tirto.id - Bank Dunia World Bank menyatakan, Bantuan Sosial (Bansos) lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan. Walaupun, hal tersebut masih belum cukup untuk memberikan cakupan dan manfaat yang dibutuhkan.
"Bantuan sosial tidak hanya lebih efisien untuk mengurangi kemiskinan, tetapi juga sangat progresif dalam mengurangi ketimpangan," demikian dikutip dari laporanWorld Bank's Indonesia Poverty Assessment yang terbit pada Selasa (9/5/2023).
Bansos sendiri ini tercermin dari kejadian pada saat COVID-19 melanda Indonesia pada 2020 lalu. Pemerintah pada saat itu dengan cepat meningkatkan bantuan sosial, menjangkau lebih banyak penerima manfaat dan meningkatkan tingkat manfaatnya.
Namun demikian, tidak semua rumah tangga yang membutuhkan menerima manfaat, juga tidak selalu menerima manfaat yang memadai Kurang dari 40 persen dari masyarakat 40 persen termiskin menerima manfaat dari perluasan program bantuan sosial.
“Kurang dari separuh penerima manfaat program menilai sendiri manfaat program saat ini sebagai memadai pada saat pandemi COVID-19,” ucapnya.
Selain Bansos, jaminan sosial dinilai dapat mengurangi dampak guncangan pengangguran dan kesehatan. Sayangnya di Indonesia hal itu lebih banyak tersedia bagi pekerja formal saja.
“Diperlukan adanya sistem bantuan sosial yang lebih responsif dan perluasan cakupan jaminan sosial, termasuk bagi para pekerja informal, untuk meningkatkan ketangguhan rumah tangga agar tidak jatuh ke dalam kemiskinan,” katanya.
Sementara itu, subsidi energi dinilai sangat bertolak belakang dengan bansos. Pasalnya, menurut laporan Bank Dunia, Subsidi energi mahal dan tidak efektif dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.
Sementara reformasi yang ambisius pada 2015 mulai mengurangi subsidi energi, bantuan sosial tidak ditingkatkan dengan cukup cepat dengan kompensasi yang memadai.
Hal ini mungkin telah berkontribusi pada ekonomi politik yang kembali ke subsidi, yang kembali dari biaya 0,7 persen dari PDB pada 2016 menjadi 1,7 persen dari PDB pada 2019.
Kendati begitu, subsidi tersebut hanya mengurangi kemiskinan sebesar 2,4 poin persentase, sebanyak seperangkat program bantuan sosial inti yang biayanya hanya 0,4 persen dari PDB.
Lebih lanjut, sebagian besar subsidi BBM tidak tepat sasaran dan bahkan dapat bersifat regresif, tetapi berkontribusi terhadap emisi GRK yang lebih tinggi.
Pemerintah juga telah membelanjakan 2 hingga 3 persen dari PDB untuk pertanian, sebagian besar untuk subsidi produk pertanian. Namun demikian, subsidi tersebut tidak tepat sasaran bagi petani miskin, sebagian besar tidak efektif, mendistorsi pasar pertanian, dan malah melemahkan produktivitas pertanian.
“Meninjau kembali belanja pertanian untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas dapat menghasilkan penghematan fiskal yang besar,” ucapnya.
Hal lainnya yang membuat kemiskinan akan semakin bertambah di Indonesia adalah, terjadinya invasi Rusia ke Ukraina, risiko ini disinyalir bisa mengancam Indonesia dari sisi pengentasan kemiskinan.
Sebab, Perang di Eropa telah memicu volatilitas harga yang tinggi, terutama untuk makanan dan bahan bakar. Daya beli rumah tangga di Indonesia memburuk, terutama karena kenaikan harga pangan dan porsi konsumsi pangan yang besar.
Pemerintah harus bisa mempertahankan harga bahan bakar secara konstan dengan secara implisit meningkatkan subsidi bahan bakar, yang semakin menambah beban fiskal mengingat adanya kebutuhan anggaran yang lebih besar.
Kemudian, dengan akses yang tidak memadai ke perlindungan sosial dan layanan keuangan, rumah tangga miskin dan tidak aman secara ekonomi kurang mampu menghadapi guncangan dan mungkin harus menggunakan strategi penanggulangan yang merugikan.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang