tirto.id - Keresahan AI (Artificial Intelligence) yang ditengarai mampu merampungkan berbagai hal dengan jauh lebih cepat daripada manusia, menggaung kencang pada forum World AI Show yang diselenggarakan di The Langham Jakarta tanggal 7-8 Juni kemarin.
"Beberapa tahun yang lalu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa di masa mendatang, kita tidak membutuhkan (pegawai negeri sipil pada tingkatan) eselon tiga ke bawah (karena pekerjaan mereka) akan digantikan oleh AI," Sarwoto Atmosutarno, ketua umum Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia), mengatakan.
"Ini mengerikan," tambahnya lagi.
Berbagai perangkat AI, seperti ChatGPT, Dall-e, Jasper dan Steve AI terbukti mampu menjawab kebutuhan, serta memangkas banyak waktu dan tenaga yang diperlukan dalam pengerjaannya.
On Lee, senator poros industri KORIKA (Kolaborasi Industri dan Inovasi Kecerdasan Artifisial), merasa sangat terkesan saat mencoba piranti ChatGPT dalam menyusun tulisan.
“Biasanya saya membutuhkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk menyiapkan presentasi, pidato atau menulis blog atau bab untuk sebuah buku,” On Lee mengutarakan.
“Namun dengan ChatGPT, saya hanya tinggal mengetik topik (yang akan disampaikan) dan siapa target (pendengar atau pembacanya). Sebelum dua menit, tulisannya sudah selesai. Saya hanya tinggal mengeditnya. Semuanya rampung dalam waktu satu jam saja.”
Kepiawaian AI yang seperti ini tentunya mengancam banyak lapangan pekerjaan.
Laporan ‘Future of Jobs’, yang dirilis World Economic Forum (WEF) pada bulan April 2023, melansir bahwa 48% tenaga kerja di seluruh dunia saat ini sedang merasa ketakutan bahwa pekerjaan mereka akan diambil alih kecerdasan buatan.
Dan tampaknya ini bukan sekadar kekhawatiran yang tidak beralasan karena studi yang sama juga mengatakan bahwa AI akan merebut 83 juta lapangan pekerjaan manusia dalam lima tahun mendatang.
Ilham Akbar Habibie, ketua Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) mengakui adanya kegelisahan ini di masyarakat.
“Manusia selalu menciptakan peralatan yang dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan dan persoalan,” ujar Ilham. “Namun dibalik itu, kita sebenarnya menyimpan mimpi buruk bahwa perangkat ciptaan ini akan berbalik menaklukkan manusia.”
Para penikmat novel dan film tentunya akrab dengan tema cerita mesin-mesin pintar yang memberontak terhadap manusia dan kemudian menguasai dunia. Namun apakah ketakutan ini bisa menjadi kenyataan?
“Saya tidak percaya akan hal itu,” tukas Ilham.
Lampiran Peraturan Presiden no. 95/2018 mendefinisikan Artificial Intelligence sebagai “teknologi kecerdasan buatan pada mesin yang memiliki fungsi kognitif untuk melakukan pembelajaran dan pemecahan masalah sebagaimana halnya dilakukan oleh manusia.”
“AI pada dasarnya hanya piranti,” Ilham menjelaskan. “(AI) sudah ada sejak lama. Dan (dulu) tidak pernah ada ketakutan seperti ini. Hanya sekarang saja kita melihatnya sebagai ancaman, mungkin karena kini kita sudah bisa bicara dengan (AI), atau lebih tepatnya bicara dengan mesinnya.”
Ditilik dari sejarahnya, teknologi kecerdasan buatan berawal dari pengembangan komputer pertama di dunia, ENIAC (Electronic Numerical Integrator and Computer), pada tahun 1943.
Dijuluki “otak raksasa”, komputer ini awalnya digunakan untuk menghitung tabel-tabel artileri pada Perang Dunia II. Teknologi ini kini sudah berevolusi hingga mencakup daya lihat komputer (computer vision), pembelajaran mesin (machine learning), pengenalan suara (speech recognition) dan masih banyak kemampuan lain yang memungkinkannya untuk merespon berbagai kebutuhan manusia dengan baik dan menjadi lebih cerdas setiap harinya.
Teknologi AI kian populer saat peluncuran ChatGPT di bulan November 2022.
“Hanya dalam dua bulan (sejak peluncurannya), ChatGPT sudah digunakan oleh lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia,” Ilham mengatakan.
Pengaruhnya di Dunia Bisnis Kini
Teknologi kecerdasan buatan juga ternyata sudah merambah banyak bidang di Indonesia.
Pada sektor ritel, banyak UMKM yang sudah menggunakan AI untuk menawarkan produk-produk mereka di berbagai lokapasar (marketplace).
“AI membantu menulis deskripsi untuk bermacam-macam produk bagi target konsumen yang berbeda,” N. Sekar, chief technology officer Blibli.com, menjelaskan.
“Ini hal yang sungguh luar biasa, terutama bila Anda adalah penjual ribuan produk yang harus diunggah dan dipasarkan dengan segera.”
Agen perjalanan daring Tiket.com juga sudah menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk mengelola basis data mereka yang besar.
“Kami memiliki enam juta hotel (dalam basis data),” kata Dr. Irvan Bastian Arief, VP data science and machine learning engineering Tiket.com. “Dan setiap hotel memiliki ratusan hingga ribuan foto. Bayangkan bila seseorang harus menandai foto-foto ini satu per satu. Pasti dibutuhkan waktu hingga bertahun-tahun hanya untuk melabelinya saja.”
Karena itu, Tiket.com menggunakan teknologi AI yang disebut Aurora Image Intelligence System untuk mengklasifikasi dan menandai foto, sekaligus menilai kualitas dan estetikanya.
Perusahaan ini juga menggunakan teknologi kecerdasan buatan yang dinamakan Natural Language Processing (NLP) untuk merangkum dan menganalisa jutaan ulasan yang mereka terima setiap harinya untuk berbagai produk dan jasa.
“Bayangkan penghematan yang bisa kita lakukan (dengan AI), bukan saja penghematan dari segi biaya yang diperlukan untuk membayar orang untuk mengerjakannya, namun juga waktu yang dibutuhkan untuk pengerjaannya,” tambah Irvan.
Potensi Ekonomi Digital Indonesia
Sedemikian dahsyatnya pengaruh AI dalam bidang industri sehingga PricewaterhouseCoopers meramalkan bahwa teknologi ini akan menyumbang sejumlah 15.7 triliun dolar AS pada perekonomian dunia di tahun 2030, termasuk diantaranya 1 miliar dolar AS untuk PDB negara-negara ASEAN.
AI juga diprediksi mampu melejitkan perekonomian digital Indonesia di tahun-tahun mendatang.
“Di tahun 2022, perekonomian digital Indonesia mencapai 77 miliar dolar AS, atau bertumbuh 22% dari tahun sebelumnya,” Dr. Rudy Salahuddin, deputi bidang koordinasi ekonomi digital, ketenagakerjaan dan usaha mikro, kecil dan menengah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan.
“Dengan fondasi yang kuat, pada tahun 2025 ekonomi digital Indonesia diramalkan bertumbuh dua kali lipat hingga mencapai 130 miliar dolar AS, untuk kemudian meningkat menjadi 366 miliar dolar AS pada tahun 2030,” Rudy melanjutkan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika juga meyakini bahwa AI mampu melesatkan Indonesia menuju jajaran negara-negara maju dalam beberapa tahun mendatang.
“Di tahun 2045, Kominfo memproyeksikan bahwa Indonesia akan menjadi negara maju,” Hary Budiarto, kepala litbang sumber daya manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengatakan.
Di tahun tersebut, Indonesia diperkirakan akan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 5.7 - 7.1% dan termasuk dalam lima atau tujuh negara termaju di dunia dengan PDB senilai sembilan miliar dolar AS.
“Syaratnya kita harus menguasai teknologi digital,” Hary menegaskan.
Di antara rangkaian teknologi digital yang wajib dikuasai ahli-ahli dalam negeri adalah robotika, komputasi awan, analisa big data dan AI.
Prof. Hammam RIza, president KORIKA, turut membenarkan pandangan ini.
“Saat ini kita tengah berada di pertandingan kecerdasan artifisial global,” Prof. Hammam Riza mengatakan. “Seperti yang pernah dikatakan oleh Presiden Joko Widodo, siapa yang menguasai AI dia yang akan berpotensi menguasai dunia.”
Rencana kerja pemerintah yang diluncurkan tahun 2018, ‘Making Indonesia 4.0’, telah menetapkan AI sebagai salah satu teknologi kunci dalam transformasi industri dalam negeri.
Kemudian di tahun 2020, pemerintah juga merumuskan Strategi Nasional AI, disebut juga ‘Stranas AI’, yang memberikan arahan-arahan lebih rinci mengenai penerapan dan pengembangan teknologi kecerdasan buatan di Indonesia.
Strategi ini mengedepankan lima bidang prioritas untuk pengembangan AI, yaitu kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, dan mobilitas dan kota cerdas.
“Jadi dengan Strategi Nasional AI ini, kita bisa menyalurkan sumber daya dengan lebih efektif, melakukan kerjasama dan mengarahkan Indonesia menuju masa depan yang di mana solusi-solusi berbasis kecerdasan buatan mendorong berbagai inovasi dan pertumbuhan ekonomi,” tegas Hammam.
Hidup Berdampingan dengan AI
Namun apakah teknologi ini akan menggantikan tenaga kerja manusia?
“Banyak yang bertanya seperti ini kepada saya,” Dr. Irvan Bastian Arief mengatakan. “Dan saya selalu menjawab bahwa AI tidak akan menggantikan pekerjaan manusia. Tapi orang yang menggunakan AI akan menggantikan orang yang tidak menggunakan AI.”
Irvan kemudian mengumpamakan kehadiran teknologi kecerdasan buatan ini dengan kemunculan komputer di masa lampau.
“Dulu sebelum adanya komputer, para akuntan bekerja dengan menggunakan buku tulis,” katanya. “Kemudian setelah komputer ada, apakah pekerjaan akunting menjadi tidak ada lagi? Jawabannya tidak.”
Lebih lanjut, Irvan juga memadankan AI dengan piranti-piranti lunak yang kini menggantikan meja gambar arsitek yang memakan banyak ruang.
“Segala sesuatunya sudah dikerjakan dengan komputer sekarang,” Irvan mengatakan. “Demikian halnya dengan AI. Teknologi ini sangat membantu dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas pengerjaan.”
Shinta Nurhariyanti, ketua tim interoperabilitas, big data dan kecerdasan buatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga mendukung pendapat ini.
“AI itu bukan ancaman,” ujarnya. “Teknologi ini dikembangkan untuk memudahkan manusia. Jadi tidak semestinya kita merasa terancam.”
Menurut Shinta, AI bukan merupakan sesuatu yang sulit untuk dikuasai masyarakat awam.
“Ketika kita menggunakan smartphone, kita sudah hidup dengan AI,” tambahnya. “Mahasiswa-mahasiswa ketika mereka menggunakan Google untuk mengerjakan tugas, mereka sudah menggunakan AI. Jadi AI sebenarnya bukan sesuatu hal yang aneh, atau suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan.”
Shinta tidak menepis bahwa banyak tenaga kerja yang bisa terlibas oleh teknologi canggih ini.
“Oleh karena itu, kementerian (Kominfo) menyediakan program Digital Talent Scholarships, yang diperuntukkan bagi semua warga negara secara gratis,” jelasnya.
Program yang disingkat Digitalent ini menyediakan beasiswa bagi mahasiswa, lulusan baru, para profesional dan pebisnis UMKM untuk mempelajari berbagai ilmu di bidang teknologi informasi dan komunikasi, termasuk analisa big data, AI, keamanan siber dan realitas berimbuh (Augmented Reality).
Sejak diluncurkan pada tahun 2018, sebanyak 424,390 orang sudah memanfaatkan program belajar ini.
Selain itu, Kominfo juga baru-baru ini telah membangun sejumlah 5,410 BTS (Base Transceiver Stations) di berbagai wilayah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) di Indonesia demi meningkatkan jangkauan sinyal mobile broadband 4G.
Tanggal 19 Juni lalu, Indonesia juga sudah meluncurkan satelit Satria-1 dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, untuk memperkuat jaringan internet di berbagai daerah terpencil.
“Kita ini sekarang sudah memasuki (era) Society 5.0 dimana teknologi digital sudah menjadi kebutuhan,” Shinta mengatakan. “Oleh karena itu kita harus bisa hidup berdampingan dengannya.”
Penulis: Sylviana Hamdani
Editor: Lilin Rosa Santi