Menuju konten utama
Kekerasan Seksual Anak

Kasus Perkosaan Anak Bukan Delik Aduan, Tak Bisa Setop dengan Damai

Poengky Indarti menilai kasus perkosaan anak merupakan delik biasa. Meski ada perdamaian, penyidik tetap harus melanjutkan kasus.

Kasus Perkosaan Anak Bukan Delik Aduan, Tak Bisa Setop dengan Damai
Ilustrasi HL Indepth Perkosaan HL 2 Elaborasi Kasus Perkosaan. tirto.id/Nadya

tirto.id - Kasus dugaan penyekapan dan pemerkosaan siswi SMP oleh anak anggota DPRD Pekanbaru, Riau, tak berlanjut lantaran pencabutan laporan. Namun, langkah polisi ini menuai kritik sebab kasus perkosaan bukan delik aduan sehingga pencabutan laporan tak bisa dijadikan alasan perkara disetop.

“Benar,” kata Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (5/1/2022). Alasan pencabutan karena persetujuan. “Iya, sudah kesepakatan damai kedua pihak.” Pada perkara ini, korban adalah AS (14 tahun) dan pelaku ialah AR (21 tahun).

Kasus bermula pada 25 September 2021. Kala itu korban diajak temannya, M, untuk pergi ke rumah AR. Di sana ia dijanjikan menginap dan diberikan kamar yang berada di belakang rumah. Lantas pelaku menyuruh AS untuk tidur, ketika lelap korban merasa ada yang memeluknya. Kemudian korban bangun.

Saat itu, korban diancam akan dicekoki narkoba dan dilaporkan ke polisi. Lantaran terancam, AS terpaksa pasrah. Pelaku dua kali memerkosa korban yakni sekitar pukul 02.00 dan pukul 03.00. Korban kemudian menceritakan peristiwa itu kepada orang tuanya, mereka memutuskan untuk mengadukan perkara tersebut ke Polresta Pekanbaru pada 19 November.

Usai melaporkan kepada polisi, keluarga pelaku sempat datang ke rumah korban untuk berdamai. A menolak niat itu. Pada 30 November, polisi memanggil pelaku untuk dimintai keterangan pertama, tapi AR tak hadir. Lantas 2 Desember, AR didampingi ayahnya, memenuhi panggilan polisi.

Rampung pemeriksaan oleh penyidik Unit PPA, polisi melakukan gelar perkara, hasilnya AR ditetapkan sebagai tersangka; dia dijerat Pasal 81 dan/atau Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. AR pun ditahan di Polresta Pekanbaru.

Kasus bergulir hingga akhirnya dua pihak sepakat berdamai dan pelaporan dicabut. Imbasnya, penahanan AR ditangguhkan dan ia wajib lapor dua kali dalam sepekan. “Pihak korban sudah mencabut laporannya dan sudah membuat surat pernyataan damai dari kedua belah pihak," ujar Kapolresta Pekanbaru Kombes Pol Pria Budi, Selasa (4/1/2022) seperti dikutip riauonline.com.

Terduga Pelaku Wajib Lapor, Kasus Tetap Jalan?

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi berujar jika si pelaku diharuskan wajib lapor, maka biasanya yang terjadi adalah pengalihan penahanan.

“Kalau wajib lapor itu jadi tahanan kota. Jadi, kasusnya masih jalan, belum dihentikan,” ucap dia kepada reporter Tirto, Kamis (6/1/2022). “Jika betul itu yang terjadi (wajib lapor), kasus tetap berlanjut.”

Perkara ini seolah-olah mengarah kepada keadilan restoratif. Padahal pelaku tergolong dewasa, karena bukan usia anak. Maka kasus ini tak bisa dilakukan diversi, apalagi, lanjut Fachrizal, ancaman hukuman pemerkosa lebih dari 7 tahun penjara dan relasi kuasa pelaku.

“Keadilan restoratif tak bisa (diterapkan) dalam kasus berat seperti ini. Kalau ini sampai (dilakukan) keadilan restoratif, maka jadi preseden buruk,” kata Fachrizal.

Mediasi dua pihak pun bisa dipertanyakan, apakah ada tekanan dalam prosesnya atau tidak. Polisi haram menerima proses itu mentah-mentah, kata dia. Fachrizal menekankan perkara kekerasan seksual bukanlah delik aduan, Polri wajib melanjutkan proses hukum hingga persidangan.

Hal ini juga jadi pekerjaan rumah kejaksaan, kata Fachrizal. Kejaksaan dapat merujuk kepada Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. [PDF]

Misalnya, dalam mengklasifikasikan fakta perbuatan yang terkait dengan kekerasan seksual, penuntut umum memperhatikan irisan antara persetubuhan, kekerasan seksual atau pemerkosaan di beberapa undang-undang. Pada pembuktian tindak pidana pemerkosaan, penuntut umum perlu memahami pembuktian medis/forensik untuk mencari tanda persetubuhan berupa persesuaian antara cairan mani pada tubuh perempuan korban dengan terdakwa, melalui pemeriksaan rambut, serologis, dan DNA.

“Kalau penyidik menghentikan perkara (SP3), misalnya, karena alasan keadilan restoratif dan sebagainya, jaksa harus mempraperadilankan SP3-nya. Jaksa punya kewenangan untuk menguji apakah penghentian penyidikan itu bermasalah,” tutur Fachrizal.

Pun jika AS dan pelaku dinikahkan, itu juga bukan solusi tepat karena AS bisa ‘dua kali jadi korban’. Pelaku adalah sumber masalah, maka dia perlu dihukum sebagai pembinaan agar tidak mengulangi perbuatannya.

Pemahaman Perlindungan Anak

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menyatakan yang harus digarisbawahi oleh penyidik, kasus pidana perlindungan anak bukan merupakan delik aduan. Seandainya pengadu mencabut laporan atau berdamai sekalipun, tetap tidak menghentikan proses hukumnya.

Hal penting lainnya, kata Putu, korban dan keluarganya perlu pendampingan hukum dan psikologis agar tidak goyah memperjuangkan hak korban.

“Karena kasus-kasus serupa, upaya perdamaian hanya menguntungkan pelaku. Korban akan terus terzalimi akibat perbuatan pidana tersebut, bahkan setelah perdamaian,” ucap Putu kepada reporter Tirto, Kamis (6/1/2022).

Beberapa kasus perdamaian, kata Putu, orang tua korban ada yang kembali mengadukan kepada polisi lantaran kesepakatan perdamaian tidak dipenuhi pelaku.

KPAI bakal bersurat secara resmi untuk memastikan hal ini, dan bisa menentukan cara pengawasan perkara usai polisi merespons secara resmi. Pemahaman SDM Polri dalam penanganan kasus anak masih butuh peningkatan, masih ada yang belum tahu bahwa pidana terhadap anak adalah delik biasa.

“Ini yang sering jadi bumerang dalam penegakan hukum perlindungan anak. Kami berharap Polri terus berbenah meningkatkan kapasitas penyidiknya, tidak hanya di pidana umum atau unit PPA, namun juga pidana lain yang melibatkan anak, seperti pidana khusus, narkoba dan lalu lintas,” imbuh Putu. Kasus perdamaian ini acap terjadi dengan alasan keluarga korban cabut laporan.

Kebanyakan kasus pidana anak berawal dari pengaduan keluarga korban. Ihwal peningkatan kapasitas penyidik yang ditempatkan di unit PPA, Reskrim, maupun bagian lainnya memang harus dipastikan memiliki pemahaman tentang Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak. Ini, kata Putu, harus jadi buku wajib Polri dalam penanganan perkara anak, karena bersifat lex specialis, maka ada kekhususan dalam penanganan perkara.

Nihil Dalih Setop Usut Perkara

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menuturkan kasus ini salah satu penerapan keadilan restoratif yang salah kaprah. Apalagi ini menyangkut korban di bawah umur. Yang tidak diketahui ialah kesepakatan damai itu karena ada atau tidak paksaan dan intimidasi dari pelaku kepada korban.

“Kalau polisi tetap menghentikan kasus pidana kekerasan seksual itu dengan alasan sudah ada kesepakatan damai, ini benar memprihatinkan. Bisa muncul preseden bahwa penjahat seksual boleh bebas dari hukuman asal bisa membayar. Padahal kasus kekerasan seksual ini bukan delik aduan tetapi delik kriminal,” kata Bambang kepada Tirto, Rabu kemarin.

Keadilan restoratif seharusnya tidak bisa diterapkan pada kejahatan seksual. Fungsi penegakan hukum itu salah satunya adalah membuat efek jera. Bila kejahatan seksual diterapkan mekanisme keadilan restoratif, maka dampaknya tidak akan membuat kapok dan pelaku bisa mengulang perbuatannya lantaran merasa bisa membayar kesepakatan damai.

Polisi harusnya lebih kreatif dan berempati menerjemahkan hukum untuk kepentingan-kepentingan keadilan sosial. Bukan menerjemahkan keadilan restoratif secara letterlijk dan hantam kromo pada semuanya, kata Bambang.

Bambang menegaskan, laporan pada tindak kejahatan berdasarkan bukti-bukti permulaan. Harusnya Polri bisa mengembangkan bukti-bukti tersebut, bukan hanya berdasar pengaduan semata.

“Bila laporan itu tiba-tiba dicabut, justru perlu dipertanyakan iktikad baik pelapor, jangan-jangan memiliki motif lain, misalnya pemerasan. Pencabutan laporan perkara kejahatan seksual pada anak, apa pun alasannya, jelas tidak mencerminkan kebijakan keadilan restoratif,” kata Bambang.

Jika dalam masyarakat Indonesia ada kebiasaan untuk menyelesaikan secara damai, maka sebaiknya biar pengadilan yang bekerja. Lain soal bila menyangkut tindak pidana ringan, misalnya mencuri ranting untuk keperluan memasak, maka mekanisme keadilan restoratif bisa direalisasikan.

Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Ini artinya, anak dilindungi secara peraturan negara dan tiap individu di negara ini dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, bertipu muslihat, membohongi, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti pun setuju bahwa kasus perkosaan anak merupakan delik biasa. Meski ada perdamaian, penyidik tetap harus melanjutkan penyidikan kasus.

Dalam hal ini, penting sekali melindungi anak korban perkosaan. “Penyidik juga harus memiliki perspektif untuk melindungi korban anak. Masa depan anak yang menjadi korban pasti hancur. Saya berharap Wassidik memeriksa penyidik yang menghentikan penyidikan kasus dugaan perkosaan anak tersebut,” kata Poengky kepada Tirto, Kamis (6/1/2022).

Sangat penting bagi Polri untuk membuat SOP penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan agar terwujud perlindungan dan keadilan. Para anggota polisi yang bertugas di unit PPA perlu ditingkatkan perspektif perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL ANAK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz