tirto.id - Baca artikel pertama dari Seri Romansa dan Persahabatan di tautan berikut: Girl Code dan Larangan Mengencani Mantan Pacar Teman Sendiri
Terjebak dalam perasaan terhadap mantan pasangan dari teman sendiri adalah pengalaman yang cukup rumit.
Sebagian dari kita mungkin berpendapat bahwa larangan mengencani mantan pacar teman adalah hal yang kekanak-kanakan dan mengekang kebebasan seseorang untuk memilih tambatan hatinya.
Di sisi lain, jalinan persahabatan jadi taruhannya.
Baik di lingkup pertemanan laki-laki maupun perempuan, aturan untuk tidak mengencani mantan pacar teman—terutama secara diam-diam—masih menjadi hal tabu yang tidak mesti menuai persetujuan dari berbagai pihak.
Sebuah survei yang dilakukan aplikasi kencan Plenty of Fish (2019) menyebutkan bahwa 33 persen laki-laki setuju bahwa menjalin hubungan dengan mantan pacar teman bukanlah langkah yang cerdas.
Sementara itu, sebanyak 65 persen perempuan meyakini bahwa seorang sahabat tidak seharusnya mengencani mantan pacar dari sahabatnya sendiri.
Adapun dari 1.500 partisipan lajang yang disurvei, 77 persen responden berpendapat bahwa diperlukan semacam persetujuan dari teman mereka sebelum memulai hubungan dengan mantan pacar yang bersangkutan.
Mereka menganggap jalinan persahabatan adalah yang terutama.
Menariknya, hasil survei di atas juga mengindikasikan bahwa mempertahankan pertemanan sekaligus mengejar cinta dengan mantan pacar sahabat adalah hal yang memungkinkan, asalkan kamu dan temanmu mencapai kesepakatan dari situasi rumit ini.
Kendati demikian, ada etika-etika baru yang perlu kamu pertimbangkan dan situasi-situasi tertentu yang mungkin agak sedikit canggung.
Sebab, hubungan yang kelak berlangsung bukan lagi sekadar tentang dua orang yang jatuh cinta atau tentang dua sahabat yang tidak ingin saling menyakiti, melainkan berubah menjadi relasi segitiga—antara kamu, sahabatmu, dan mantan pacar sahabatmu.
Melansir artikel dari Los Angeles Times, terapis pernikahan dan keluarga Aaron Martin mengibaratkan situasi ini seperti memperkenalkan variabel baru dalam dinamika pertemanan.
Sahabatmu mungkin akan merasa tidak nyaman apabila mantan pacarnya ikut hangout bersama tongkrongan kalian.
Bahkan, dia juga bisa merasa canggung atau sakit hati ketika mendengar kamu membicarakan pacar barumu, atau sesimpel menyaksikan Instagram story yang kamu rilis bersama si dia.
Begitu pula dengan pacar barumu. Dia barangkali akan merasa keberatan jika nama mantannya disebut-sebut dalam obrolan kalian sehari-hari.
@izzyinfluence nothing better than your best friend dating your ex! #taste#sabrinacarpenter @Sabrina Carpenter @Team Sabrina #shortnsweet#ex#exboyfriend#girlcode
♬ Taste - Sabrina Carpenter
Konselor hubungan atau terapis pasangan Mukti Jarvis mengatakan bahwa hal utama yang harus dipertimbangkan sebelum mengencani mantan pacar sahabatmu adalah mengukur seberapa berarti hubungan pertemananmu dengan sahabatmu.
“Apabila keputusan tersebut akan merusak hubungan persahabatan kalian dan membuatmu kehilangan sahabat yang berarti untukmu, maka sebaiknya lepaskan keinginan untuk mengencani mantan pacar sahabatmu itu,” papar Jarvis dikutip dari Fashion Journal.
Namun demikian, kadang kala perasaan suka yang menggebu-gebu dapat mengaburkan kemampuan seseorang untuk berpikir jernih.
Jika kamu benar-benar menyukai mantan pacar sahabatmu dan meyakini betul hubungan tersebut patut diperjuangkan, terdapat beberapa etika yang penting untuk diperhatikan.
Pertama-tama, kamu harus mengomunikasikan hal tersebut dengan sahabatmu. Kamu perlu memastikan bahwa sudah tidak ada rasa yang tersisa di antara mereka berdua.
Selain itu, penting juga untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada temanmu tentang hubungan masa lalunya dengan mantan pacar.
Misalnya, kapan mereka putus, apa alasannya putus, atau siapa yang mengakhiri hubungan.
Tidak ada salahnya juga untuk mencari tahu apakah kedua belah pihak masih menyimpan rasa satu sama lain, apakah mereka masih berhubungan baik, dan bagaimana pendapat temanmu ketika mengetahui perasaanmu terhadap mantan pacarnya.
Selanjutnya, kamu harus bersiap dengan reaksi atau respons dari sahabatmu.
Menurut Jarvis, dia kemungkinan akan cenderung lebih terguncang karena merasa dikhianati oleh sahabatnya.
Pasalnya, kalian telah banyak menghabiskan waktu bersama, saling curhat, dan menceritakan rahasia-rahasia tentang hubungan dan pasangan satu sama lain.
Maka tidak mengherankan kalau sahabatmu akan jauh lebih reaktif atas pengakuanmu.
Reaksinya tersebut bahkan mungkin lebih kuat daripada rasa kesalnya terhadap si mantan pacar yang sama-sama terlibat dalam kerumitan relasi ini.
Jika situasinya begitu, berikanlah ruang dan waktu bagi sahabatmu untuk menenangkan diri.
Pada skenario lain, bisa jadi sahabatmu terang-terangan menyatakan bahwa dirinya tidak keberatan dengan keputusanmu dan mantan pacarnya untuk menjalin hubungan baru.
Meski begitu, bukan tidak mungkin dia perlahan-lahan mulai menjaga jarak—sampai akhirnya komunikasi di antara kalian meredup dan padam.
Lantas, bagaimana jika sahabatmu akhirnya tidak mau lagi bicara denganmu?
Mau tidak mau, kamu perlu memahami reaksinya tersebut dan siap menerima konsekuensi kehilangan sahabat.
Pada waktu sama, keputusan sahabatmu untuk merasa kecewa dan marah padamu, atau bahkan sampai menjauh darimu, adalah reaksi yang manusiawi.
Di sisi lain, kamu tentu tidak seharusnya menyembunyikan perasaan atau bahkan merahasiakan hubungan yang kamu jalin dengan mantan pacar sahabatmu.
Ungkapkanlah perasaanmu dengan jujur kepada sahabatmu, alih-alih memendamnya sendirian atau memutuskan tetap menjalin hubungan dengan mantan pacarnya secara diam-diam.
Bagaimana hasilnya kelak, ingat selalu bahwa setiap keputusan yang kita ambil akan melahirkan risiko. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana kita dapat mengelola atau menavigasi risiko-risiko tersebut.
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih