Menuju konten utama
Update Rusia vs Ukraina

Perang Rusia & Bagaimana Kondisi Kesehatan Mental Anak di Ukraina?

Konflik Rusia-Ukraina: bagaimana kondisi kesehatan mental anak yang tinggal di zona perang?

Perang Rusia & Bagaimana Kondisi Kesehatan Mental Anak di Ukraina?
Aktivis membawa spanduk di di depan Kementrian Luar Negeri Ukraina menuntut Uni Eropa untuk meningkatkan sanksi tambahan terhadap Rusia, di pusat kota Kyiv, Ukraina, Senin (21/2/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Umit Bektas/WSJ/djo

tirto.id - Perang dan konflik bersenjata tentu dapat berdampak buruk pada kesehatan mental penduduk, tak terkecuali terhadap anak-anak, termasuk perang Rusia dan Ukraina yang saat ini semakin memanas.

Berdasarkan pemberitaan terbaru, Rusia melancarkan invasi darat skala penuh dan serangan udara dengan cepat sehingga menewaskan ratusan orang dan menelantarkan sedikitnya 100 ribu orang.

NDTV melaporkan, pasukan Rusia melakukan serangan ke Ukraina dan pertempuran mematikan sudah mencapai pinggiran Kyiv, ibu kota Ukraina.

Dampak Perang Rusia-Ukraina Terhadap Kondisi Kesehatan Mental Anak

Gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan depresi adalah gangguan mental yang paling umum terjadi pada orang dewasa dan anak-anak yang berada di zona perang.

Sebuah studi melaporkan, kondisi kesehatan mental ini bisa terjadi pada sepertiga dari orang-orang yang secara langsung terkena pengalaman perang traumatis.

Paparan peristiwa traumatis adalah faktor risiko yang paling penting dalam konteks ini.

Evakuasi Ukraina

Warga yang dievakuasi naik ke kereta di stasiun kereta sebelum meninggalkan kota Makiivka (Makeyevka) yang dikontrol separatis di luar Donetsk, Ukraina, Rabu (23/2/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Alexander Ermochenko/hp/cfo

Namun, untuk anak-anak khususnya, efek merugikan dari trauma perang tidak terbatas pada diagnosis kesehatan mental tertentu.

Efeknya mencakup serangkaian hasil perkembangan yang luas dan beragam, yang membahayakan hubungan keluarga dan teman sebaya serta kinerja sekolah dan kepuasan hidup secara umum.

Perang yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina tentu saja memengaruhi banyak faktor risiko di berbagai tingkat ekologi, seperti kemiskinan ekstrem, kurangnya sumber daya untuk penyediaan kesehatan, rusaknya sistem sekolah, serta meningkatnya tingkat kekerasan dalam keluarga dan masyarakat.

Anak-anak sangat sensitif terhadap akumulasi stresor seperti itu, dan pada kenyataannya, ada banyak bukti untuk hubungan dosis-respons antara jumlah stresor yang dialami oleh anak-anak dan gangguan mereka di berbagai bidang adaptasi, seperti kesehatan mental dan fisik, prestasi akademik dan hubungan sosial.

Fungsi keluarga tampaknya memainkan peran kunci dalam interaksi faktor risiko dan perlindungan di seluruh tingkat ekologi.

Perang dikaitkan dengan peningkatan tingkat kekerasan keluarga terhadap anak serta peningkatan tingkat kekerasan pasangan intim terhadap perempuan.

Selain itu, kekerasan yang terkait dengan perang dan konflik keluarga berkontribusi secara independen terhadap psikopatologi anak. Ini termasuk PTSD, gejala depresi serta internalisasi dan eksternalisasi masalah perilaku.

Wanita Amerika Melarikan Diri

Seorang wanita Amerika menangis setelah menyeberangi perbatasan dan melarikan diri dari kekerasan di Ukraina, di Medyka, Polandia, Kamis (24/2/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Bryan Woolston/FOC/djo

Dilansir laman resmi Unicef, selama hidup di antara orang-orang bersenjata, anak-anak mengalami bentuk-bentuk kekerasan yang tidak masuk akal.

Mereka mungkin diminta untuk berpartisipasi dalam pelatihan yang mengerikan, menjalani pekerjaan berbahaya atau terlibat dalam pertempuran dengan risiko kematian, cedera kronis, dan kecacatan yang besar.

Anak-anak mungkin juga menyaksikan, menderita atau dipaksa untuk ikut serta dalam penyiksaan dan pembunuhan. Anak perempuan, khususnya, dapat menjadi sasaran kekerasan berbasis gender.

Pihak-pihak yang bertikai juga merampas anak-anak dari nutrisi dan kondisi hidup yang sehat, atau menjadikan mereka penyalahgunaan zat, dengan konsekuensi yang signifikan bagi kesejahteraan fisik dan mental mereka.

Pengalaman-pengalaman ini sangat mempengaruhi hubungan anak-anak dengan keluarga dan komunitas mereka.

Anak-anak yang telah direkrut atau digunakan oleh aktor bersenjata dapat dipandang dengan kecurigaan, atau ditolak mentah-mentah, oleh keluarga dan komunitas mereka.

Lalu, sebuah pertanyaan kunci mengacu pada mekanisme di balik “siklus kekerasan” ini setelah perang.

Bagaimana paparan konflik kekerasan dan peningkatan tingkat penganiayaan anak saling terkait?

Dalam sebuah penelitian berjudul "Kesehatan mental anak-anak yang tinggal di zona perang: perspektif risiko dan perlindungan" difokuskan terutama pada efek antargenerasi, yaitu trauma orang tua dan psikopatologi sebagai mediator potensial.

Bukti menunjukkan bahwa paparan kekerasan terorganisir dan psikopatologi yang terkait dengan pengalaman ini mungkin bertindak sebagai katalisator kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan anak.

Secara khusus, gejala PTSD, seperti lekas marah dan ledakan kemarahan, serta peningkatan tingkat konsumsi alkohol pada orang tua, dapat berkontribusi pada tingkat pelecehan anak yang lebih tinggi.

Penelitian, sejauh ini, telah mengabaikan jalur lebih lanjut di mana trauma perang dapat diterjemahkan menjadi peningkatan tingkat kekerasan dalam keluarga.

Mungkin paparan perang anak itu sendiri dan psikopatologi terkait yang meningkatkan risiko mengalami kekerasan di rumah.

Anak-anak yang tumbuh di tengah perang memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan masalah perilaku yang menantang terkait dengan trauma mereka, misalnya, iritabilitas, ledakan kemarahan, gejala internalisasi dan eksternalisasi.

Masalah kesehatan mental mereka biasanya disertai dengan gangguan fungsional yang mengganggu kemampuan mereka untuk berprestasi baik di sekolah, melaksanakan tugas rumah tangga, dan terlibat dalam hubungan sosial.

Semua kesulitan ini dapat membuat anak-anak yang mengalami trauma perang lebih sulit untuk diatur oleh orang tua mereka, yang, pada gilirannya, mungkin menerapkan strategi pengasuhan yang lebih keras dan koersif.

Konsisten dengan hipotesis ini, sebuah penelitian tahun 2018 dilakukan pada keluarga Tamil di Sri Lanka pascaperang.

Hasilnya ditemukan bahwa paparan anak-anak terhadap trauma massal dan psikopatologi anak adalah prediktor utama dari viktimisasi yang dilaporkan sendiri oleh anak-anak dalam keluarga mereka, bahkan setelah mengendalikan trauma orang tua dan mental orang tua.

Konflik Ukraina Rusia

Seorang ibu imigran yang mencari suaka di AS dari Ukraina menggendong putri kembarnya dekat pagar perbatasan sambil menunggu untuk diproses oleh patroli perbatasan AS setelah menyeberangi perbatasan dari Meksiko di Yuma, Arizona, Amerika Serikat, Sabtu (22/1/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Go Nakamura/AWW/djo

Situs Kementerian PPPA menuliskan, perang senantiasa dikutuk bukan karena di sana kekerasan hadir tanpa kompromi dan darah manusia dihalalkan, tetapi karena korban pertama yang paling menderita akibat perang tak pelak adalah anak-anak dan warga sipil pada umumnya.

Tentu miris saat menyaksikan foto mayat anak-anak yang bergelimpangan akibat gempuran rudal musuh dan tatapan mata yang kosong dari anak-anak yang kebingungan karena tiba-tiba harus kehilangan orangtua dan sanak keluarganya akibat serangan bom atau tembakan peluru tajam.

Menurut laporan Unicef (1996), pada Perang Dunia I, korban warga sipil semula hanya 14 persen, pada Perang Dunia II melonjak hingga 70 persen, dan pada tahun 1990 korban perang dari warga sipil naik menjadi 90 persen.

Anak-anak yang semestinya memiliki hak untuk tumbuh kembang secara wajar ketika perang berkecamuk seluruh hak mereka bukan saja ditelantarkan, tetapi tak jarang bahkan dilanggar begitu saja tanpa sedikit pun ada rasa belas kasihan.

Perang, apa pun alasannya, adalah sebuah tindak kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hak- hak anak yang paling brutal.

Di sejumlah negara yang terjerumus dalam peperangan, termasuk perang terbaru antara Rusia-Ukraina, menimbulkan risiko yang sangat mencemaskan namun selalu tak terhindarkan menimpa anak-anak yang tinggal di daerah konflik bersenjata.

Selain kecacatan dan kehilangan nyawa adalah trauma, dan bahkan risiko anak-anak yang tak berdosa itu menjadi korban eksploitasi untuk terlibat langsung dalam proyek balas dendam yang tak kunjung usai.

Bagi anak-anak yang menjadi korban perang, situasi konflik yang hadir di sekitar mereka bahkan bukan tidak mungkin justru menjadi proses pembelajaran dan bentuk sosialisasi tindak kekerasan yang paling masif dan mengindoktrinasi.

Menangani anak-anak yang menjadi korban perang dengan bantuan kemanusiaan dan layanan kesehatan untuk merehabilitasi luka-luka fisik, memang benar diperlukan untuk jangka pendek.

Tetapi, lebih dari sekadar penanganan yang sifatnya darurat-penyelamatan, bagi anak- anak yang menjadi korban perang justru pertolongan yang paling dibutuhkan adalah bagaimana kita semua mampu merekonstruksi kembali sejarah kelam yang mereka baru lalui.

Kita juga perlu segera belajar bahwa perang adalah cara biadab yang sama sekali harus dihindari untuk mencegah tumbuhnya benih-benih peperangan dan kekerasan di masa yang akan datang.

Baca juga artikel terkait RUSIA UKRAINA atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Yantina Debora