tirto.id - Surawisesa hidup pada abad ke-16. Cerita tentang Raja Sunda ini tercatat dalam naskah Carita Parahyangan dan Carita Ratu Pakwan.
Ayahnya, Jayadewata, yang merupakan Pangeran Galuh, dijodohkan dengan putri Kerajaan Sunda bernama Mayang Sunda. Perjodohan itu membuat Jayadewata diangkat menjadi Maharaja Sunda-Galuh dengan gelar Sri Baduga Maharaja.
Sebelum menikah dengan Mayang Sunda, Jayadewata telah memiliki seorang istri beragama Islam bernama Subang Larang.
Berita pernikahan Jayadewata dengan istri pertamanya muncul dalam manuskrip Cirebon yang diterbitkan oleh Atja dalam Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (1986).
Kala itu, Jayadewata yang baru bergelar Pamanah Rasa, melangsungkan pernikahannya ketika menimba ilmu di kabuyutan (karesian) Pakungwati di Cirebon. Dengan Subang Larang, ia memiliki tiga orang anak, yaitu Cakrabuana, Rara Santang, dan Raja Sengara yang semuanya memeluk Islam.
Surawisesa menghabiskan masa kecilnya di Pakuan Pajajaran bersama dengan tiga orang kakaknya. Mereka hidup di Kerajaan Sunda yang makmur dan sejahtera. Kondisi kehidupan masa awal Surawisesa tecermin pada Prasasti Batu Tulis (1533 M) yang ia keluarkan sendiri.
Dikutip dari jurnal yang ditulis Hasan Djafar berjudul "Prasasti Batu Tulis Bogor" (2011), Surawisesa mencatat pada prasasti tersebut bahwa ayahnya, Sri Baduga Maharaja, banyak membangunan fasilitas, di antaranya jalan-jalan yang diperkeras, sarana peribadatan, sarana pengairan, dan hutan lindung yang disebut sebagai samida.
Seturut Carita Purwaka Caruban Nagari, Sri Baduga Maharaja digambarkan sebagai sosok yang toleran. Ia dikenang atas keputusannya membiarkan banyak penyebar agama Islam dari luar Pulau Jawa untuk mendirikan pesantren di daerah pesisir Kerajaan Sunda.
Keputusan itu pula yang akhirnya mendorong kakak-kakak Surawisesa untuk pergi dari Pakuan Pajajaran dalam rangka mencari pesantren.
Ancaman dari Timur
Setelah Sri Baduga Maharaja wafat, masa-masa damai Kerajaan Sunda segera berakhir. Surawisesa yang naik takhta harus menghadapi pemberontakan kakaknya, Cakrabuana, di Cirebon. Peristiwa ini dilukiskan Uka Tjandarasasmita dalam buku Arkeologi Islam Nusantara (2009).
Menurut Uka, konflik berpangkal pada semakin kuatnya kedudukan Cakrabuana yang telah mendirikan pusat pemerintahan di Cirebon. Ia awalnya setia pada Pemerintahan Sri Baduga Maharaja, tapi kemudian menolak menyerahkan upeti ke Kerajaan Sunda setelah Surawisesa naik takhta.
Hubungan trah Subang Larang dan Mayang Sunda semakin buruk setelah hadirnya anak Rara Santang, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ia yang kemudian menggantikan pamannya sebagai penguasa di Cirebon, mulai terang-terangan menentang Surawisesa.
Sunan Gunung Jati mengangkat diri sebagai raja dan menyerang beberapa wilayah timur Kerajaan Sunda. Kekuatannya berlipat setelah bersekutu dengan Demak yang menjadi pelanjut Kerajaan Majapahit.
Di sisi lain, Surawisesa mengetahui bahwa Kerajaan Demak dan Cirebon bermusuhan dengan Portugis yang sudah berkuasa di Malaka sejak 1511. Maka itu, ia menginisiasi perjanjian aliansi antara Kerajaan Sunda dengan Portugis di Malaka.
Nina Herlina Lubis dkk. dalam Sejarah Provinsi Jawa Barat Jilid I (2013) menduga Surawisesa sendirilah yang pergi ke Malaka untuk menghadap Portugis.
Hal ini sesuai dengan keterangan Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015). Menurutnya, memori kepergian Surawisesa ke Malaka diingat masyarakat Sunda lewat tradisi pantun berjudul Mundinglaya Dikusumah.
Perjanjian dengan Portugis ternyata cukup efektif. Portugis diberikan hak oleh Surawisesa untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan syarat, benteng tersebut harus menjadi pelindung Kerajaan Sunda dari serangan Kerajaan Cirebon dan Demak yang datang dari timur.
Perjanjian antara Kerajaan Sunda dengan Portugis segera menjadi momok bagi Sultan Trenggana di Kerajaan Demak. Cirebon dan Demak kemudian berencana menghalau pasukan Portugis yang hendak mendarat di Sunda Kelapa agar tidak jadi membangun benteng.
Maka dikirimlah Wong Bagus Pasé alias Fatahillah sebagai pemimpin perang. Ia berhasil menggagalkan Portugis di Sunda Kelapa dan mengangkat diri sebagai adipati di kota yang ia taklukan. Dalam beberapa manuskrip Jawa dan Sunda disebutkan, Fatahillah kemudian mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta atau jaketra.
15 Pertempuran
Setelah kegagalan Portugis, malapetaka menimpa Kerajaan Sunda datang dari Banten. Maulana Hasanudin yang merupakan anak Sunan Gunung Jati telah mengalahkan penguasa bawahan Sunda di Banten. Sejak saat itu, Kerajaan Sunda terkungkung dari perdagangan internasional.
Di tengah kondisi demikian, Surawisesa tidak kehabisan harapan untuk menjaga tanah Sunda. Dalam Carita Parahyangan ia disebutkan berperang di berbagai daerah di Tatar Sunda sampai akhir hayatnya.
Selama 14 tahun bertakhta, Surawisesa bertempur sebanyak 15 kali, yakni di Kalapa, Tanjung, Ancol Kiyi, Wahanten Girang, Simpang, Gunung Batu, Saungagung, Rumbut, Gunung Banjar, Padang, Panggaokan, Muntur, Hanum, Pagerwesi, dan Medangkahiyangan. Nama-nama tersebut tentu mengacu pada toponimi masa itu yang kiwari sudah banyak berubah.
Banyaknya pertempuran yang ia lakoni, membuatnya disebut sebagai raja pemberani dan sakti.
Setelah itu, ia kembali ke Pakuan Pajajaran dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi