tirto.id - "AI apa ya? Saya tidak tahu," cetus Bergita Paskalina Pricelia Lejo, (26), seorang karyawan sebuah perusahaan multinasional yang bergerak dalam industri makanan ketika ditanya oleh Tirto.id mengenai apa itu Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Namun, ketika mendengarkan nama Siri disebut, ia menjawab, "Kalau itu saya tahu. Itu seperti otak Apple begitu kan? Yang membuat fungsi telepon seluler bekerja. Sistem cerdasnya Apple [yang] menjalankan fungsi untuk telepon, SMS, kemudian menggerakkan aplikasi-aplikasi yang khusus untuk Apple."
Hal yang sedikit berbeda diungkapkan oleh Yosefin Candra Pranadewi, (26). Wanita yang bekerja sebagai konsultan sumber daya manusia di Jakarta itu menyebut AI sebagai entitas yang nantinya akan mengolah Big Data. "Cuma kita biasanya lebih kenal bentuknya pada hal-hal yang robotik seperti itu," jelas Yosefin.
Ia pun mengamini jika AI sudah hadir dalam kehidupan keseharian manusia, dan oleh karenanya manusia sangat terbantu dalam keseharian mereka. "Hal-hal yang mempermudah hidup kita itu bagian dari [AI]. Peralatan elektronik yang kita pakai juga bagian dari itu. [...] bahkan search engine yang kita pakai juga bagian dari [AI],” sebut Yosefin.
"Sejujurnya, yang saya tahu, AI itu bentuk yang sangat canggihnya adalah robot. Hahaha."
Apa yang diungkapkan oleh dua wanita tersebut boleh jadi merupakan representasi dari gambaran generasi milenial – yang sesungguhnya cukup akrab dengan teknologi – akan masih asingnya istilah AI dalam kehidupan mereka. Maka dapat dibayangkan pula, bagaimana butanya generasi sebelumnya akan teknologi yang digadang-gadang akan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di masa depan ini.
Lantas apakah AI itu sendiri? Yang jelas, baik Bergita maupun Yosefin tidak sepenuhnya salah. Menurut BBC, sederhananya AI merupakan "mesin" yang mampu melakukan berbagai hal yang dipandang membutuhkan kecerdasan ketika manusia melakukannya, seperti memahami bahasa manusia secara natural, mengenali wajah dalam foto, mengemudikan kendaraan, atau menerka buku apa yang kita mungkin sukai berdasarkan buku-buku yang telah kita baca sebelumnya.
Berbeda dengan robot pabrik yang terus menerus melakukan hal yang berulang seperti mengemas suatu produk, AI membuka kemungkinan untuk menyelesaikan suatu tugas setelah melakukan pembelajaran lewat proses trial and error.
AI sudah banyak beredar dalam kehidupan keseharian manusia. Google Assistant yang dapat ditemui pada smartphone Pixel, atau Siri pada ekosistem perangkat keras Apple, dan Cortana pada sistem operasi Windows mungkin bisa merepresentasikan hal itu. Dan jika lebih jeli lagi, AI yang lebih sederhana sesungguhnya dapat kita temukan pada kalkulator, atau ketika memproses sejumlah data menggunakan Microsoft Excel.
Saat ini, dengan segala keterbatasan teknologi manusia, AI hanya baru bisa berkembang pada tahapan pengolahan data, termasuk Big Data, untuk kemudian melakukan tugas tertentu seperti yang dilakukan oleh Siri, Cortana, dan Google Assistant. AI model ini disebut dengan narrow AI (atau weak AI), yakni AI yang hanya dapat melakukan tugas-tugas yang terbatas.
Namun demikian, teknologi ini tidak berhenti di sini. Ilmuwan tersebut berupaya untuk mengembangkan AI hingga ke sebuah model yang disebut dengan general AI (AGI atau strong AI). Sebuah model di mana AI dapat belajar dan beradaptasi untuk kemudian melakukan hampir setiap tantangan ataupun tugas yang membutuhkan kecerdasan manusia.
Centre For Study of Existential Risk University of Cambridge menuliskan dalam laman resminya, meski saat ini general AI belum mampu diciptakan, banyak peneliti memprediksi AI dengan tingkat kecerdasan manusia itu mampu terwujud di masa depan yang tidak terlalu fana. Mereka memprediksi hal itu akan terwujud dalam tempo 300 tahun hingga dalam tempo 15 tahun, dengan sebagian besar prediksi tersebut jatuh pada tempo 70 tahun.
Mempersiapkan Masa Depan yang Dipenuhi AI
Bayangkan jika general AI menguasai dunia di masa depan. Suasana futuristik tentu saja hinggap pada fantasi kita, di mana segala hal yang kita lakukan, mulai dari memasak hingga mengelola sistem yang kompleks seperti jaringan perkapalan global, akan dengan mudah dilakukan dengan bantuan AI.
Namun seiring dengan makin hebatnya kemampuan AI dan semakin umum fungsinya, potensinya untuk berjalan ke arah yang "salah" pun akan semakin meningkat. Film Terminator dengan general AI-nya yang disebut dengan Skynet bisa menjadi gambaran akan potensi kehancuran yang mungkin dapat diproduksi oleh AI model itu.
Max Tegmark, Presiden the Future of Life Institute, seperti dikutip dari laman futurelife.org, mengatakan, ketika mempertimbangkan risiko yang mungkin dibawa oleh AI, para ahli memikirkan setidaknya dua skenario besar.
Yang pertama adalah ketika AI diprogram untuk melakukan sesuatu yang bersifat menghancurkan seperti ketika digunakan untuk perang. Risiko yang saat ini muncul ketika narrow AI digunakan dalam perang, seperti untuk menggerakkan senjata autonomous misalnya, akan berlipat ganda ketika general AI mengambil alih.
Sementara yang kedua adalah ketika AI diprogram untuk melakukan suatu hal yang menguntungkan, namun ia kemudian membangun sebuah metode yang bersifat destruktif untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut, menurut Max, dapat terjadi ketika manusia gagal menyejajarkan secara utuh tujuan AI dengan tujuan manusia, sebuah hal yang sesungguhnya sangatlah sulit untuk dilakukan.
"Jika sistem superintelligent ditugaskan dalam sebuah proyek geoengineering ambisius, sistem itu mungkin mendatangkan malapetaka pada ekosistem kita sebagai efek sampingnya, dan melihat upaya manusia untuk menghentikannya sebagai ancaman," jelas Max.
Nama-nama besar seperti Chief Executive Officer (CEO) Tesla Motors dan SpaceX Elon Musk dan fisikawan genius Stephen Hawking juga telah mengungkapkan potensi ancaman tersebut. Hawking menggarisbawahi bahwa teknologi primitif AI yang digunakan saat ini sudah sangat berguna bagi manusia, namun ia takut terhadap konsekuensi menciptakan sesuatu yang dapat bersaing atau bahkan melebihi kemampuan manusia.
"[AI] akan dapat berjalan sendiri, dan mendesain ulang dirinya sendiri pada tingkatan yang semakin meningkat," katanya. "Manusia, yang dibatasi oleh evolusi biologis yang lambat, tidak bisa bersaing, dan akan digantikan."
Sementara itu, seperti dikutip dari BBC, tahun 2015 lalu, Musk pernah mengatakan kepada mahasiswa the Massachusetts Institute of Technology (MIT) bahwa AI merupakan "ancaman eksistensial terbesar" dari manusia.
Risiko AI sendiri saat ini sudah dapat dirasakan pada model narrow AI. Orang saat ini sudah terlalu terbiasa untuk menaruh kepercayaan penuh pada sistem canggih yang diciptakan oleh manusia. Padahal, sistem tersebut akan memberikan umpan balik berdasarkan data yang tersedia, di mana data yang tersedia tersebut tidak selalu merupakan data yang ter-input dengan baik. Ujungnya, tidak semua jawaban atau tindakan yang dilakukan oleh narrow AI menjadi sempurna.
Meski demikian, Musk dan sejumlah peneliti lainnya masih tetap meletakkan kepercayaan mereka terhadap AI. Musk, misalnya, telah bergabung dengan sejumlah miliarder lainnya seperti co-founder Paypal Peter Thiel, untuk memberikan dana bantuan sebesar $1 milyar kepada OpenAI, sebuah perusahaan non-profit yang bertujuan untuk mengembangkan AI untuk manfaat kemanusiaan.
Andrew Ng di Stanford University, yang juga kepala ilmuwan raksasa internet Cina Baidu, mengatakan: ketakutan pada bangkitnya robot pembunuh itu seperti mengkhawatirkan kelebihan penduduk di Mars.
Di sisi lain, berdasarkan data yang dari Accenture dan Frontier Economics yang diolah Statista, AI memiliki potensi untuk meningkatkan Gross Value Added (GVA) negara-negara di dunia pada tahun 2035. Pada tahun tersebut, AI diperkirakan dapat meningkatkan GVA Amerika Serikat dari 2,6 persen menjadi 4,6 persen, United Kingdom dari 2,5 persen menjadi 3,9 persen, Belanda dari 1,6 persen menjadi 3,2 persen dan Jepang dari 0,8 persen menjadi 2,7 persen.
Pendapatan pasar AI global juga diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada tahun 2015 "hanya" mencapai angka $126 miliar, maka pada tahun 2024 diproyeksikan mampu mencapai angka $3 triliun.
Dengan statistik dan manfaat sedemikian rupa, terlepas dari kemungkinan risiko yang dibawanya, potensi AI jelas begitu sayang untuk disia-siakan.
Saat ini, banyak sekali penelitian yang sedang dilakukan untuk menjamin faktor keamanan dari general AI di masa depan. Penelitian itu tidak hanya dilakukan oleh para pengembang model AI tersebut, namun juga universitas dan lembaga independen. DeepMind, yang merupakan bagian dari grup Alphabet (perusahaan induk Google Inc.) merupakan salah satu perusahaan tersebut.
Mereka percaya bahwa AI tetap merupakan kunci menuju masa depan, dan akan menjadi bagian yang lebih terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Global.
Dunia sudah bergerak sedemikian cepat, dan sementara itu, di Indonesia, orang masih "sibuk" dengan kasus Kanjeng Dimas, dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, serta kasus kopi sianida Jessica Kumala Wongso.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti