tirto.id - Konflik antara Rusia dan Ukraina pecah pada Kamis (24/2/2022). Militer Rusia menyerang melalui udara dengan rudal ke fasilitas militer Ukraina. Per Jumat (25/2/2022), Rusia telah menewaskan 137 orang; terdiri dari warga sipil dan prajurit militer.
Pemerintah Indonesia telah mengambil sikap untuk mendukung Rusia dan Ukraina menempuh jalur damai dalam menyelesaikan konflik. Rusia dan Ukraina perlu tunduk tarhadap hukum internasional dan Piagam PBB tentang integritas territorial wilayah suatu negara.
“Mengecam setiap tindakan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara,” ujar Juru bicara Kementrian Luar Negeri Teuku Faiza-syah dalam konferensi pers secara daring, Kamis (24/2/2022).
Indonesia menjalin hubungan kerja sama dengan Rusia dan Ukraina. Terutama dibidang bisnis dan investasi. Terlebih lagi hubungan Indonesia dengan Rusia sudah terjalin sejak era Uni Soviet.
Menyikapi konflik dua negara sahabat, Indonesia tidak akan memberikan sanksi terhadap Rusia. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, dan Jepang telah memberikan sanksi kepada Rusia. Indonesia tidak mau ikut-ikutan, sebab ada pertimbangan kepentingan dalam negeri yang mesti dipikirkan dan sanksi tidak menyelesaikan permasalahan, kata Faiza.
“Namun Indonesia sebagai negara sahabat bisa memanfaatkan kedekatan hubungan dan posisi kita untuk ikut memberikan satu peran tertentu dalam mengatasi permasalahan,” ujarnya.
Namun menurut Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono, Indonesia sebagai bagian dari penjaga keamanan dunia bertanggung jawab untuk menyuarakan penghentian invasi Rusia di Ukraina.
Menurut Dave, Indonesia bisa memanfaatkan forum-forum internasional untuk mendamaikan dua negara tersebut.
“Indonesia juga harus mawas diri kita harus lihat akan kah ada negara lain yang bisa melakukan hal yang sama,” ujar politikus Partai Golkar tersebut dalam keterangan tertulis, Jumat (25/2/2022).
Presiden Rusia, Vladimir Putin mengklaim tindakannya sebagai upaya perlindungan bagi warga sipil yang menjadi sasaran genosida rezim Kiev selama delapan tahun terakhir. Republik Rakyat Donbass telah meminta bantuan Rusia, kata Putin seperti dikutip dari Al Jazeera.
Republik Rakyat Donbass merupakan wilayah yang berisi kelompok Pro-Rusia dan ditentang Ukraina. Letak mereka di Ukraina Timur.
“Demi tujuan tersebut, kami bertekad melakukan demiliterisasi dan denazifikasi (melepaskan pengaruh NAZI) di Ukraina, dan mengadili mereka yang melakukan kejahatan berdarah terhadap warga sipil, termasuk warga negara Federasi Rusia,” imbuh Putin.
Saat artikel ini ditulis, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky telah menetapkan status darurat militer. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak panik.
“Kami kuat. Kami siap untuk apa pun. Kami akan mengalahkan semua orang, karena kami adalah Ukraina,” ujar Zelensky.
Sejauh ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah memperingatkan dampak perang Rusia dan Ukraina. Dalam pertemuan PBB di Ukraina pada Rabu (23/2/2022), invasi Rusia akan berdampak menghancurkan dan kemungkinan memicu "krisis pengungsi".
Indonesia Tidak Kuat
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis menilai posisi Indonesia kurang kuat dalam mengatasi konflik Rusia dan Ukraina.
Terlebih lagi tujuh tahun pasca reformasi, peranan Indonesia di dunia internasional menurun. Indonesia punya urusan dalam negeri yang tak kalah genting semisal konflik di Papua dan melambungnya harga komoditas minyak goreng belakangan ini.
Serta sibuk dengan urusan pembangunan ekonomi. Isu internasional apalagi konflik seperti di Eropa Timur tidak mungkin menjadi perhatian utama pemerintah, kata Beni.
“Jika pemerintah kita mengimbau agar perang dihentikan, ya berhenti di sana saja. Baik presiden atau menlu belum berpikir sejauh apa dan bagaimana dalam memproyeksi peran Indonesia,” ujar Beni kepada Tirto, Jumat (25/2/2022).
Pengajar di program hubungan internasional Universitas Pelita Harapan (UPH) Yosef Djakababa mengutarakan hal senada, menurutnya posisi Indonesia belum diperhitungkan di dunia internasional. Terlebih lagi, jika diperuntukkan sebagai juru damai Rusia dan Ukraina.
Terkecuali Indonesia mau memimpin dan mengakomodir negara-negara lain untuk kerja sama demi kepentingan perdamaian dunia.
“Indonesia bisa menjadi pemimpin dalam melakukan diplomasi-diplomasi secara intensif dalam mempromosikan hal tersebut baik di PBB atau dalam berbagai forum multilateral lainnya,” ujar Yosef kepada Tirto.
Pengaruh Presidensi G20
Indonesia memegang Presidensi G20 pada 2022. G20 adalah forum kerja sama multilateral di bidang ekonomi. Melibatkan 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Cina, Turki, dan Uni Eropa.
Beni Sukardis tidak yakin posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 mampu menjadi daya dukung Indonesia untuk diperhitungkan dalam resolusi konflik Rusia dan Ukraina. G20 itu lebih ke kerja sama ekonomi bukan politik, kata Beni.
“Sekadar imbauan mungkin G20 bisa saja. Tapi apa pengaruhnya. Lihat AS saja masih bisa kasih sanksi ke Rusia, bukan bantuan militer secara aktif,” tekannya.
Sementara Yosef melihat Indonesia masih memiliki kesempatan untuk melebarkan pengaruh di dunia internasional. Forum G20 bisa saja menjadi salah satu mimbar bebas Indonesia untuk mendukung perdamaian Rusia dan Ukraina. Memang G20 lebih fokus ke isu ekonomi dan bukan resolusi konflik meski isu lain juga dibahas, kata Yosef.
“Intinya, Indonesia harus cukup punya kemauan dan kapasitas untuk membawa pengaruh ke dalam penyelesaian krisis ini apakah lewat forum G20 atau forum internasional lainnya,” tukasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz