tirto.id - Pada 1931, Belanda ikut serta dalam Exposition Coloniale International (ECI) di Paris, Perancis. Pameran kolonial skala global itu dibuka pada 6 Mei 1931 dan berlangsung hingga November 1931. Bertempat di Bois de Vincennes, tepi timur Paris, Komite Belanda membangun sebuah anjungan raksasa seluas 32.000 meter persegi.
Fasad anjungan itu dibangun dengan memadukan langgam arsitektur Barat dan Nusantara. Menurut Marieke Bloembergen, itu adalah suatu upaya pencitraan kolonial bahwa Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda adalah satu kesatuan. Namun, keikutsertaan Belanda dalam ECI sebenarnya tak lebih dari sekadar arogansi dan kenaifan khas penjajah.
“Dalam suasana tak nyaman yang mendominasi politik kolonial pada dekade 1920-an, keikutsertaan Belanda dalam ECI di Paris lebih tampak sebagai keterpaksaan, arogansi, dan kenaifan untuk mempertahankan kesan hubungan kolonial yang erat,” tulis Bloembergen dalam Colonial Spectacles: The Netherlands and the Dutch East Indies at the World Exhibitions 1880-1931 (2006).
Namun bagaimana pun, Komite Belanda toh jorjoran juga dalam ECI. Anjungan raksasa bikinan mereka tak sekadar memajang hasil-hasil modernisasi politik dan ekonomi Barat di tanah jajahan, tapi juga segala macam benda-benda hasil budaya Nusantara.
Benda-benda budaya itu adalah pinjaman dari Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Bataviaasch Genootschap—Masyarakat Seni dan Sains Batavia). Di antara benda budaya yang diboyong itu adalah sebuah arca Buddha kuno nan istimewa yang terbuat dari perunggu. Ialah yang lazim dikenal sebagai arca Buddha Dipangkara.
Baru dua bulan anjungan dibuka, petaka besar menghampiri. Pada 28 Juni 1931, anjungan kolonial Belanda itu terbakar tanpa diketahui apa penyebabnya. Si jago merah melalap habis bangunan anjungan dan tentu saja merusak banyak koleksi purbakala yang dipamerkan, termasuk arca Buddha perunggu.
Api membuat arca itu kehilangan bagian kakinya hingga sebatas paha. Ia dan beberapa koleksi yang berhasil diselamatkan lalu dikembalikan ke Hindia Belanda tiga bulan setelah kejadian nahas itu.
Arkeolog F.D.K. Bosch dalam tulisannya yang terbit dalam Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde (1931) amat menyesalkan petaka itu.
“Seseorang yang melihat kerusakan yang ditimbulkan akan menyadari bahwa ini merupakan sebuah kerugian dan koleksi purbakala yang telah rusak itu tidak mungkin tergantikan,” tulisnya.
Bosch benar belaka, terlebih arca Buddha Dipangkara itu memang benar-benar tak ada duanya.
Pelindung Para Pelaut
Pertanyaan yang kemudian terbit, mengapa ia tak tergantikan? Jawaban mudahnya karena arca Buddha Dipangkara itu memang hanya satu-satunya di Indonesia.
Lebih tepatnya, ia merupakan satu-satunya arca Buddha yang terbuat dari perunggu yang ditemukan di Indonesia. Tak hanya itu, arca Buddha Dipangkara sejauh ini merupakan arca Buddha tertua di Indonesia. Menurut taksiran para arkeolog, arca ini paling tidak berasal dari abad ke-2 Masehi.
"Patung Buddha Dipangkara berbahan baku perunggu ini merupakan koleksi tertua di antara 141 ribu koleksi patung di Museum Nasional," kata Edukator Museum Nasional Asep Firman Yahdiana seperti dikutip laman Kompas.com.
Arca ini juga dikenal sebagai arca Buddha Sampaga, sesuai dengan nama kecamatan di Mamuju, Sulawesi Barat, tempat ia ditemukan. Jessy Oey-Blom dalam artikel “Arca Buddha Perunggu dari Sulawesi” yang terbit dalam jurnal Amerta (Vol. 1, 1985) menyebut arca Buddha Dipangkara itu ditemukan secara tak sengaja pada 1921.
“Arca itu didapatkan pada kaki sebuah bukit di tebing kanan Sungai Karama dekat Sikendeng pada waktu orang membuat jalan,” tulis Oey-Blom.
Tak lama setelah itu, arca Buddha Dipangkara itu dibawa ke Makassar dan kemudian diboyong ke Batavia. Arca istimewa itu lantas disimpan di museum milik Bataviaasch Genootschap yang sekarang menjadi Museum Nasional Indonesia.
Semula, arca Buddha Dipangkara punya tinggi 75 cm. Ia menggambarkan sosok Buddha berjubah dalam posisi berdiri. Kedua tangannya sudah tidak ada ketika ditemukan, tapi bukan karena patah. Menurut Oey-Blom, tangan yang hilang itu mungkin merupakan fragmen tersendiri.
Meski begitu, para arkeolog berdasarkan gesturnya menaksir tangan kanan sang Buddha kemungkinan besar menampakkan sikap tanganabhaya mudra—menghalau sumber ketakutan. Dari taksiran itulah, jenis arca Buddha itu teridentifikasi.
“Jenis arca itu ialah yang sering dinamakan Dipangkara, pelindung para pelaut,” tulis Oey-Blom.
Dari ikonografi yang kasat mata, arca ini kemungkinan besar bukanlah buatan orang Nusantara pada zamannya, melainkan hasil kebudayaan India Selatan.
“Arca Sempaga ini berasal dari seni Amarawati yang rupanya dibuat di sana (India), kemudian dibawa ke Indonesia. Mungkin, sebagai barang dagangan atau sebagai barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha,” demikian menurut para penyusun Sejarah Nasional Indonesia (Edisi Pemutakhiran) Jilid II:Zaman Kuno (2010).
Sementara itu dalam buku Kesenian Indonesia Purba: Zaman Djawa Tengah dan Djawa Timur (1972), disebutkan bahwa arca Buddha Dipangkara lazim dijadikan azimat oleh para pelaut. Mereka biasanya meletakkan arca itu di haluan kapalnya ketika berlayar.
Kontak Maritim dengan India
Penemuan arca perunggu Buddha Dipangkara itu lantas memunculkan hipotesis adanya bangunan bercorak Buddha di sekitar lokasi itu. Maka penggalian lanjutan pun dilakukan. Namun, tidak ada temuan arca lain atau temuan benda yang berkaitan dengan tinggalan agama Buddha.
Para penggali justru menemukan hal lain. Seturut laporan Bosch dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde (1933), peneliti menemukan alat-alat batu dan pecahan tembikar yang menunjukkan ciri-ciri zaman Neolitikum Akhir. Temuan-temuan macam itu diketahui juga terdapat di situs Kalumpang yang lokasinya tak jauh dari Sampaga.
Temuan tersebut membuktikan bahwa wilayah tersebut pernah menjadi suatu daerah hunian pada zaman yang lebih tua. Menurut ahli sejarah kuno George Coedes, hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat di sana mungkin masih berperadaban Neolitik Akhir ketika mulai berkontak dengan orang dan kebudayaan India. Dan ternyata itu cukup umum di Asia Tenggara.
“Hampir selalu tidak ada masa peralihan antara Neolitik Akhir dan peninggalan-peninggalan Hindu-Buddha awal. Di pantai Vietnam dan di Kamboja tidak ada apa-apa antara situs-situs Neolitik di Sa Huynh, di Samraong Sean, dan megalit di Xuan Loc di satu pihak dan monumen-monumen awal di Champa dan di Kamboja di pihak lain,” tulis Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (2017).
Jadi, tidaklah berlebihan jika kita menyebut arca Buddha Dipangkara itu sebagai salah satu tengara paling awal persentuhan bangsa-bangsa Nusantara dengan orang dan budaya India.
Oey-Blom menengarai kegiatan perdagangan maritimlah yang memungkinkan arca Buddha Dipangkara dari India itu sampai terdampar di Sulawesi. Lokasi Sampaga sendiri memang berada di pinggir Selat Sulawesi yang menjadi salah satu pintu masuk para pedagang untuk menuju ke wilayah Indonesia bagian timur—tempat asal komoditas rempah-rempah.
“Mungkin terbawa oleh sebuah kapal yang tersesat, kemudian entah mendapat kecelakaan entah bagaimana, sampai ke tempat itu,” jelas Oey-Blom.
Kontak Nusantara dengan kebudayaan India melalui perdagangan maritim adalah pengetahuan yang jamak. Hal itu telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak lama. Namun, tetap saja ada hal-hal yang luput dibahas. Salah satunya: apa yang membuat orang-orang India menyeberangi lautan ke Nusantara?
Rempah-rempah adalah jawaban yang lazim disebut sebagai pemicunya. Itu benar, tapi jelas tak hanya itu dan arca Buddha Dipangkara bisa memberi kita petunjuk tersirat.
Menurut Coedes, salah satu faktor pendorong orang India melakukan pelayaran jarak jauh ke Nusantara adalah perkembangan Buddhisme. Semula, bangsa-bangsa India penganut Brahmanisme menganggap pelayaran menyeberangi “lautan hitam” dan berkontak dengan “orang barbar” adalah perbuatan cemar. Itu sebaiknya dihindari jika bukan untuk alasan penaklukan dan cari untung.
Lalu, muncullah Buddhisme yang membawa semangat egalitarianisme serta membebaskan penganutnya dari konservatisme kasta dan ide kemurnian ras. Inspirasi besar juga datang dari karya-karya sastra bernapas Buddhisme yang memuat banyak kisah tentang petualangan laut dan pelayaran.
Kisah tentang Buddha Dipangkara sang pereda ombak, misalnya, bisa kita dapati dalam kitab sastra Jataka. Maka tak mengherankan arcanya kerap dibawa pelaut sebagai pelindung. Menurut Coedes pun, peninggalan-peninggalan India tertua di seberang lautan salah satunya adalah arca-arca Buddha Dipangkara.
“Peran Buddhisme mustahil diingkari: rupa-rupanya jalan terbuka olehnya berkat kecenderungannya menyiarkan agamanya dan tiadanya prasangka rasial,” tulis Coedes.
Demikianlah Buddha Dipangkara menjadi “penyerta” dalam kontak-kontak awal masyarakat Nusantara dan India. Ia menjadi penyaksi perubahan besar dalam kepulauan ini yang akan terjadi beberapa abad kemudian.
Maka sungguh amat disayangkan artefak istimewa nan tak tergantikan itu mesti menghadapi nasib nahas sebagai penyaksi dua tragedi.
Usai dipamerkan dan terbakar dalam ECI 1931, arca Buddha Dipangkara dari Sampaga kembali ke Indonesia dalam keadaan tak utuh. Bagian kakinya lebur dan sekarang tingginya tersisa 58 cm. Setidaknya, kita masih bisa menemuinya di Museum Nasional Indonesia.
Hingga musibah kebakaran kembali menghampirinya—juga sekitar 800-an koleksi Museum Nasional lain yang dipamerkan di bagian belakang Gedung A—pada Sabtu, 16 September 2023 lalu.
Sampai hari ini, kita belum tahu nasib arca Buddha Dipangkara setelah musibah itu. Yang jelas, Galeri Perunggu tempatnya dipemerkan runtuh akibat kebakaran. Besar atau kecil, ia kemungkinan besar tetap terdampak.
Tentu kita berharap ia selamat dan pengelola Museum Nasional Indonesia musti segera berbenah agar musibah semacam itu tak terulang.
==========
Mesin Waktuadalah program terbaru di kanal Mild Report Tirto.id yang bertitik kisar pada arkeologi dan sejarah. Berbeda dari naskah-naskah sejarah kami yang membahas peristiwa atau masa tertentu, program ini menjadikan artefak koleksi museum sebagai titik tolak untuk membaca perjalanan sejarah Indonesia. Melalui program ini, kami membawa pembaca menelusuri Museum Nasional Indonesia dan meneroka cerita serta menggali pengetahuan dari benda-benda bersejarah yang menjadi koleksinya.
Setiap minggu, program Mesin Waktu akan terbit setiap Jumat di kanal Mild Report.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi