mumpuni meski ada catatan.

“Jika melihat nama-nama di atas, anggota KPU dan anggota Bawaslu terpilih cukup representatif secara kepakaran/latar belakang, semuanya memiliki keahlian khusus yang akan memperkuat masing-masing kelembagaan. Meski demikian, keterwakilan perempuan 30% tidak terpenuhi, hanya ada 1 perempuan di KPU dan Bawaslu,” kata Ihsan dalam keterangan tertulis, Kamis (17/2/2022).

Ihsan berharap agar anggota terpilih segera berkonsolidasi dan persiapan transisi dengan anggota KPU yang ada. Ia mengingatkan bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus segera ditangani oleh anggota KPU-Bawaslu terpilih.

Ihsan menegaskan KoDe Inisiatif tidak punya kapasitas dalam mengomentari nama-nama yang beredar sebelum pemilihan. Akan tetapi, ia meminta penjelasan dari DPR soal nama-nama yang kadung tersebar tersebut.

“Perihal nama-nama terpilih sama dengan nama-nama yang beredar, ini di luar kapasitas KoDe Inisiatif. Karena DPR yang perlu melakukan konfirmasi,” kata Ihsan.

Kata DPR soal Nama-Nama yang Beredar

Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengklaim bahwa nama-nama calon yang beredar tidak terbukti. Ia juga menyebut kesamaan daftar nama yang beredar dengan yang terpilih adalah sebuah kebetulan.

“Kalau sama ya itu kebetulan saja sama. Boleh dong orang berhitung, tetapi kami di Komisi II tidak pernah membentuk hal demikian,” kata Junimart di Jakarta, Kamis )17/2/2022).

Junimart menyinggung ketiadanaan nama kandidat dalam daftar nama sebelumnya. Ia menilai bahwa ada nama tersebut tidak diplot.

Ia pun menuturkan, pemilihan dari 14 kandidat KPU dan 10 kandidat Bawaslu menjadi 7 anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu sempat mengalami pro-kontra. Mereka akhirnya memilih pendekatan musyawarah mufakat.

“Musyawarah mufakat itu akhirnya kita sepakati voting, tapi votingnya itu blok terbatas. Jadi kita serahkan kepada kapoksi untuk menentukan pilihannya," kata Junimart.

Anggota Komisi II DPR Anwar Hafid menyebut proses pemilihan dengan konsep musyawarah berbasis voting.

“Musyawarah yang itu divotingkan. Jadi saya kira prosesnya juga kalau mau dibilang voting, sama voting karena kita kan memberi suara, sekalipun suaranya itu masing-masing fraksi diberikan, dimandatkan kepada ketua poksi,” kata Anwar di kompleks parlemen, Kamis (17/2/2022).

Anwar mengklaim pihaknya ingin terbuka, tetapi karena ada kasus COVID yang juga menyasar anggota DPR Komisi II, maka prosesnya dilakukan musyawarah dengan voting masing-masing ketua poksi.

Sementara terkait kesamaan daftar nama anggota terpilih dengan nama-nama yang beredar di public, kata Anwar, sebagai sebuah risiko era digital. Ia sebut di era digital, orang dengan mudah memprediksi arah dari keputusan yang akan diambil.

Sementara itu, Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) yang juga ketua pansel, Juri Ardiantoro menegaskan pemerintah tidak berbicara banyak soal pemilihan nama yang mirip dengan nama yang beredar. Ia mengingatkan calon yang dipilih adalah yang sudah disaring pemerintah sehingga tidak bocor. Pemerintah pun akan melantik sebagaimana ketentuan yang berlaku.

“Yang dilakukan pemerintah itu, presiden menetapkan anggota KPU dan Bawaslu sekaligus calon pengganti antar waktu (PAW) kemudian melantiknya tanggal 12 April 2022,” kata Juri saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (17/2/2022).

Pesan di Balik Nama-Nama yang Bocor

Dosen Komunikasi Politik Unair Suko Widodo memandang ada 'pesan' politik dari nama-nama yang beredar sehari sebelum penentuan komisioner KPU-Bawaslu terpilih. Ia menduga ada upaya melegitimasi hasil pemilihan anggota KPU-Bawaslu.

“Ada dua perspektif. Satu bisa juga itu dari veta comply sebagai bentuk merefer pemilih bahwa ini loh nama yang beredar, kalau gak dipilih Anda akan kena risikonya atau bisa juga diumumkan untuk menguatkan keputusan yang ada. Itu bisa dilihat dari dua sisi," kata Suko kepada Tirto, Kamis (17/2/2022).

Suko menilai, narasi ini justru bisa membuat DPR seolah-olah wajib mengikuti keputusan sebagaimana isi pesan berantai itu. Di sisi lain, pesan tersebut juga mengatakan bahwa 'hasil' anggota terpilih sudah melewati pandangan publik.

Bagi Suko, hal ini bisa berdampak buruk. Ia beralasan, proses pemilihan menjadi tidak etis karena tidak melewati proses yang seharusnya. Hal itu juga mengganggu citra kandidat karena dinilai belum kompeten akibat proses pemilihan yang dianggap tidak etis.

Suko memahami bahwa informasi yang disampaikan harus transparan, tetapi ia khawatir ada pesan lain di luar penyebaran informasi tersebut.

“Pada era sekarang informasi itu menjadi komoditas membungkus untuk menjadi sarana penguat keputusan. Jadi misalnya dan itu di era overload komunikasi, kan, juga begitu. Kan bisa dilihat berawalnya dari gitu," kata Suko.

Kini, masalah penyebaran informasi hingga memicu narasi buruk tidak akan terdampak bila anggota KPU-Bawaslu terpilih bisa bekerja keras. Hal tersebut juga terjadi dalam pemilihan KPUD maupun Bawaslu daerah. Akan tetapi, DPR harus bertanggung jawab atas pemilihan anggota KPU-Bawaslu jika berkinerja buruk.

Sementara itu, analis politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati justru melihat kehadiran daftar nama anggota KPU-Bawaslu terpilih sebelum putusan berkaitan dengan konstelasi politik masa depan. Ia menduga hal ini berkaitan dengan kepentingan-kepentingan politik pada Pemilu 2024.

“Saya pikir beredarnya nama sebelum putusan resmi itu menunjukkan kalau nantinya Pemilu 2024 berpotensi menjadi ajang pengamanan kepentingan politik tertentu bagi para elite. Selain itu, beredarnya nama itu pula menunjukkan tidak adanya semacam etika politik yang tidak dijunjung karena hasil sudah bisa ditebak," kata Wasisto kepada reporter Tirto, Kamis (17/2/2022).

Wasisto pun menganggap wajar bocoran ada di publik, sebab ada logika penunjukan di balik mekanisme pemilihan. "Logika ‘appointed’ itu yang biasanya ada semacam balas budi politik atau kepentingan politik tertentu," kata Wasisto.

Wasisto menduga, pengamanan yang dikejar adalah upaya mempertahankan kursi di Pemilu 2024. Ia menduga bahwa penyebaran nama-nama juga sebagai upaya meminimalisir dampak gugatan pada Pemilu 2024 agar hasil definitif pemilu bisa tercapai. Dugaan tersebut tidak terlepas dari terlihatnya afiliasi anggota KPU-Bawaslu terpilih dan informasi latar belakang organisasi kandidat terpilih.

“Kalau kita bisa baca latar belakang para komisioner dengan afiliasi parpol yang ada, tentu sudah dilihat bahwa orientasinya adalah membangun kartel politik dan meminimalisir hadirnya pendatang parpol baru dalam kekuasaan," kata Wasisto.

Wasisto pun mengatakan, pengkondisian tidak hanya soal memudahkan status definitif, tetapi juga mencegah partai politik untuk menghadapi gelombang politik yang tidak diinginkan.

"Lebih tepatnya dikondisikan apalagi melihat desain pemilu 2024 yang sifatnya serentak, yang jelas menguras psikis dan emosional dua kali lipat dari pemilu sebelumnya. Maka akan lebih ‘bijak’ kalau ada pengkondisian-pengkondisian sehingga pemilu 2024 berjalan lancar," tutur Wasisto.

Di sisi lain, publik bisa mendelegitimasi KPU-Bawaslu terpilih jika pemilu tidak berjalan lancar. Wasisto menduga, hal ini tidak terlepas dari kinerja Pemilu 2024 akan berkorelasi dengan kinerja pemerintahan Jokowi. Pemerintah bisa saja lempar kesalahan ke KPU-Bawaslu bila pemilu berjalan buruk pada Pemilu 2024 serta jelang pelaksanaan pilkada.

“Skenario lempar bola kepada KPU-Bawaslu tersebut sangat memungkinkan terlebih lagi persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2024 ini juga jadi semacam parameter capaian pemerintahan Jokowi. Oleh karena itulah daripada nanti terkena ‘getah’ terkait proses dan pelaksanaan pemilu 2024, maka eksekutif lempar bola ke DPR dalam proses seleksi komisioner," kata Wasisto.

Meskipun ada potensi narasi negatif, Wasisto yakin segmen tersebut tidak kuat. Ia memandang publik tidak begitu peduli, sementara pelemparan nama-nama adalah upaya untuk menghilangkan narasi politik.

“Selebihnya publik secara luas itu acuh tak acuh dengan seleksi dan penetapan para komisioner tersebut. Hal ini saya pikir adalah bagian dari depolitisasi kebijakan selama pandemi sehingga publik tidak banyak tahu proses kebijakan pemerintah," kata Wasisto.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz