Menuju konten utama

Pertemanan dengan Kawan Lama Setelah Jadi Ibu, Haruskah Berlalu?

Setelah memiliki anak, relasi pertemanan orang tua dengan kawan lama berpotensi berubah. Bagaimana perubahan ini disikapi oleh kedua belah pihak?

Pertemanan dengan Kawan Lama Setelah Jadi Ibu, Haruskah Berlalu?
Header diajeng Pertemanan ibu setelah punya anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Memandikan, menyusui, sampai menidurkan bayi di malam hari menjadi rutinitas harian bagi ibu yang baru saja melahirkan.

Tak berapa lama kemudian, anak memasuki sekolah. Ibu pun akan pontang-panting membantu persiapan anak dari bangun tidur, sarapan, antarjemput sekolah dan kursus, sampai mendampingi anak belajar atau mengerjakan PR.

Anak, anak, dan anak.

Hidup ibu seolah berpusat pada satu makhluk kecil yang sedari lahir bergantung padanya.

Lantas, kapan ibu bisa bersantai di luar rumah? Bukankah ibu juga memiliki dunia sendiri dan berhak me-time?

Realitasnya, menjadi orang tua merupakan suatu tahapan kehidupan dengan warna-warni dinamika tersendiri.

Sebuah studi dari YouGov pada 2017 menemukan bahwa 39 persen orang tua dengan anak di bawah 18 tahun memiliki waktu luang kurang dari dua jam sehari, sedangkan 33 persen yang bukan orang tua memiliki lebih dari 5 jam waktu luang sehari.

Menurut Pew Research Center, dalam hubungan heteroseksual, ibu menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dalam seminggu daripada ayah untuk mengasuh anak.

Transisi menjadi orang tua ini pun berdampak pada relasi pertemanan.

"Sejak punya anak, saya nyaris enggak pernah ketemu teman-teman saya. Selain sibuk juga dengan keluarga masing-masing, domisili kami juga berbeda-beda," cerita Farah (35), ibu tiga anak yang tinggal di Jakarta.

Farah mengatakan, ia memiliki beberapa teman dekat di bangku kuliah. Sebelum menikah dan punya anak, biasanya ia dan teman-temannya selalu punya agenda hang out setiap bulan.

Sayangnya, agenda tersebut tak lagi menjadi rutinitas semenjak Farah dan satu per satu temannya mengakhiri masa lajang.

Pertemuan yang awalnya berlangsung sebulan sekali, berkurang jadi enam bulan sekali, lalu satu tahun sekali.

Semakin bertambah kesibukan, semakin berkurang pula waktu mereka kumpul bersama.

"Kayaknya terakhir ketemu teman-teman dua tahun lalu, waktu ada teman seangkatan kami yang terakhir menikah," ujarnya.

Tak hanya Farah, Citra (30) yang telah dikaruniai satu orang anak berusia 6 tahun mengaku saat ini lingkaran pertemanannya semakin kecil.

Sebelum menikah dan punya anak, Citra punya "genk" persahabatan dengan empat anggota.

Mereka rutin berjumpa setidaknya dua kali dalam sebulan. Namun kini hanya satu orang yang masih suka ia temui lantaran kesibukan dan jarak tempat tinggal yang berjauhan.

"Yang satu orang ini juga bisa ketemunya enggak tentu sebulan sekali," kata Citra yang sehari-hari bekerja dari rumah sebagai penulis lepas dan virtual assistant.

Menurut Citra, untuk bisa bertemu sahabatnya dengan tenang, ia harus menunggu hari libur kantor suami, yang akan bergantian menjaga anak selama ia hangout dengan temannya.

"Karena kalau bawa anak, aku bukannya main sama teman, tapi ajak main anak ke luar rumah," ujarnya sembari tertawa.

Citra mengaku baru bisa beraktivitas ke luar rumah bersama teman dengan leluasa setelah anaknya menginjak usia 4 tahun.

"Sebelum itu sih boro-boro. Kerja dari rumah juga anakku selalu ngikutin ibunya," kata dia.

Sementara Farah masih harus menunggu momen tertentu, seperti pernikahan atau reuni, untuk bisa bertemu kawan lamanya. Kalaupun bepergian, Farah perlu membawa serta anak ketiganya yang saat ini masih berusia 3 tahun.

"Yang bungsu pasti harus dibawa, sih. Kalau kakak-kakaknya kan sudah lebih mandiri," ujar Farah.

Dampak Parenthood pada Pertemanan

Sekelompok peneliti pernah membahas bagaimana usia orang tua saat memiliki bayi memengaruhi relasi sosial mereka. Riset ini menggunakan data 5.301 responden orang Swiss.

Hasilnya, terbit di jurnal Demographic Research (2017), mengungkapkan bahwa semakin dini atau muda usia laki-laki dan perempuan saat mempunyai anak, semakin sulit bagi mereka untuk mempertahankan relasi persahabatan dengan teman dan membangun hubungan dengan tetangga.

Terdapat kombinasi faktor yang disebut dapat memengaruhi relasi pertemanan pada orang tua muda.

Pertama, menjadi orang tua pada usia muda cenderung lebih menantang sekaligus menguras waktu dan energi. Otomatis, mereka memilih untuk melepas kesempatan waktu yang sebelumnya dapat dihabiskan bersama teman, tetangga, atau saudara.

Alasan kedua, orang tua muda umumnya baru meniti karier. Artinya, sumber daya keuangan mereka relatif masih terbatas.

Dalam kondisi tersebut, kebanyakan orang tua muda masih mengontrak rumah atau berpindah-pindah tempat tinggal. Mempertahankan relasi dengan tetangga pun jadi lebih susah.

Ketiga, orang tua yang usianya masih muda biasanya memiliki lingkaran pertemanan yang kebanyakan masih belum mempertimbangkan punya anak.

Pendek kata, orang tua muda memiliki tantangan lebih besar dalam mempertahankan pertemanan dengan teman-temannya yang masih lajang atau belum mau memiliki anak.

Terkait poin di atas, jurnalis Hattie Gladwell punya pengalaman yang membekas di hati.

Seperti Gladwell sampaikan dalam artikelnya di Healhtline, nyaris semua temannya memandangnya dengan berbeda setelah mengetahui dia hamil.

“Aku jadi kelihatan menyebalkan di mata mereka karena terus-terusan mengungkit obrolan tentang bayi, sedangkan mereka belum kepikiran sampai ke topik itu.”

Ilustrasi anak muda berkumpul di kafe.

ilustrasi remaja di cafe.foto/shutterstock

Ajakan dari teman-teman Gladwell untuk berkumpul bersama perlahan mulai berkurang.

Gladwell menduga, mereka tidak mau mengundangnya main karena ibu hamil tidak boleh keluyuran party, minum alkohol, atau merokok—terlepas bahwa momen bersenang-senang tidak mesti berkorelasi dengan aktivitas-aktivitas tersebut.

“Rasanya menyakitkan, tiba-tiba dianggap tidak berguna lagi oleh sebagian teman-teman di lingkaran sosialku,” tulis Gladwell.

Meski begitu, Gladwell mengakui, setiap transisi dalam kehidupan tentu memiliki tantangan dan kesulitannya masing-masing.

Gladwell menekankan pentingnya ibu muda meluangkan waktu untuk mengakui kesedihan dan kedukaan yang dirasakan seiring lingkaran pertemanan mengecil.

Selain itu, penting juga untuk mulai belajar memaafkan dan mengikhlaskan bahwa tidak semua orang dapat dipertahankan menjadi teman selamanya.

Gladwell menyarankan ibu-ibu muda untuk mulai menyusun prioritas-prioritas baru dalam hidup.

Hal lain yang Gladwell tekankan bagi para orang tua baru adalah semangat untuk tumbuh menjadi versi terbaik.

Kehilangan teman-teman lama setelah memiliki anak, menurut Gladwell, tidak perlu dipandang sebagai sebuah kekosongan.

Momen tersebut bisa jadi kesempatan untuk belajar menjadi sosok orang tua yang kita mau. Tidak ada salahnya orang tua baru mulai merancang rencana aktivitas bersenang-senang yang akan dilakukan bersama anaknya kelak.

Yang Belum Menjadi Orang Tua

Dampak parenthood terhadap pertemanan juga menuai diskusi menarik dari sudut pandang pihak yang belum atau tidak mempunyai anak.

Pada Mei 2024, konten kreator berusia 32 tahun di Amerika Serikat, Jenna, membagikan unggahan di Instagram tentang perasaannya yang campur aduk saat mengetahui sahabat baiknya tengah mengandung.

Jenna menggunakan istilah-istilah bernuansa muram, seperti “secretly heartbroken—diam-diam merasa patah hatidan “the death of your friendship—persahabatanmu yang berakhir”, untuk mengungkapkan ragam emosi yang berkecamuk di hatinya.

Tidak butuh waktu lama bagi sebagian warganet untuk menepis apa yang sudah dirasakan Jenna.

Jenna dituding memiliki kepribadian narsistik dan egois, tidak berpikiran dewasa, atau terlalu larut dalam “main character syndrome”.

Pada waktu sama, sebagian lain warganet memahami dan memvalidasi perasaan Jenna.

Jenna tahu betul, topik yang diangkatnya ini belum lazim didiskusikan secara terbuka karena kecenderungannya memicu pendapat yang memecah belah.

Meski paham dengan risiko dalam menyuarakan suaranya, Jenna yakin dirinya bukan satu-satunya yang merasa galau ketika mendapati sang sahabat akan memiliki anak.

“Aku tahu, bukan cuma aku yang merasakan [kehilangan teman] ini,” ujar Jenna saat diwawancara dengan Newsweekpada Oktober lalu.

"Tentu, kalian ikut bahagia ketika teman kalian akan punya anak, tapi juga sedih karena persahabatan kalian bakal berubah," terang Jenna tentang dilema perasaan yang dimaksud.

Masih mengutip Newsweek, menurut psikoterapis Renee Zavislak, fenomena kehilangan teman yang punya anak ini cukup lazim terjadi walaupun jarang dibicarakan.

Dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu, pada hari-hari ini Zavislak sering menjumpai klien perempuan yang mengekspresikan kesedihan saat mendapati temannya hamil.

Salah satu penyebabnya kemungkinan berkaitan dengan pergeseran cara pandang antargenerasi tentang gaya hidup tradisional di tengah situasi ekonomi yang bergejolak dan ketidakstabilan global karena krisis iklim.

Generasi Milenial khususnya berupaya mendefinisikan ulang kehidupan yang lebih berorientasi pada kepuasan dalam konteks pengembangan diri dan karier atau keuangan. Tidak sedikit pula yang kemudian mengurungkan niat untuk memiliki anak atau membangun keluarga.

"Akbatnya, dibandingkan generasi sebelumnya, semakin banyak yang kesulitan untuk menerima kenyataan tentang kehamilan temannya. Bagi mereka, kehilangan yang dirasakan bukan hanya berkaitan dengan koneksi atas waktu, kegiatan, dan gaya hidup, melainkan juga koneksi atas dasar pandangan terhadap dunia,” jelas Zavislak.

Ilustrasi ibu dan anak.

Ilustrasi Pelukan. foto/Istockphoto

Pada akhirnya, kita perlu belajar berkompromi dan bernegosiasi ulang dengan berbagai situasi yang tidak semuanya sesuai kemauan.

Dalam hal ini, dinamika persahabatan yang melibatkan orang tua muda tentu bukan perkara benar atau salah, egois atau tidak.

Dalam artikelnya tahun 2014 silam, penulis Alyssa Shelasky menceritakan bahwa persahabatan dengan temannya yang hamil tidak dapat kembali seperti sediakala. Dan itu tidak apa-apa.

“Aku berdoa yang terbaik untuk dia, tapi akhirnya aku perlu mencari teman perempuan lain yang sepemikiran dan bisa connect—aku bersyukur sudah melakukannya,” tulis Shelasky.

Seberapa pun membingungkan dan kompleksnya perasaan kita tentang persahabatan yang tengah bertransisi ini, Shelasky menegaskan pentingnya mempertimbangkan sudut pandang pihak yang tengah mengandung.

Mereka yang sedang hamil memiliki kondisi hormonal dan biologis yang berubah-ubah. Terlebih ketika mereka menyambut kehadiran buah hati yang pertama—bisa jadi perasaannya diselimuti kekhawatiran dan ketakutan.

“Ini jutsru bisa menjadi kesempatanmu untuk jadi pribadi yang paling perhatian dan penuh kasih sayang,” papar Shelasky.

Atau, berkaca dari pengalaman Jenna, kita dapat belajar menikmati duka dan bahagia sekaligus. Kita bisa merasa bahagia untuk teman yang akan punya anak, dan pada waktu sama kita boleh bersedih atas meredupnya pertemanan yang dulu pernah ada.

Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih & Putri Annisa

tirto.id - Diajeng
Penulis: Sekar Kinasih & Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih