tirto.id - Masa pensiun prajurit TNI kembali menjadi perbincangan. Hal tersebut setelah sejumlah pihak mengajukan pengujian pasal dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI terkait batas umur pensiun TNI.
Pemohon yang terdiri atas Euis Kurniasih dan empat pemohon lainnya menguji Pasal 53 UU TNI yang berbunyi, “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama.”
Selain itu, mereka juga menguji Pasal 71 huruf a UU TNI frasa “Usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama.” Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan masa pensiun Polri dan instansi lain yang mencapai usia 58 tahun.
Pengajuan uji materi pasal ini pun menjadi spesial karena Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menjadi pihak terkait ikut memberikan keterangan dalam sidang Perkara Nomor 62/PUU-XIX/2021. Ia mengakui bahwa TNI bersama pemerintah tengah membahas pula pengubahan batas umur prajurit TNI.
“Mengenai perubahan batas usia pensiun, saat ini pemerintah dan DPR akan membahas Rancangan Undang-Undang atas UU TNI yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional dalam materi Rancangan Undang-Undang tersebut termasuk perubahan batas usia pensiun,” kata Andika kepada Pleno Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Selasa (8/2/2022) sebagaimana dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi.
Mantan KSAD itu tidak membahas detial soal isi revisi undang-undang berkaitan dengan umur tersebut. Akan tetapi, Andika ingin agar Mahkamah memberi putusan yang adil dalam perkara tersebut.
Sementara itu, pihak presiden belum memberikan keterangan. Di sisi lain, DPR yang diwakili Anggota Komisi III Arteria Dahlan memandang bahwa pemohon harus membuktikan kerugian konstitusional akibat batas umur yang hanya 53 tahun sebagaimana diatur dalam UU TNI.
“Para pemohon juga perlu membuktikan secara kronologis mengenai hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami para pemohon dengan berlakunya pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujian,” ucap Arteria.
Terhadap kedudukan hukum para pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para pemohon memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 06/PUU-III/2005 serta Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Terhadap pokok permohonan, DPR berpandangan bahwa reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia untuk menata kehidupan bangsa yang lebih baik telah menghasilkan perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan. Perubahan tersebut telah ditindaklanjuti antara lain dengan melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan.
Khusus pada soal batas umur, Arteria mengingatkan bahwa penentuan batas umur yang dilakukan pembuat undang-undang memperhatikan soal kebutuhan dan tugas serta kewenangan TNI. “Penentuan batas usia pensiun tersebut tentunya harus berdasarkan kebutuhan personel dan keahlian yang dibutuhkan berdasarkan analisa jabatan, baik yang ada di kepolisian maupun TNI,” kata Arteria.
Pemerhati militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengingatkan bahwa esensi perbedaan umur pensiun yang diatur di UU TNI berkaitan dengan faktor fisik dan pertimbangan karier prajurit di luar TNI.
“Sejatinya, semangat perbedaan pembatasan usia pensiun tamtama-bintara dengan perwira bukanlah wujud diskriminasi. Hal ini dikarenakan beban tugas dan tanggung jawab dari jenjang kepangkatan membutuhkan tingkat kebugaran dan kesehatan prajurit yang berbeda. Karena itu, konsekuensinya adalah usia pensiun bagi golongan tamtama dan bintara lebih dini dibandingkan perwira," kata Anton kepada reporter Tirto, Kamis (10/2/2022).
Anton mengingatkan bahwa pengaturan batas umur berdasarkan 3 faktor. Pertama, sebagai garda terdepan dalam pengelolaan pertahanan negara, personel militer dituntut memiliki tingkat kebugaran dan kesehatan tertentu guna optimal menjalankan tugas. Konsekuensinya, usia prajurit aktif mau tidak mau harus dibatasi.
Kedua, pembatasan usia pensiun penting dilakukan guna menjamin kesempatan promosi bagi prajurit-prajurit berusia lebih muda untuk meniti karier militer, kata Anton.
“Ketiga, pengaturan usia pensiun yang baik diharapkan dapat membuka peluang adanya karier kedua (second career) usai pensiun. Jika usia pensiun terlalu tua dikhawatirkan dapat mengurangi kesempatan bagi prajurit untuk dapat berkarier di tempat lain," kata Anton.
Ia mengingatkan, ada dampak utama bagi organisasi TNI apabila gugatan ini dikabulkan. Salah satunya ada potensi bottleneck dalam pengelolaan karier prajurit TNI semakin besar. Penambahan usia pensiun, kata Anton, akan dapat memperparah fenomena prajurit nonjob dalam institusi militer.
“Dengan menambah usia pensiun, maka pengelolaan karier prajurit akan semakin kompleks akibat adanya pelambatan laju pensiun. Tentunya, ini akan membuat karier prajurit yang lebih muda terkendala dan tidak menutup kemungkinan fenomena nonjob meluas ke berbagai jenjang kepangkatan," kata Anton.
Anton menerangkan, fenomena penumpukan perwira di kepangkatan tertentu sebenarnya merupakan efek dari perpanjangan usia pensiun seperti yang dituangkan dalam UU TNI. Dampak tersebut baru terasa setelah 5 tahun pemberlakuan UU TNI. Ia mencontohkan, kepangkatan kolonel dan perwira tinggi misalnya, hingga 2008, masih terjadi defisit jumlah perwira untuk memenuhi jabatan pada kepangkatan tersebut hingga mencapai 156 pos.
“Artinya, ada 156 pos jabatan yang sebenarnya masih kekurangan personel. Akan tetapi, pada 2009, fenomena surplus mulai terjadi dengan adanya 211 perwira dengan kepangkatan kolonel dan perwira tinggi tidak mempunyai jabatan. Dan pada 2018, angka surplus mencapai 1.183 orang," kata Anton.
Anton memandang, Mabes TNI sudah menyiapkan sejumlah inisiatif seperti menambah Masa Dalam Pangkat (MDP) dan jumlah jabatan dengan memekarkan struktur, tetapi tidak mengakhiri fenomena nonjob. Ia melihat, laju promosi dan laju pensiun tidak disertai intervensi kebijakan yang kuat dan konsisten.
“Karena itu, penambahan usia pensiun, apalagi mencapai 60 tahun, bukanlah solusi jitu dalam pengelolaan karier prajurit TNI ke depan. Apalagi frasa ‘mempunyai keahlian khusus’ dan ’sangat dibutuhkan’ berpotensi multitafsir sehingga sebaiknya dihindari," kata Anton.
Anton justru mendorong agar ada pengaturan wajib Masa Persiapan Pensiun untuk semua jenjang kepangkatan terhitung satu tahun sebelum usia pensiun. Kebijakan ini, kata Anton, dibutuhkan agar prajurit yang akan pensiun dapat mempersiapkan diri untuk karier selalnjutnya usai berhenti dari militer.
Selain itu, ia memandang kebijakan pemisahan dan penyaluran (sahlur) atau ‘resign by design’ prajurit perlu untuk semakin ditingkatkan guna membantu identifikasi dan pengelolaan kebijakan karir kedua (second career) usai tidak lagi aktif di TNI.
"Dengan semakin kompleksnya tantangan pengelolaan pertahanan kita ke depan, kebutuhan adanya prajurit militer yang muda, bugar dan memiliki standar keahlian tertentu yang terukur menjadi tidak terelakkan. Dan titik krusialnya adalah bagaimana TNI mengelola jalannya regenerasi prajurit melalui penataan karier personel yang baik dan profesional," tutur Anton.
Peneliti keamanan Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LSPSSI) Beni Sukadis menilai ada potensi kekosongan hukum soal usia pensiun bila uji materi dikabulkan MK. Pemerintah pun harus segera mengatur ketentuan usia pensiun. Hal ini juga akan berdampak pada tata laksana organisasi TNI.
“Dengan perpanjangan ini, maka akan menghambat promosi perwira menengah karena ada beberpa perwira tinggi yang masih akan menjabat karena masa pensiunnya diperpanjang. Konsekuensinya adalah rotasi dalam penugasan perwira menengah akan jadi lamban dan tentu ini akan terjadi penumpukan pamen (perwira menengah) karena tidak memiliki posisi/jabatan," kata Beni dalam keterangan, Kamis (10/2/2022).
Beni menuturkan, kejadian penumpukan pamen masih terjadi hingga 2022. Alhasil, pemerintah seharusnya memiliki suatu altenatif untuk mengatasi penumpukan bila gugatan dikabulkan. Bentuk tindakan bisa melalui skema pensiun dini dengan kompensasi ataupun penempatan perwira yang alih status menjadi pejabat di kementerian dan nonkementerian secara terbatas seperti Lemhannas, Wantannas, BSSN, atau Bakamla.
Namun Beni kurang sepakat jika ada dorongan pemerintah untuk memperpanjang umur pensiun. Ia melihat dari faktor kemampuan dan kelincahan organisasi.
“Jadi menurut saya nggak ada urgensi pemerintah usulkan perpanjangan. Malah menurut saya yang tamtama/bintara seharus maksimal umur 50 (artinya diturunkan dari 53) dan perwira tetap 58," kata Beni.
Beni menambahkan, “Saya enggak yakin kalua tamtama/bintara yang umur 53-58 bisa ikut perang di lapangan. Tentu prajurit yang gesit, mesti berumur yang lebih muda. Jadi nggak ada urgensinya menurut saya. Ada hal-hal lebih penting adalah pasal lain UU No.3/2002 dan UU 34/2004.”
Sementara itu, Direktur Eksekutif ISESS Khairul Fahmi meminta publik mengingat kembali esensi penentuan umur pensiun TNI di level bintara dan tamtama 53 tahun. Ia sebut TNI dan Polri dipisah karena fungsi dan peran yang berbeda.
TNI lebih mengedepankan isu penegakan kedaulatan dan operasi militer selain perang, sedangkan Polri yang lebih pada penegakan hukum dan menjaga keamanan masyarakat, kata Fahmi. Oleh karena itu, masa pensiun Polri tidak perlu sama dengan TNI.
“Bisa dipahami jika ada rencana untuk menyamakan usia pensiun seperti yang dilakukan Polri yaitu pada usia 58 tahun mulai dari tamtama, bintara hingga perwira. Namun menurut saya perlu sedikit diluruskan sama seperti di Polri tidak perlu juga ada tambahan klausul masa aktif dapat diperpanjang hingga 60 tahun dengan kriteria tertentu," kata Fahmi, Kamis (10/2/2022).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz