tirto.id - “Pokoknya mantan pacar itu terlarang untuk didekati oleh teman kita sendiri! Itu sudah seperti aturan dalam feminisme!”
Begitu disampaikan oleh Gretchen kepada Cady yang diam-diam naksir dengan mantan pacar Regina, ketua geng The Plastics.
Dialog dari film komedi remaja klasik Mean Girls (2003) ini cukup ikonik walaupun tidak akurat.
Pasalnya, feminisme tidak mengekang tindakan perempuan atau mengerdilkan mereka dengan kata-kata yang merendahkan hanya karena seorang laki-laki.
Nah, kembali pada penuturan Gretchen di atas, pernahkah kamu mendengar tentang larangan mengencani mantan pacar sahabatmu sendiri?
Dalam banyak contoh hubungan persahabatan antarperempuan, larangan tersebut kerap menjadi etika yang perlu diperhatikan dan dijaga oleh setiap pihak.
Istilahnya disebut girl code.
Secara umum, girl code merupakan kode etik standar di lingkup pertemanan perempuan untuk menunjukkan kesetiaan dan solidaritas terhadap sesama perempuan.
Pendek kata, dalam spirit girl code, setiap perempuan harus selalu saling mendukung dan membantu.
Contoh sederhananya adalah tulus memberikan dukungan dan tidak iri dengan keberhasilan temanmu, membantu temanmu yang tidak membawa pembalut ketika menstruasi, sampai mengambil keputusan untuk tidak mengunggah foto bersama (we-fie) jika ada salah satu dari kalian yang penampilannya terlihat kurang oke.
Beberapa orang berpendapat bahwa kita tidak boleh menganggap pacar sahabat kita, maupun mantan pacar sahabat kita, sebagai teman.
Dalam konteks ini, kamu bahkan dilarang mengirimkan pesan atau hangout bersamanya tanpa keberadaan sahabatmu.
Beberapa waktu belakangan, girl code sempat menjadi perbincangan karena drama yang melibatkan influencer TikTok Lily Kenzie dan Cachu.
Hubungan kedua sahabat ini dikabarkan menjadi renggang karena Kenzie menjalin relasi romantis dengan Abenk yang merupakan mantan pacar Cachu.
Selama Cachu dan Abenk masih berpacaran, Kenzie cukup dekat dengan mereka dan sering bepergian bersama.
Topik girl code pun jadi cukup banyak diperdebatkan di platform TikTok karena kasus ini.
Ada warganet yang menganggap hubungan Kenzie dan Abenk sah-sah saja karena berlangsung usai Cachu dan Abenk tak lagi ada ikatan. Cachu pun kini sudah punya kekasih lain.
Meski begitu, sebagian warganet tetap menilai bahwa tindakan Kenzie sudah melanggar etika pertemanan.
Beberapa tahun silam, pandangan publik yang mirip juga pernah dilayangkan pada Brisia Jodie.
Sejumlah warganet mengecam Jodie karena menjalin hubungan dengan Julian Jacob, mantan pacar Marion Jola yang bersahabat dengannya sejak berkompetisi di ajang pencarian bakat Indonesia Idol musim kesembilan.
Selain itu, kerenggangan relasi pertemanan yang dirumorkan berkaitan dengan girl code juga pernah dilaporkan terjadi pada Awkarin dan Erika Carlina, Olivia Wilde dan Emily Ratajkowski, sampai Katy Perry dan Taylor Swift.
Menariknya, seiring publik sibuk menelusuri setiap detail kecil tentang kerenggangan hubungan pertemanan mereka dan siapa yang paling pantas dipersalahkan, entah mengapa isu-isu tersebut hampir selalu berhasil mengecualikan pihak mantan pacar alias si laki-laki.
Selalu Girl Code, Tidak Pernah Ex Code
Melansir artikel dari Independent, padanan kata girl code memiliki problematika yang mirip dengan istilah-istilah girl boss, girl talk, girl power, atau hot girl summer.
Frasa ini mengandung konotasi yang merendahkan dan menginfantilisasi pengalaman perempuan dewasa menjadi drama gadis belia belaka—menghilangkan kemampuan dan otonomi mereka untuk memilih atau mengambil keputusan tentang cinta.
Bisa jadi, saat pertama kali mengenal girl code, kita memang masih belia dan baru mulai menyukai lawan jenis.
Namun, setelah dewasa, kita sepatutnya menyadari bahwa larangan mengencani mantan pacar teman seharusnya tidak hanya ditujukan kepada satu pihak jenis kelamin saja.
Seperti kata Ellen Scout, editor kolum gaya hidup di media Inggris Metro, girl code acap kali digunakan untuk mengatur tindak-tanduk perempuan dan bukan apa yang dilakukan laki-laki.
“Mereka bebas berkencan dengan teman kalian dan tidak ada aturan di pihak si mantan pacar (ex code), yang menurutku tidak adil,” demikian pernah Scout sampaikan dalam siaran BBC Radio 4 Woman’s Hour.
Memang, di beberapa kondisi atau situasi tertentu, kita tidak semestinya mengejar mantan pacar dari sahabat kita. Misalnya, ketika penyebab putusnya hubungan mereka meninggalkan trauma mendalam terhadap sahabat kita.
Di satu sisi, laki-laki juga tidak sepantasnya mendekati teman-teman mantannya setelah hubungannya kandas dengan tidak baik-baik.
Dengan begitu, kita tidak perlu ikut-ikutan menjadi bagian dari publik yang terprovokasi untuk menyerang dan menjatuhkan perempuan—apalagi sampai mengadu domba para perempuan hanya karena “kode” tak tertulis yang dilanggar.
Bukan tidak mungkin, jika dibiarkan begitu saja, praktik girl code yang dielu-elukan sebagai bentuk solidaritas sesama perempuan dan women support women malah berpotensi menjadi produk turunan dari misogini—kebencian terhadap perempuan.
Maka dari itu, coba renungkan kembali seberapa cepat kita menghakimi, menyalahkan, dan menyerang perempuan.
Jangan sampai kita mereduksi perempuan menjadi sekadar pesaing seksual yang mudah tergantikan, sementara kritik terhadap tindakan laki-laki nyaris tidak terdengar gaungnya.
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih