tirto.id - Sejak abad ke-9 Masehi, di Nusantara khususnya Jawa, masyarakat telah mengonstruksi entitas transgender, khususnya transgender perempuan atau transpuan. Nama ini dilampirkan dalam dokumen-dokumen resmi negara. Mereka menjadi bagian dari kelompok yang disebut mangilala drawya haji.
Dalam birokrasi kerajaan-kerajaan Jawa Kuno, mangilala drawya haji punya peranan penting lantaran hampir selalu disebut dalam berbagai prasasti.
Boechari dalam buku Melacak Sejarah Kuno lewat Prasasti (2012) mengurai pengertian Mangilala drawya haji dari dasar etimologisnya. Menurutnya, nama ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti "bergantung dari penghasilan raja".
Maksudnya, orang-orang yang tergolong ke dalam mangilala drawya haji tidak pernah memiliki tanah garapan sendiri, hajat hidupnya senantiasa bergantung dari gaji yang diberikan raja.
Singkatnya, nama ini bersinonim dengan abdi dalem sebagaimana dikenal keraton-keraton Jawa belakangan.
Dalam studi yang sama, Boechari mendaftar Mangilala drawya haji yang mencapai 212 orang dari berbagai macam kelompok profesi. Jumlah ini hanya didapat dari satu prasasti, yakni Prasasti Cane yang dikeluarkan Raja Airlangga pada abad ke-11.
Senarai ini belum termasuk profesi-profesi yang disebut di prasasti lain. Menurut Boechari, daftar profesi yang tergolong sebagai mangilala drawya haji luar biasa detail dan beragam, mulai dari pemangku keagamaan, pejabat pengairan desa, bahkan kontrolir rumah bordil (germo).
Salah satu dari sekian banyak mangilala drawya haji adalah kdi atau kini kita kenal sebagai transpuan. Prasasti Waharu I yang dikeluarkan oleh Śrī Maharaja Rakai Kayuwangi tahun 873 Masehi merupakan sumber tertulis paling awal yang menyebut soal transpuan dan kedudukannya.
Penyebutan kdi sebagai bagian dari pegawai kerajaan terus-menerus disebut oleh para Raja Jawa Kuno hingga era Majapahit pada abad ke-13.
Siapa kdi?
Data tentang posisi dan peranan transpuan dalam masyarakat Jawa Kuno tak hanya bersumber dari prasasti. Beberapa karya kesusastraan yang berkembang di era Jawa Kuno juga turut melampirkan keterangan serupa. Kdi dalam naskah kesusastraan masa itu dikategorikan ke dalam wikara. Para ahli filologi punya pengertian beragam atas definisi wikara.
P.J. Zoetmulder dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno (1985), misalnya, mendefinisikan wikara sebagai "perubahan bentuk dari sesuatu yang baik ke yang lebih buruk."
Sementara Darmosoetopo mengaitkan wikara dengan kecacatan. Meski demikian, kecacatan ini tidak dapat disamakan dengan konsep cacat yang dipahami masyarakat sekarang.
Cacat dalam konteks Jawa Kuno berhubungan dengan konsep dualitas, yakni "ketidaksempurnaan" yang eksis bersama dengan kesempurnaan. Pada tataran itulah wikara bisa diartikan juga sebagai "liyan" (others).
Yang menjadi unik adalah seorang kdi merupakan salah satu mangilala drawya haji yang dihidupi oleh raja dari sumber pendanaan perpajakan yang menjadi hak raja.
Mengenai keberadaan transpuan sebagai salah satu golongan abdi dalem kerajaan, pernah saya bahas bersama Dian Sulistyowati dalam studi Konstruksi Masyarakat Jawa Kuno terhadap Transgender Perempuan pada Abad ke-9-14 M (2021).
Dalam tulisan tersebut saya menafsirkan bahwa kemungkinan besar eksistensi transpuan dalam jajaran pegawai negeri masa Jawa Kuno berkaitan erat dengan konsep dewaraja yang diampu masyarakat masa itu.
Pada masa Hindu-Buddha, raja diposisikan sebagai penjelmaan dewa di dunia. Di Nusantara, klaim raja sebagai representasi Tuhan dapat dijumpai paling tua pada kasus Raja Purnawarman yang bertakhta di Kerajaan Tarumanagara.
Purnawarman mengklaim dirinya perwujudan dari Dewa Wisnu, dewa pelindung yang dipuja dalam agama Hindu.
Tradisi klaim raja sebagai penjelmaan dewa di Nusantara menurut Agus Aris Munandar dalam Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna (2014), selain mendapat pengaruh agama Hindu dan Buddha dari India, juga bermula dari kepercayaan asli nenek moyang kita yang menganggap manusia akan menjadi dewa (hyang) setelah wafat dan bercokol di tempat-tempat tinggi.
Tradisi demikian terus berlanjut hingga masa Islam dengan sejumlah modifikasi dan pengadopsian beberapa konsep yang telah mapan dalam ajaran Islam. Salah satunya konsep khalifah yang secara lokal bertransformasi sebagai pandita ratu atau bersatunya pemuka agama dan pemimpin negara.
Di Jawa, konsep dewaraja direalisasikan melalui simbol-simbol. Sebagaimana masih ditemui sampai sekarang di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, raja yang naik takhta diantar menuju singgasana bersama dengan beberapa orang yang dianggap liyan atau cacat.
Orang-orang ini dikenal sebagai abdi dalem palawija. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak sempurna, dan berdampingnya mereka dengan raja justru menggenapi kesempurnaan raja sebagai perwujudan dewa di dunia.
Posisi kdi agaknya menempati posisi yang serupa dengan abdi dalem palawija. Kdi dalam hal ini memiliki kekuatan sosio-magis yang dapat menambah kewibawaan raja yang berkuasa.
Oleh karena itu, di sinilah semacam kontrak sosial berlangsung. Raja memberikan keuntungan ekonomi bagi transpuan, sedangkan transpuan menawarkan ekspresi gendernya untuk ditampilkan di ranah publik.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi