Menuju konten utama

Bapanas: Harga Beras Indonesia Mahal sebab Biaya Produksi Tinggi

Bapanas menjawab kritik Bank Dunia yang menyebut harga beras di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara-negara ASEAN.

Bapanas: Harga Beras Indonesia Mahal sebab Biaya Produksi Tinggi
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan NFA, Rachmi Widiriani saat ditemui setelah acara Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Nusa Dua, Bali, Kamis (19/9/2024). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi

tirto.id - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menjawab kritik World Bank atau Bank Dunia yang menyebut bahwa harga beras Indonesia 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Bapanas sebut hal ini disebabkan biaya produksi yang tinggi sehingga beras di Tanah Air lebih mahal.

Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, Rachmi Widiriani, menyampaikan petani memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan akibat diperlukannya biaya yang tak sedikit untuk menanam padi. Maka dari itu, hal tersebut berdampak pada harga yang tinggi di pasaran.

“Memang betul harga beras di dalam negeri saat ini tinggi, tapi memang biaya produksinya juga sudah tinggi, sehingga kalau kita runtut dari cost factor produksi beras di dalam negeri, kalau kita perhatikan memang tinggi, jadi petani juga berhak mendapatkan keuntungan,” kata Rachmi saat ditemui usai acara Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Nusa Dua, Bali, Kamis (19/9/2024).

Rachmi memaparkan, saat ini petani sedang mendapat cukup keuntungan, karena harga gabah yang dibeli di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Rachmi menambahkan, Nilai Tukar Petani (NTP) khususnya tanaman pangan, saat ini juga sedang dalam harga yang bagus. Menurut dia, hal ini saling terkait sehingga konsumen nantinya akan dengan mudah mendapatkan beras dengan harga yang terjangkau.

NTP ini menggambarkan perbandingan antara pendapatan yang diterima petani dari hasil pertanian dengan pengeluaran yang mereka perlukan, untuk memenuhi kebutuhan produksi dan konsumsi.

“Kalau benihnya bagus, nanti produktivitasnya meningkat, maka produksi satuan lahan itu juga meningkat, petani akan mendapatkan gen atau hasil dari penjualannya lebih bagus. Mungkin lama-lama kalau misalnya semakin luas lahan pertanian dengan perbaikan-perbaikan yang dilakukan, harga akan relatif menjadi stabil,” ujar Rachmi.

Namun demikian, Rachmi menekankan bahwa petani harus tetap mendapat untung dari usaha pertanian, serta perlunya dilakukan efisiensi untuk meningkatkan produktivitas melalui inovasi dan penggunaan teknologi.

Contohnya, penggunaan drone yang dilakukan untuk penyebaran pupuk ternyata lebih hemat 30 persen dibanding menggunakan cara manual. Alhasil, sebaran pupuk pun dinilai lebih merata di lahan luas. Lebih lanjut, efisiensi seperti hal tersebut dapat dilaksanakan guna menghemat biaya produksi.

“Jadi dengan efisiensi, produktivitas naik, petani akan mendapatkan dua keuntungan, harga bagus, kemudian penghasilan yang bagus, produksinya tinggi, lama-lama harganya akan stabil,” kata dia.

Menurut Rachmi, sebenarnya dengan meningkatnya harga beras, maka dapat mendatangkan kesempatan petani untuk mendapatkan pendapatan yang besar. Namun, ia juga menyadari pentingnya memastikan konsumen mendapat harga beras yang terjangkau.

Hal ini, kata dia, pemerintah harus turut andil agar petani mendapatkan keuntungan yang layak, sementara konsumen tetap bisa membeli beras dengan harga yang wajar.

“Pemerintah harus hadir di tengah-tengah, petani mendapatkan hak yang bagus, kemudian konsumen juga dapat mengakses beras dengan harga yang terjangkau dengan kualitas yang baik," ungkap Rachmi.

Dalam acara IIRC 2024, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menyebut, harga beras Indonesia 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, namun kesejahteraan petani masih rendah.

Berdasarkan Survei Terpadu Pertanian 2021, kesejahteraan petani Indonesia masih di bawah rata-rata, bahkan pendapatannya kurang dari 1 dolar AS per hari atau senilai Rp15.207 dan setahun di bawah 341 dolar AS atau Rp5 juta.

Pendapatan ini, dinilai tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Oleh karenanya, masyarakat Indonesia disebut harus membayar harga beras yang tinggi.

Baca juga artikel terkait BERAS atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Abdul Aziz