tirto.id - George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (2017) mengatakan bahwa selama pengujung abad ke-13, Kubilai Khan yang bertakhta atas Dinasti Yuan di Tiongkok memulai ambisi penaklukan daerah-daerah seberang lautan. Salah satu sasarannya di selatan adalah Asia Tenggara Kepulauan.
Desas-desus kampanye militer Kubilai Khan itu bikin ketar-ketir para “dewaraja” di Asia Tenggara. Reputasi kavaleri Mongol yang tak kenal ampun jelas tak bisa disepelekan.
Histeria kampanye Mongol ini tentu juga menyebar di Tanah Jawa. Salah satu kerajaan yang turut bersiap adalah Singhasari. Ketika desas-desus itu tersiar, Singhasari baru lima generasi berdiri dan belum lama mentas dari krisis suksesi.
Raja Singhasari yang berkuasa saat itu adalah Kertanegara yang dikenal berkarakter ambisius. Menurut kronik dari Dinasti Yuan, utusan Mongol datang di Singhasari pada 1289 dan Kertanegara sendirilah yang menerimanya. Mudah ditebak bahwa tujuan utusan Mongol itu adalah meminta Kertanegara tunduk pada daulat Mongol dan menyerahkan upeti sebagai tanda setia.
Namun, Kertanegara tidak sudi. Maka dengan gagah berani dilukainya utusan Mongol itu. Tindakan itu sama saja seperti deklarasi perang dan Kertanegara sadar betul akan konsekuensinya.
Segera setelah itu, Kertanegara menyusun siasat preventif untuk membendung serangan Mongol yang bakal tiba. Dan selain langkah politik dan militer, sebagaimana disebut oleh Hariani Santiko dalam “Kehidupan Beragama Raja Kertanegara” (2020), Kertanegara juga bersiap secara spiritual.
“Ancaman itu (Mongol) mengubah pandangan Raja Kertanagara sehingga beliau mengimbangi Kubilai Khan dengan menganut agama Buddha Tantrayana dari aliran Kalacakra, yang memakai arca-arca krodha/ugra (marah) dan bahkan krura (menakutkan),” tulis Santiko.
Jejak-jejak persiapan spiritual itu terekam dalam kitab Nagarakrtagama dan Prasasti Wurare. Salah satu bentuk persiapan itu adalah penahbisan diri Kertanegara dengan gelar Jnanasivabajra dan Jnaneswarabjra. Santiko juga menyebut sang raja lantas melakukan beberapa upacara Tantra untuk memperkuat negara.
Sementara itu, Prasasti Wurare tersemat di lapik arca Aksobhya—dhyani buddha penjaga arah mata angin timur dalam panca tathagata Buddha Mahayana—yang kini terletak di Taman Apsari, Surabaya. Prasasti bertarikh 1211 Saka atau 1289 Masehi itu juga mengabarkan tentang pentahbisan sebagai Jnanasivabajra melalui upacara di pekuburan Wurare.
Selain itu, ada informasi lain yang cukup menarik dalam prasasti itu terkait seorang yogi bernama Arya Bharada. Dia disebut amat sakti lantaran mampu “membelah Pulau Jawa” dan memberikan kedamaian pada pulau tersebut. Ada indikasi dia juga amat disakralkan karena nama dan atribusinya disebut sebelum uraian mengenai genealogi sang raja Singhasari itu.
Menurut Santiko, Arya Bharada adalah guru yang memimpin upacara penahbisan Kertanegara. Namun, tafsiran lain menyebut bahwa penyebutan Arya Bharada itu berkait dengan upaya spiritual yang tengah dilakukan Kertanegara demi membendung serangan Mongol.
Mpu Bharada dan Calon Arang
Nama dan kesaktian Bharada dalam Prasasti Wurare itu mengingatkan pada sosok Mpu Bharada dari masa Raja Airlangga. Namun anehnya, namanya malah tidak tercatat dalam sumber-sumber sejarah dari era Airlangga sendiri. Ketokohan Bharada lebih dikenal melalui manuskrip-manuskrip yang mengisahkan cerita Calon Arang.
Manuskrip-manuskrip itu berumur jauh lebih muda ketimbang Prasasti Wurare, tapi latarnya berkisar pada zaman Raja Airlangga. Berdasarkan hasil kajian filologi, kisah-kisah Calon Arang berasal dari masa akhir Majapahit dan Kerajaan Gelgel di Bali antara abad ke-14 sampai ke-15 Masehi.
Garis besar cerita Calon Arang berkisar pada Calon Arang mengirimkan semacam teluh yang membawa wabah ke seluruh Kerajaan Medang yang dikuasai Airlangga. Untuk mengatasi sihir sang Calon Arang, Raja Airlangga lalu meminta bantuan pada seorang pendeta sakti mandraguna bernama Mpu Bharada dari Lemah Tulis.
Singkat cerita, Calon Arang dan Bharada pun bertarung sihir habis-habisan di tengah ksetra—kuburan tempat Calon Arang memuja Batari Durga. Pada akhirnya, Bharada berhasil mengalahkan dan bahkan berhasil meruwatCalon Arang dari pengaruh jahat.
Menurut K.I. Irawan dalam Calonarang: Ajaran tersembunyi dalam Tarian Mistis (2019), kisah Calon Arang ini sampai sekarang sangatlah populer di Bali. Cerita Calon Arang bahkan menjadi lakon dalam suatu dramatari pertarungan Rangda(Calon Arang) versus Barong. Dramatari ini sendiri merupakan salah satu bentuk ritus keagamaan dalam ajaran Hindu Bali.
Tidak hanya itu, manuskrip Calon Arang juga mengabarkan informasi yang sama tentang “kesaktian” Bharada. Di dalam cerita tersebut dikatakan bahwa Bharada berhasil mendamaikan kisruh perebutan takhta usai mangkatnya Airlangga. Dengan kemampuan mistiknya Bharada membagi kerajaan Airlangga dengan menuangkan air dari kendi yang kemudian menjelma jadi Sungai Brantas.
Sungai Brantas itulah yang kemudian dijadikan batas wilayah dua pihak suksesor Airlangga. Wilayah di sebelah selatan Sungai Brantas lalu dikenal sebagai Kadiri atau Pangjalu, sedangkan yang di sisi utara disebut sebagai Janggala.
Meminjam Kekuatan Bharada
Cerita tentang air kendi yang kemudian menjadi Sunga Brantas yang membelah kerajaan Airlangga boleh jadi hanyalah mitos. Namun, peristiwa partisi kerajaan itu sendiri adalah faktual. Dan mengingat tambo akan dirinya dalam manuskrip Calon Arang sarat akan bumbu keajaiban, sumber sejarah yang lebih valid tentang eksistensi Bharada tentu harus dicari.
Nama dan peran Bharada memang luput dicatat oleh sumber-sumber historis era Airlangga, tapi kisahnya terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa hingga era Raja Kertanegara.
Menurut Hadi Sidomulyo pada “Krtnanagara and The Resurrection of Mpu Bharada” (2011), Bharada memang tokoh sejarah faktual. Pasalnya, nama sang yogi sakti itu disebut dalam manuskrip babon historiografi Majapahit, yakni Nagarakrtagama.
Mpu Bharada disebut bermukim di Lemah Tulis alias sesuai dengan penggambaran dalam manuskrip Calon Arang. Berdasarkan data toponim dan keterangan geografis Nagarakrtagama, lanjut Sidomulyo, lokasi Lemah Tulis kemungkinan terletak di sekitar daerah Bejijong, Mojokerto, Jawa Timur sekarang ini. Bharada juga disebut berperan dalam menentukan batas-batas Kerajaan Jenggala dan Kadiri di abad ke-11 Masehi.
Jadi, besar kemungkinan Bharada memanglah tokoh sejarah nyata yang kemudian dimitoskan karena kedudukannya yang penting dan legendaris.
“Dia memiliki arti penting baru bagi Dinasti Rajasa setelah penyatuan kembali Jenggala dan Kadiri pada pertengahan abad ke-13. Namanya ‘dibangkitkan’ kembali oleh Raja Kertanagara, ... Dia menjadi sosok penjaga Kertanagara dan keturunannya setidaknya selama tiga generasi,” tulis Sidomulyo.
Dengan demikian, Prasasti Wurare juga dapat ditafsir sebagai upaya Kertanegara mengkultuskan tokoh Bharada. Dalam konteks politik-spiritual di masanya, Kertanegara boleh jadi menggunakan ketokohan Bharada sebagai bagian dari persiapannya menghadapi serangan Mongol. Kertanegara boleh jadi berharap “meminjam kesaktian” Bharada dalam kampanye spriritual menghalau tentara Mongol.
Setelah dibangkitkan kembali oleh Kertanegara, nama Bharada terus hidup dan makin populer setelah kekhawatiran akan serangan Mongol berlalu. Di masa akhir Majapahit, kisah hidupnya yang telah dilambari mitos itu terabadikan melalui kesusastraan kidung dan lain sebagainya.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi