Menuju konten utama

Tambo Persahabatan Abadi dari Zaman Jawa Kuno

Sumber-sumber sejarah tertulis memberi kita informasi tentang kisah persahabatan erat di era Jawa Kuno. Dari kisah nyata hingga rupa dongeng religius.

Tambo Persahabatan Abadi dari Zaman Jawa Kuno
Header Mozaik Persahabatan dalam Prasasti. tirto.id/Tino

tirto.id - Beberapa sumber sejarah dari masa lampau menunjukkan pada kita betapa nenek moyang kita begitu menjunjung tinggi nilai persahabatan dan sikap saling mengasihi. Silang pendapat atau perbedaan identitas justru menjadi bahan bakar api persahabatan, alih-alih menjadi halangan atau pemantik permusuhan.

Kisah kuatnya persahabatan paling awal yang sampai sekarang dapat ditemui bukti fisiknya datang dari Jawa awal abad ke-11. Kisah persahabatan tersebut bermula dari situasi pralaya (kiamat), di sekitar salah satu perang paling mematikan yang pernah dialami masyarakat Jawa.

Dikatakan bahwa suatu hari Raja Dharmmawangsa Tguh hendak menikahkan putrinya dengan seorang pangeran dari Bali. Sang Pangeran yang menyambut keinginan sang raja, lantas beranjak ke Pulau Jawa. Tidak disangka, sesampainya di Pulau Jawa, meletus kudeta yang dipimpin seorang raja bawahan bernama Haji Wurawari.

Nahas, Raja Dharmmawangsa Tguh beserta putrinya dan juga seluruh penggawa kerajaan tewas terbunuh. Sang Pangeran rupanya berhasil sintas berkat pertolongan seorang abdi. Sang Pangeran beserta abdi setianya itu lantas bersama-sama melarikan diri ke hutan.

Mereka menjadi pertapa di hutan sembari menyusun siasat untuk merebut kembali kekuasaan dari Haji Wurawari. Sampai pada waktunya, sang Pangeran benar-benar berhasil menjadi raja dan dilantik oleh para pandita baik Buddha maupun Hindu.

Siapakah sebenarnya duo sahabat pejuang itu? Mereka adalah Raja Airlangga dan Narottama. Cerita persahabatan mereka terekam dengan baik dalam Prasasti Pucangan. Prasasti berbahasa Sanskerta yang bertarikh 1042 Masehi ini merupakan sumber paling penting bagi disertasi (kemudian dibukukan) Ninie Susanti yang berjudul Airlangga: Raja Pembaru Jawa Abad ke-11 M (2010).

Lalu, bagaimana nasib Narottama setelah Airlangga naik takhta? Sampai saat ini, belum ada jawaban pasti akan pertanyaan ini. Tidak ada sumber tertulis yang menyinggung soal Narottama lebih lanjut. Namun, petunjuk akan hal itu dapatlah kita taksir dari kebijakan Airlangga selama memerintah.

Muhamad Alnoza dalam naskah ilmiah “Resiliensi Budaya dan Hubungan Patron-klien: Kebijakan Sima Makudur oleh Raja Airlangga” (2023) menyebut Raja Airlangga sering sekali memberi anugerah sima makudur. Itu merupakan pemberian tanah garapan sebagai bentuk balas budi.

“Setiap tanah garapan yang diberi anugerah ini dibebaskan dari pajak, dan biasanya disebabkan akan adanya tindakan balas budi dari sang raja terhadap seorang pendeta,” tulis Alnoza.

Ini memberi kita gambaran bahwa Raja Airlangga bukanlah “kacang lupa kulit”. Maka kita bisa terka bahwa Narottama yang berjasa besar tentu tidak luput dari balas budi Airlangga.

Persahabatan Legendaris Raja Singhasari

Sekitar tiga abad usai catatan tentang persahabatan Airlangga-Narottama, hidup sepasang sahabat yang lebih dikenang lagi oleh orang Jawa. Persahabatan legendaris itu terjadi di antara Raja Kerajaan Singhasari Wisnuwarddhana dan Ratu Angabhaya (posisi kedua di bawah raja) Mahisa Campaka.

Dalam historiografi Singhasari-Majapahit, mereka tidak dapat dipisahkan. Kakawin Nagarakrtagama menyebut duet Wisnuwarddhana dan Mahisa Campaka bagaikan “ dua naga dalam satu lubang”. Th. Pigeaud dalam ulasannya atas Nagarakrtagama (1961-1963) mengatakan bahwa Pu Prapanca juga mengibaratkan kehebatan persahabatan Wisnuwarddhana-Mahisa Campaka bagaikan Dewa Wisnu dan Indra.

Dalam sejarah Kerajaan Singhasari, Wisnuwarddhana merupakan raja yang mengawali masa damai setelah kerajaan ini lama dirundung kemelut suksesi. Sejak Ken Angrok menjadi raja Singhasari pertama, konflik antara trah Ken Angrok dan trah Tunggul Ametung berkobar tanpa berkesudahan.

Sampai kemudian, Wisnuwarddhana yang merupakan keturunan Tunggul Ametung mengakhiri konflik dengan menjalin persahabatan sangat erat dengan Mahisa Campaka dari trah Ken Angrok.

M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II: Zaman Kuna (2010) menyebut bahwa persahabatan mereka pun turut mendamaikan dua keluarga yang sebelumnya saling mendendam dan saling membunuh. Masa pemerintahan bersama ini juga tercatat dalam beberapa prasasti, di antaranya sebuah prasasti yang sekarang disimpan di Frankfurt, Jerman.

Prasasti ini pernah disinggung oleh F.H. Naerssen dalam disertasinya Oudjavaansche Oorkonden in Duitsche en Deensche Verzamelingen (1941). Kedua sahabat ini bahkan diperkirakan meninggal dalam jarak waktu yang berdekatan.

Mahisa Campaka sebagai Ratu Angabhaya juga mendapat hak untuk di-dharma-kan sebagai dewa di suatu bangunan suci. Padahal, tradisi ini hanya diberlakukan bagi raja atau keluarga terdekat raja. Setelah mangkat, Mahisa Campaka di-dharma-kan di Kumeper. Salah satu keturunan Mahisa Campaka adalah Raden Wijaya yang nantinya mendirikan Majapahit dan bertakhta dengan abhiseka Kertarajasa Jayawisnuwarddhana.

Infografik Mozaik Persahabatan dalam Prasasti

Infografik Mozaik Persahabatan dalam Prasasti. tirto.id/Tino

Persahabatan sebagai Dogma Keagamaan

Selain muncul dalam sumber-sumber historis, kisah persahabatan juga hadir dalam dongeng yang berkenaan dengan dogma keagamaan Hindu-Buddha. Salah satu dongeng Jawa kuno yang terkenal hingga kini adalah cerita Bubuksa Gagangaking. Dongeng religius ini berkisah tentang dua bersaudara Bubuksah dan Gagangaking yang memiliki watak dan laku tapa berbeda.

Ulasan tentang cerita ini pertama kali dibuat oleh P.W. van Stein Callenfels dan diterbitkan dalam artikel “Verklaring van Basrelief Series: De Bubuksah serie aan het pendopo-terras te Panataran” dalam jurnal Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap edisi 1919.

Bubuksah dan Gagangaking digambarkan sebagai pendeta Siwa Sogata (Siwa dan Buddha) yang memiliki cara yoga yang berbeda sama sekali. Bubuksah dideskripsikan berbadan tambun dan ber-yoga dengan selalu memakan berbagai hal, sedangkan Gagangaking yang digambarkan ceking ber-yoga dengan selalu berpuasa.

Kendatipun punya perilaku dan bentuk fisik berbeda, mereka sama-sama berhasil mencapai puncak spiritual dan harmoni. Cerita ini begitu monumental sehingga dipamerkan oleh raja Majapahit di relief Candi Panataran (Blitar, Jawa Timur). Dongengnya pun menyebar sebagai tradisi tutur baik di Jawa maupun Bali.

Baca juga artikel terkait PERSAHABATAN atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi