Menuju konten utama

Karena Sawit, Indonesia Lembek Sikapi Diskriminasi Muslim di India

Komitmen Indonesia terhadap HAM diragukan dalam menyikapi diskriminasi pemerintahan Narendra Modi terhadap warga muslim India.

Karena Sawit, Indonesia Lembek Sikapi Diskriminasi Muslim di India
Orang-orang merusak sebuah mobil selama bentrokan antara kelompok yang memprotes RUU Amendemen Kewarganegaraan dan mereka yang mendukungnya, di New Delhi, India, Senin (24/2/2020). (AP Photo/Dinesh Joshi)

tirto.id - Keseriusan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia tengah diuji saat warga muslim India menjadi sasaran kekerasan penganut Hindu India di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi. Sikap tegas pemerintah Indonesia tentu saja akan menghadapi kepentingan untuk menggenjot ekspor sawit ke India. Komitmen Indonesia pada hak asasi manusia pun diragukan.

Melansir The Guardian, per 27 Februari 2020 lalu lebih dari 38 orang meninggal dan ratusan orang terluka menyusul kekerasan sektarian antara penganut Hindu India terhadap minoritas muslim India. Konflik ini dipicu oleh Undang-Undang Anti-Muslim atau UU Amandemen Warga Negara atau "Citizenship Amendment Bill" (CAB) India.

Menteri Agama Fachrul Razi sempat mengecam keras peristiwa yang mengatasnamakan agama itu. Ia bilang tindakan kekerasan oleh sekelompok penganut Hindu di India tidak menggambarkan ajaran agama Hindu sendiri, tetapi akibat ada pemahaman ekstrem sebagian penganut Hindu atas ajaran agamanya.

“Tindakan kekerasan itu sangat tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama,” ucap Fachrul dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2/2020).

Namun, kecaman dari pemerintah Indonesia agaknya tak terlalu berpengaruh besar bagi pemerintah India untuk mengambil kebijakan. Peneliti Human Rights Watch (HRW) dari Indonesia, Andreas Harsono, menilai kecaman saja tidak cukup. Menurutnya, pemerintah Indonesia harus tegas dengan mendesak pemerintah India agar UU itu dibatalkan. Andreas bilang UU itu punya nuansa Islamofobia.

UU ini disebut-sebut bakal mempersulit warga muslim India memiliki kewarganegaraan. Entah itu orang India maupun imigran seperti pengungsi Rohingya yang dipersekusi di Myanmar sekalipun. HRW menyebutnya sebagai “UU yang mendiskriminasi minoritas muslim India."

Di sisi lain, UU ini memungkinkan imigran non-muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan bisa mendapat status kewarganegaraan. Belum lama disahkan saja, ia mencatat telah ada demonstrasi dari kalangan Hindu dan beberapa hari lalu berujung kekerasan terhadap warga muslim India.

“Pemerintah menurut saya kurang tegas. Harus minta UU itu dibatalkan,” ucap Andreas kepada reporter Tirto, Sabtu (29/2/2020).

Agaknya, sikap kurang tegas pemerintah Indonesia disebabkan ada nasib hubungan dagang antara Indonesia dan India. Ini karena India adalah importir sawit terbesar di dunia dan kebetulan Indonesia sedang menyiapkan ancang-ancang itu. Karenanya, sikap business as usual memang tak terhindarkan.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi, menyebut Indonesia sudah siap melakukan barter untuk memuluskan masuknya komoditas sawit dengan melakukan impor produk India.

“Kami mengajukan juga kebutuhan impor baru 130 ribu ton dari india. Ini kita barter, kalau enggak, sawit kita enggak masuk ke sana,” ucap Agung Hendriadi kepada wartawan di Menara Kadin, Kamis (27/2/2020).

India Mitra Dagang Strategis

Kehati-hatian pemerintah Indonesia ini dimaklumi Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus. Heri mengatakan Indonesia memang mau tak mau harus berhati-hati dalam merespons gejolak politik di India. Jika perlu, menurutnya, Indonesia tak perlu melakukan intervensi terlalu dalam.

Pasalnya, Indonesia membutuhkan India untuk meningkatkan ekspor sawitnya. Posisi India saat ini menduduki posisi kedua dengan nilai 4,8 juta ton, hanya kalah dari Cina di angka 6 juta ton sepanjang 2019. Jumlah konsumsinya di dunia adalah 16 persen pangsa pasar global.

Di sisi lain, pasar India ini jadi penting karena Indonesia tengah mengalami hambatan ekspor ke Uni Eropa gara-gara kebijakan Renewable Energy Directive (RED II).

Situasi diperburuk dengan penurunan ekspor kelapa sawit ke Cina karena mewabahnya virus Corona atau COVID-19, ditambah ada perlambatan ekonomi global sejak 2019.

Peringatan Heri ini beralasan karena India sempat memboikot sawit Malaysia. India kemudian mengambil pasokan sawitnya dari Indonesia meski dengan harga tinggi sekalipun.

Mahathir Mohamad saat masih menjabat Perdana Menteri mengecam lebih awal diskriminasi yang dilakukan pemerintahan Narendra Modi terhadap warga Muslim India.

Kecaman ini dilakukan Mahathir pada Desember 2019. Meski India resmi menghentikan importasi sawitnya dari Malaysia pada Januari 2020, Mahathir sampai saat ini tetap mengecam diskriminasi pemerintahan Modi terhadap warga muslim India. Melansir Deutsche Welle, pejabat tinggi Malaysia bahkan sudah mempersiapkan alternatif tujuan ekspor untuk menggantikan pasar India.

Turki juga memprotes kebijakan diskriminatif pemerintahan India. Alhasil, India mengancam dengan melakukan pengurangan impor terhadap sejumlah komoditas dari Turki.

Pemerintah Indonesia Didesak Bersuara

Selain sawit memang masih ada sejumlah produk lain yang akan diekspor ke India, misalnya baja, karet alam, asam lemak. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia justru memberi sinyal akan memperbanyak komoditas impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor.

“Kami enggak usah ikut-ikutan urusan internal India. Bisa kasih saran tapi jangan intervensi. Nanti India ngambek enggak mau beli dari kita,” ucap Heri saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (29/2/2020).

Lain halnya dengan pandangan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid bahwa aspek perdagangan tak bisa dijadikan alasan Indonesia tak tegas atas persoalan hak asasi manusia di India.

Menurutnya, pemerintah dan DPR harus mendesak para pemimpin politik India agar tidak memicu kebencian dan iklim politik kekerasan baik melalui pidato maupun UU baru ini.

Ia mengingatkan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi negara Indonesia mencatat komitmen untuk turut menjaga perdamaian dunia. Tak melakukan tindakan apa-apa hanya akan menafikan kewajiban konstitusional yang pemerintah buat sendiri.

“Meski hubungan kerja samanya sangat dekat termasuk di sektor sawit, Indonesia tetap harus memastikan bahwa pemimpin politik India harus bisa dimintai pertanggungjawaban sesuai kewajiban HAM di bawah hukum internasional,” ucap Usman kepada reporter Tirto, Sabtu (29/2/2020).

Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro mengaku belum dapat mengomentari rencana impor gula dari India yang sudah disiapkan pemerintah apakah terganggu dengan konflik sektarian di India. Juri hanya berkata, “Saya pahami dulu, ya.”

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana juga enggan mengomentari mengenai kelanjutan rencana impor gula dari India yang sudah disiapkan pemerintah saat ini. Kepada wartawan di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat (28/2/2020) lalu, ia hanya menjawab, “No comment.”

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN INDIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Bayu Septianto