Menuju konten utama

Jalan Terjal Ulama Perempuan Perjuangkan Keadilan Korban KDRT

Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan membuat peran ulama perempuan menjadi krusial dalam penghapusan kekerasan melalui pendekatan dakwah.

Jalan Terjal Ulama Perempuan Perjuangkan Keadilan Korban KDRT
Luluk dan Anisa peserta Kongres Ulama Perempuan. FOTO/ KUPI II

tirto.id - “Nabi itu betul-betul feminis sejati yang memperjuangkan hak perempuan,” ujar Luluk Farida Mukhtar (48) dalam kajian melalui Radio Madina FM 99,8 yang ia unggah di kanal YouTube pribadinya.

Kala itu ia tengah menyinggung topik menyoal kekerasan terhadap perempuan terutama di dalam pernikahan. Isu yang kerap menghantui perempuan hingga saat ini.

"Nabi [Muhammad] itu melarang pemukulan terhadap perempuan. Nabi itu tidak membolehkan kaum laki-laki memukul perempuan," tegasnya lagi.

Saat itu ia mengenakan khimar biru tua yang terulur rapi hingga menutupi dada. Pembawaannya tenang, tidak menggebu-gebu, nihil kesan menggurui. Penonton seolah diajak mengobrol santai biasa oleh Luluk.

Luluk merupakan Pembina Yayasan Pesantren PPAI Darun Najah Malang, Jawa Timur. Ia aktif menyampaikan dakwah di media sosial, seperti isu kesetaraan dan kekerasan terhadap perempuan.

"Sebelum Islam datang, perempuan itu selalu jadi korban kekerasan. Diperjualbelikan, dijadikan budak. Perempuan sering ditempatkan di posisi tidak adil," kata Luluk kepada Tirto, Kamis (8/12/2022).

Pandangan kritis Luluk mulai muncul ketika sekitar usia 15 tahun saat mondok di salah satu pondok pesantren di Singosari Malang. Kala itu, sang guru tidak menjelaskan mengenai wawasan keadilan terhadap perempuan dan penuturannya sangat tekstual.

Ketidakadilan terhadap perempuan juga ia lihat pada kondisi pernikahan orang tua dan lingkungan rumahnya di Malang, Jawa Timur.

"Kalau gini berat banget jadi perempuan. Saya sempat berpikir tidak akan menikah kalau diperlakukan tidak adil kaya gini," ucapnya.

Perempuan yang masuk dalam jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini pun mulai mempertanyakan tentang pandangan Islam terhadap perempuan.

"Masa sih Islam seperti itu?" katanya.

Kongres Ulama Perempuan

Luluk dan Anisa peserta Kongres Ulama Perempuan. FOTO/ KUPI II

Setelah lulus pesantren, Luluk memutuskan untuk kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang mengambilkan jurusan Bahasa Arab. Meski mengambil jurusan Bahasa Arab, dengan motivasinya yang kuat untuk memperjuangkan keadilan terhadap perempuan, ia coba memperdalam isu-isu perempuan.

Sampai akhirnya ia memutuskan mengambil skripsi dengan tema Perempuan dalam pandangan Islam.

"Hasil penelitian saya membuat saya yakin untuk menyuarakan ini," pungkasnya. Luluk kemudian melanjutkan sekolah S2 di Universitas Islam Malang hingga lanjut S3 dan mendapat gelar doktor dari Universitas Islam Nusantara Bandung.

Selama ini Luluk kerap melakukan dakwah baik melalui majelis ilmu, radio seperti Islam Corner Radio Madina FM, hingga YouTube. Topik yang sering ia bahas mengenai keadilan kekerasan terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga.

Ia menjelaskan seharusnya baik laki-laki maupun perempuan bisa saling memuliakan. Sebagaimana Nabi Muhammad memuliakan istrinya.

Dalam salah satu kajiannya, Luluk menjelaskan, selama 23 tahun berdakwah, Rasulullah memperjuangkan hak-hak perempuan dan menghentikan tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemukulan.

Perempuan dan laki-laki, katanya, memang harus memiliki komunikasi yang baik dalam membicarakan hak dan kewajibannya dalam berumah tangga. Namun realitasnya, perempuan rentan menerima kekerasan, baik fisik, psikis, hingga ekonomi.

Biasanya kekerasan dilakukan laki-laki karena merasa superior dan melakukan tindak kekerasan untuk 'menguasai' istrinya agar menuruti perintah. Ketika sang istri melawan, biasanya sang suami tak segan melakukan kekerasan fisik maupun verbal.

Ada pula bentuk kekerasan ekonomi saat sang suami tidak menafkahi sang istri dengan layak. Kemudian kekerasan psikis, ketika suami menganggur dan istri bekerja, sang istri juga tetap harus melayani suami. Hal itu mengakibatkan beban ganda yang harus ditanggung perempuan.

Selain itu, terdapat laki-laki yang meminta sang istri untuk melayani seluruh hal yang diinginkan. Jika tidak, sang istri akan dicap tidak saleha dan durhaka.

"Budaya patriarki yang mengatasnamakan agama memang harus dikritisi," tegas dia.

Dia lantas menekankan istri yang berani bicara sebagai korban kekerasan rumah tangga terhadap sang suami bukanlah sebuah aib dan tidak berdosa dalam pandangan Islam.

"KDRT itu bukanlah aib, api kekerasan itu dzolim dalam rumah tangga. Jadi tidak boleh kedzaliman itu didiamkan," ujarnya.

Saat melakukan dakwah, biasanya para jemaah majelis taklim yang dihadiri oleh ibu-ibu kerap bertanya kepada Luluk seputar permasalahan kekerasan dalam rumah tangganya.

Bahkan, pernah ada jemaahnya yang diperkosa oleh suaminya. Ia dimarahi, disakiti, dan dalam kondisi masih menangis ia justru tetap digauli.

"Saya jadi mendengarkan langsung cerita tentang perkosaan dalam pernikahan," ucapnya.

Terkadang, setelah ia mengisi dakwah, terdapat jemaah yang berkonsultasi dengannya mengenai masalah kekerasan di rumah tangganya. Ia pun mendampingi korban kekerasan tersebut.

"Solusi apapun mereka yang memikirkan, tugas kita menguatkan saja, membantu mencari alternatif solusi, mengidentifikasi konsekuensi-konsekuensi itu. Kami bantu pertimbangkan, sehingga mereka siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan," tuturnya.

Beberapa kali Luluk juga pernah menjadi mediator ketika antara sepasang suami istri ketika kasus kekerasan yang dialami istri tak kunjung selesai.

"Biasanya memang permasalahan di komunikasi. Saya bantu identifikasi permasalahan mereka, saya kasih saran, tetap mereka yg menentukan. Saya enggak boleh mencampuri terlalu jauh," pungkasnya.

Kendati demikian, Luluk hanya mendampingi istri yang menjadi korban kekerasan sebatas dengan berkonsultasi. "Kalau persoalan hukum, saya serahkan ke ahlinya," imbuhnya.

Berdakwah Lewat Jalur Hukum

Jika Luluk menindak kekerasan terhadap perempuan lewat jalur dakwah dan memberikan konseling, maka Anis Su'adah (57) mendampingi korban dengan cara memberikan bantuan hukum kepada korban di Jawa Timur.

Anis merupakan Direktur Aliansi Perempuan Lamongan (Apel), Jawa Timur, yang fokus kepada pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak.

Pada Januari 2022 lalu, Anis mendampingi seorang korban asal Lamongan yang menjadi korban KDRT oleh suaminya. Awalnya korban mengadu kepada Apel melalui hotline perihal dirinya yang menjadi korban kekerasan.

Korban mengaku telah mengalami KDRT sejak 3 tahun lalu. "Ia bingung mau ke mana, karena menganggap itu aib keluarga," ucap Anis kepada Tirto.

Kekerasan yang dialami korban yaitu pemukulan, sampai kakinya tak bisa berjalan. Korban juga sering dipaksa oleh sang suami untuk berhubungan seksual. Hal itu pun membuat psikis korban terganggu.

Setelah menerima sejumlah bukti kekerasan dari korban, Anis langsung mengunjungi kediamannya untuk meminta keterangan keluarga korban. "Kami mendapatkan kesimpulan bahwa korban KDRT," ucapnya.

Ketua Majelis Taklim Al Istiqomah ini juga mendampingi korban ke Rumah Sakit untuk dilakukan visum untuk mendapatkan bukti lebih kuat.

Awalnya Anis ingin memediasi korban dengan sang suami. Mengingat korban mengalami kekerasan fisik, akhirnya Anis memutuskan tak memilih jalur restorative justice, melainkan langsung lapor ke aparat penegak hukum.

"Karena ini sudah mengancam nyawa korban. Setelah kesepakatan keluarga korban dan dukungan, akhirnya kami melaporkan ke Polres Lamongan," ucapnya.

Kongres Ulama Perempuan

Luluk dan Anisa peserta Kongres Ulama Perempuan. FOTO/ KUPI II

Tak hanya pada laporan ke polisi saja, Anis terus mendampingi korban. Mulai dari tahap penyidikan, di Kejaksaan, hingga persidangan ke Pengadilan Negeri Lamongan.

"Pengadilan memutuskan pelaku dijerat hukum 3 tahun 9 bulan," tuturnya.

Selama melakukan pendampingan kepada korban, Anis mengaku kerap mengalami kendala dari aparat kepolisian.

"Karena mereka bias gender. Karena ini [KDRT] delik aduan dan penanganannya restoriative justice," imbuhnya.

Ulama Perempuan Punya Peran Hapuskan Kekerasan

Luluk dan Anis merupakan bagian dari jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Pada Konferensi Internasional KUPI II di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah pada 24-26 November 2022, KUPI menyoroti kasus kekerasan terhadap perempuan.

KUPI menuturkan saat ini kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan, menyebabkan perempuan tersudut oleh kehamilan, stigma, dan diskriminasi.

Oleh karena itu, KUPI mendesak pemerintah harus mengubah dan menyelaraskan regulasi yang berpihak pada keselamatan dan perlindungan jiwa perempuan dan mengimplementasikannya dengan konsisten.

Negara harus mempercepat penyusunan dan implementasi berbagai kebijakan yang terkait kelompok rentan kekerasan, terutama peraturan pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

"Jaringan KUPI perlu mengakselerasi gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan perspektif pengalaman perempuan dalam pandangan keagamaan," kata anggota KUPI, Rozikoh Sukardi melalui keterangan tertulisnya, Rabu (30/11/2022).

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menegaskan bahwa KUPI II ikut berperan penting dalam mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Apalagi pada tahun 2022 sampai hari ini, Komnas Perempuan telah menerima lebih dari 3.000 kasus kekerasan terhadap perempuan. Lebih dari setengahnya adalah kekerasan seksual.

“Upaya KUPI ini menjadi sangat penting, meski tantangannya banyak,” kata Andy melalui keterangan tertulisnya dikutip Jumat (9/12/2022).

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan pada 2021, pihaknya menerima aduan sebanyak 2.527 kasus kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga ataupun ranah personal (RP). KDRT selalu berada di atas angka 70%, bahkan menjadi urutan pertama dalam seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan di Tanah Air.

Sementara itu Komnas Perempuan juga mencatat terdapat 24.786 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2016 hingga 2020. Namun, kurang dari 30% yang diproses secara hukum.

Kemudian data Komnas Perempuan menunjukkan kurang dari 7 persen dari 128 kebijakan di tingkat daerah yang berbicara mengenai layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan. Salah satunya soal visum bagi korban kekerasan seksual gratis.

Berdasarkan riset yang dilakukan Tirto terhadap 1.500 orang pada 18 November 2022 di seluruh Indonesia, mayoritas responden menjawab tidak pernah melaporkan kasus kekerasan seksual (61,34 persen), baik yang dialami sendiri maupun orang dekat.

Andy menyebutkan bahwa akar dari kekerasan terhadap perempuan adalah diskriminasi berbasis gender. Hal itu menjadi salah satu faktor yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua, yang berada di bawah laki-laki.

Oleh sebab itu, Andy meminta kepada para ulama perempuan terus mengkampanyekan keadilan dan kesetaraan.

“Karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif,” jelasnya.

Menurutnya, sejak kongres pertama, KUPI terus mengupayakan kepemimpinan perempuan yang setara dengan laki-laki dalam berbagai isu.

Sementara itu Staf Khusus Menteri, Ulfah Mawardi berharap melalui perhelatan KUPI ke-II ini para Ulama Perempuan yang hadir dapat membantu mencarikan solusi atas persoalan pemberdayaan perempuan serta persoalan perlindungan perempuan dan anak dari diskriminasi dan kekerasan.

Titi menuturkan, KemenPPPA mengharapkan KUPI dapat berperan sebagai pembaharu dalam cara berpikir untuk penyelesaian masalah kesetaraan gender berdasarkan pada Ketuhanan, keimanan, konstitusi.

"Menjadi pelopor pembangunan pemberdayaan perempuan di berbagai tingkatan dan komunikator antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat di tingkat akar rumput," kata Titi.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri