tirto.id - Mereka baku dorong di pinggir jalan, hingga akhirnya terperosok ke sawah yang lumpurnya mencapai setengah betis. Di Desa Sei Tuan, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, insiden itu terjadi. Warga dan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ricuh. Seorang ibu yang merekam menggunakan ponselnya berkata ada anak yang jadi korban.
Parningotan Marbun, Kepala Desai Sei Tuan, mendapatkan informasi dari Babinsa dan Bhabinkamtibmas, sebut ricuh yang terjadi pada 4 Januari 2021 itu karena pihak Pusat Koperasi Angkatan Darat berniat memasang plang di persawahan tersebut. “Tanpa pemberitahuan ke pemerintah desa,” kata dia.
Berdasar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kata Marbun, penguasa daerah adalah kepala desa, maka semestinya tentara bersurat kepada kepala desa tentang maksud kedatangan mereka.
Warga setempat merasa area persawahan itu merupakan tanah keturunan yang terus diolah turun-temurun. Sedangkan pihak tentara merasa lahan tersebut miliknya berdasar Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tertanggal 30 Agustus 1994. Adu klaim inilah yang diduga jadi penyebab konflik.
Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan menyayangkan peristiwa ini masih terjadi pada lahan yang dimiliki oleh Puskopkar "A" Bukit Barisan, antara pihak Tim Terpadu Puskopkar dan masyarakat penggarap lahan.
Kepala Penerangan Kodam I/BB Kol. Inf Donald Erickson Silitonga lahan yang digarap itu merupakan HGU milik Puskopkar "A" yang berada di lahan seluas 62 hektare, di Dusun 3, Desa Sei Tuan.
“Tidak hanya itu, Puskopkar juga setiap tahun secara rutin membayar pajak bumi dan bangunan, serta berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 209/K/TUN/2000. Namun di lahan tersebut selama ini terdapat saudara-saudara kami (warga) yang memanfaatkan lahan dengan cara bercocok tanam,” ucap dia, Kamis (6/1/2022), di Medan.
Pihak Kodam pun masih membuka diri untuk berdialog dan mencarikan solusi yang terbaik buat masyarakat sebagai upaya pendekatan secara persuasif dan humanis. Perihal legalitas, merujuk Putusan Mahkamah Agung Nomor: 209/K/TUN/ 2000, maka tentara akan segera melaksanakan putusan tersebut atas dasar kemanusiaan. “Akhirnya Puskopkar mengurungkan niat eksekusi lahan yang diduduki warga.”
Keributan warga dan tentara bermula ketika Puskopkar, pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan kepolisian memasang plang di titik barat. Di titik tersebut, personel TNI berhasil memasang plang. Namun, terjadi pengadangan oleh masyarakat.
Sekitar pukul 10.30 WIB, warga semakin ramai. Satu jam kemudian, ketika pasukan mulai istirahat, warga mengadang jalan menggunakan batu dan kayu di depan truk tentara. Akhirnya, pemasangan plang kedua dan ketiga di titik selatan dan timur batal dilakukan.
Para personel diperintahkan untuk meninggalkan lokasi, tapi dua truk TNI yang berada di titik timur tidak bisa meninggalkan lokasi karena jalan diblokir warga. Imbasnya cekcok dan saling dorong terjadi. Kodam menindaklanjuti perkara itu dengan menurunkan Penyidik Pomdam untuk mendapatkan informasi yang akurat. Jika ada kejadian di luar kepatutan, TNI pun membuka diri untuk menerima pengaduan masyarakat guna memperoleh kepastian hukum.
“Saat ini proses penyelidikan dan penyidikan saat ini sedang dilakukan oleh Penyidik Pomdam I/BB. Kodam I/BB tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku, sesuai asas hukum praduga tak bersalah, kami tetap harus hormati. Apabila hasil penyelidikan cukup bukti terpenuhinya unsur tindak pidana, maka akan kami tindak sesuai ketentuan hukum,” kata Donald.
Danpuspomad Letjen Chandra Warsenanto Sukotjo menegaskan bahawa TNI tidak pernah menganggap masyarakat sebagai musuh. “Kalau mediasi, dialog itu silakan. Itu pasti dilakukan karena masyarakat itu bukan musuhnya tentara. Saya ulangi, masyarakat itu bukan musuhnya tentara," tutur dia di Kantor Oditurat Militer Tinggi II Jakarta Timur, Kamis (6/1/2022).
TNI Harusnya Jadi Pelindung Rakyat
Kepala Divisi Sipil Politik LBH Medan Maswan Tambak merespons perkara ini. Pertama, kata dia, dugaan pemukulan warga tidak dibenarkan dengan alasan apa pun karena TNI haruslah menjadi pelindung rakyat, bukan ancaman bagi rakyat. “Oleh karena itu penting penyelidikan ditindaklanjuti,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (7/1/2022).
Kedua, menyoal HGU. HGU seharusnya dapat ditinjau ulang. Jika diperoleh pada 1994, maka tentu harus dilihat juga bagaimana iktikad baik Puskopkar mengusahakan lahan, apakah produktif atau tidak. Pemberian HGU tentu untuk kemakmuran rakyat, bukan semata kemakmuran koperasi tentara, terlebih lagi jika TNI tidak pro rakyat.
Menurut Maswan, kalau pun secara hukum sudah dimenangkan oleh Kodam I/BB, tentu faktanya banyak rakyat yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam di lahan tersebut.
Sederhananya, kata Maswan, lahan yang ditinggalkan akan lebih bermanfaat jika rakyat menduduki dan mengusahakannya. Maka selanjutnya perlu untuk memastikan lahan-lahan terlantar di tata ulang agar tidak ada lagi konflik agraria antara rakyat dengan TNI, maupun rakyat dengan pemodal.
“Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang kental dengan konflik agraria. Sehingga perlu sinergi pemerintah pusat dan daerah memastikan tanah untuk rakyat. Karena itu yang menjadi akar masalahnya sehingga muncul masalah lain seperti adanya bentrok,” kata dia.
Kuasa hukum warga Sei Tuan, Jones Naibaho, menyatakan persoalan lahan di dusun 3 desa tersebut masih berstatus sengketa. Pihaknya telah menempuh jalur hukum di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam guna menguji status kepemilikan.
Pemukulan Warga oleh TNI Harus Diusut
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi berkata jika betul TNI diduga memukul warga saat kejadian, maka bisa dikenakan pasal tindak pidana. Namun sebelum mengarah ke situ, yang mesti diketahui publik adalah ihwal sengketa tanahnya.
“Apakah pemasangan plang dibenarkan dalam hukum? Yang berhak memasang plang itu pengadilan, ketika ada eksekusi,” kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Jumat (7/1/2022).
Penurunan prajurit TNI ke lokasi ia sebut bermasalah sejak awal lantaran sengketa lahan ini tengah ditangani oleh pengadilan. Kedua pihak memang memiliki alasan yang sama-sama kuat, warga dengan dalih lahan turun-temurun dan tentara dengan kepemilikan HGU yang terbit pada 1994.
Lantas sebelum tahun penerbitan HGU, siapa pemilik tanahnya? Jika benar dikuasai TNI sejak lama, maka seharusnya tanah itu ‘disterilkan’. Namun yang terjadi malah masyarakat mengusahakan lahan untuk kehidupan.
“Yang berhak memasang plang itu pengadilan. Itu ada atau tidak perintah pengadilan? Harus ada eksekusi. Wajar jika warga melawan. Di sisi lain, prajurit yang ditempatkan itu militer, militer memang alat negara untuk bertempur. Yang perlu dilihat itu, yang memerintahkan pasang plang,” lanjut Fachrizal.
HGU lahan tersebut akan berakhir pada 2023 dan akan diperpanjang sesuai prosedur.
“Untuk memperpanjang (izin HGU) harus ada bukti penguasaan. Mungkin itu yang menjadi masalah karena tanah ini tidak dikuasai TNI. Untuk bisa memperpanjang harus menguasai. Artinya, selama ini HGU itu tidak dikuasai, hanya di atas kertas,” kata dia.
Konflik lahan di Deli Serdang, pernah terjadi pada 2015. Saat itu, lahan di Desa Ramunia 1 yang menjadi sengketa berawal dari tanah negara. Sejak awal 1960-an tanah seluas 700 hektare di bawah kendali Puskopad. Karena tidak digarap, warga mengolahnya jadi perkebunan dan membangun rumah. Bahkan pengungsi Aceh pun ikut memanfaatkannya.
Puskopad mulai memanfaatkan lahan tersebut pada 2010, tapi sekitar 500 hektare sudah menjadi lahan garapan dan permukiman warga. Sejak itu, konflik masyarakat dan Puskopad tak terhindarkan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz