tirto.id - Kerusuhan pecah di India dalam beberapa pekan terakhir. Kejadian yang melibatkan penganut agama Hindu dan minoritas Muslim di India tersebut dipicu oleh UU Amandemen Warga Negara atau "Citizenship Amendment Bill" (CAB) India.
Sejak Ahad (23/2/2020) hingga Sabtu (29/2/2020) total korban tewas tercatat mencapai 42 orang, sementara ratusan korban luka-luka. Masjid, rumah, pertokoan turut menjadi sasaran amuk massa.
Konflik yang melibatkan umat antar agama tersebut mendapat kecaman dari Pemerintah Indonesia. Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan, tindakan kekerasan oleh sekelompok penganut Hindu di India tidak menggambarkan ajaran agama Hindu sendiri, tetapi akibat ada pemahaman ekstrem sebagian penganut Hindu atas ajaran agamanya.
“Tindakan kekerasan itu sangat tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama,” ujar Fachrul dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2/2020).
Namun, peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono menilai kecaman saja belum cukup. Menurutnya, pemerintah Indonesia harus meminta UU tersebut dibatalkan.
Belum adanya sikap tegas yang berarti dari Pemerintah Indonesia menurut beberapa pihak dipengaruhi oleh faktor hubungan dagang antar kedua negara. Hal ini dikemukakan salah satunya oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus.
Menurut Heri, kehati-hatian sikap pemerintah tersebut dimaklumi karena Indonesia membutuhkan India untuk meningkatkan ekspor sawitnya. Pasar sawit India dianggap penting setelah adanya hambatan ekspor ke Uni Eropa dan menurunnya ekspor ke China akibat wabah novel coronavirus.
Selain meningkatkan ekspor sawit ke India, Indonesia juga memberi sinyal akan memperbanyak komoditas impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor. Pertanyaannya, bagaimana hubungan dagang Indonesia-India dalam beberapa tahun terakhir?
Tren Positif
Dalam lima tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia dengan India menunjukan tren positif. Neraca perdagangan setiap tahun berkisar pada angka USD7-10 miliar setiap tahunnya. Perdagangan kedua negara didominasi sektor nonmigas.
Perdagangan pada 2015 didominasi nonmigas dengan USD8,94 miliar, sedangkan migas USD53,34 juta. Pada 2017, sektor nonmigas meningkat menjadi USD10,16 miliar, sektor migas justru minus USD126,81 ribu.
Tahun lalu, perdagangan migas tercatat minus USD90,71 juta, sektor nonmigas USD7,58 miliar. Total neraca perdagangan tahun tersebut sebesar USD7,49 miliar.
Komoditas yang berpengaruh banyak dalam perdagangan tersebut salah satunya crude palm oil (CPO). Pada 2017 lalu, CPO menguasai 32,48 persen dari total ekspor Indonesia ke India.
CPO menjadi komoditas penting dalam perdagangan kedua negara. Pada 2018, India merupakan importir CPO terbesar dari Indonesia. Dari total ekspor CPO Indonesia, India menjadi negara tujuan terbesar dengan 61,24 persen atau 4.011.713 ton.
Importir CPO dari Indonesia terbesar berikutnya adalah Belanda dengan 615.447 ton (9,39%). Negara lainnya yaitu Malaysia (6,63%), Singapura (6,47%), dan Italia (5,81%).
Ekspor CPO ke India setiap tahunnya terhitung besar jika dibandingkan negara lainnya. Dalam lima tahun terakhir, volume dan nilai ekspor CPO Indonesia ke India bervariasi setiap tahunnya.
Pada 2014, ekspor CPO ke India tercatat sebesar 2,89 juta ton dengan nilai USD2,1 miliar. Angka tersebut sempat naik pada 2015, namun turun pada 2016 menjadi 2,95 juta ton dengan nilai USD1,87 miliar.
Angka ekspor pada 2017 melambung menjadi 4,63 juta ton dengan nilai USD3,07 miliar. Hal tersebut sejalan dengan data pencapaian ekspor total minyak sawit yang melambung tinggi menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki).
"Nilai ekspor sawit tahun 2017 merupakan nilai tertinggi yang pernah dicapai sepanjang sejarah ekspor," ujar Sekretaris Jenderal GAPKI Togar Sitanggang di Kantor Pusat GAPKI, Selasa (30/1/2018).
Meskipun secara perdagangan India merupakan mitra strategis bagi Indonesia, sejauh ini pemerintah belum bertindak banyak baik terkait perdagangan maupun politik luar negeri. Di sisi lain, sejumlah organisasi Islam dalam negeri seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mendesak pemerintah untuk mengambil langkah diplomasi yang lebih tegas.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara