Menuju konten utama
Mesin Waktu

Nekara Makalamau, Tengara Era Protosejarah dari Pulau Sangeang

Nekara merupakan salah satu artefak perunggu yang luas penyebarannya di Indonesia. Jadi saksi Nusantara menyongsong era sejarah.

Nekara Makalamau, Tengara Era Protosejarah dari Pulau Sangeang
Header Nekara Makalamau. tirto.id/Ecun

tirto.id - Mari ikut bersama Tirto.id melakukan perjalanan ke masa lalu. Itu bukanlah sebuah khayalan, kita memang bisa bertualang ke masa lalu. Dan kabar baiknya, berkat adanya “mesin waktu”, hal itu bukanlah perkara sulit.

Jangan dulu membayangkan mesin waktu itu sebagai sebuah komputer super yang tersambung ke berbagai peranti dan gawai elektronik super canggih. Pokoknya, ia tak seperti yang digambarkan di film-film. Mesin waktu kita jauh lebih bersahaja, tapi tak kurang kerennya: museum.

Museum bukan sekadar ruang penyimpanan artefak yang dibuka untuk publik. Benda-benda purbakala itu ada di sana bukan sekadar untuk dipamerkan karena ia unik, menarik, mengerikan, cantik, indah, atau aneh.

Ketika bertemu sebuah arca, kita bisa bilang, “Cantik sekali arca ini. Pahatannya sangat halus dan detail.” Lalu setelah mengamatinya dengan seksama, terbitlah kekaguman kita. “Wow, betapa terampil dan artistiknya nenek moyang kita.”

Lebih dari itu, meminjam pendapat sejarawan publik Faye Sayer dalam Sejarah Publik: Sebuah Panduan Praktis (2017), museum adalah tempat kisah-kisah sejarah diciptakan dan dikomunikasikan pada publik. Ia mengomunikasikan sejarah melalui artefak kesejarahan yang menjadi koleksinya.

Organisasi inilah [museum] yang pertama kali mengubah publik dari konsumen sejarah yang pasif menjadi aktif dalam ‘menginterpretasikan’ masa lampau,” tulis Sayer.

Demikianlah museum menjelma mesin waktu. Benda-benda purbakala di museum serupa peranti pembuka portal waktu ke masa lalu. Setiap artefak punya kisahnya masing-masing dan karenanya kau jadi punya banyak sekali kesempatan melakukan penjelajahan waktu. Kau bisa memulai petualanganmu ke suatu masa yang spesifik, kembali lagi, dan memulai petualangan lainnya kemudian. Lagi dan lagi.

Dan yang lebih penting dari petualangan itu—tapi jarang disadari—adalah bahwa benda-benda purbakala itu dapat memberi kita pengertian lebih mendalam tentang siapa kita. Perkembangan sejarah macam apa yang membentuk masyarakat Nusantara di masa lalu hingga menjadi seperti adanya kini, Indonesia. Pun demikian sebaliknya, bagaimana manusia membentuk peradaban di Kepulauan Nusantara.

Maka ketika kau kembali, kau tak sekadar mengalami petualangan, tapi juga menyerap pengetahuan dan pengertian baru. Lalu dengan menghubungkan rangkaian kisah dari benda-benda purbakala itu, kau akan mendapatkan sebuah peta besar sejarah Tanah Air yang kini kita sebut Indonesia.

Bagaimana, kau mulai tertarik bertualang di museum?

Jika kau bingung untuk memulai dari mana, kau bisa mencoba memulainya dari Museum Nasional Indonesia, Jakarta, bersama kami dalam program Mesin Waktu.

Nekara Makalamau

Menurut sejarawan, suatu masyarakat memulai periode sejarahnya ketika ia mengenal aksara sehingga mampu mewariskan kisahnya pada generasi kemudian. Karenanya, periode sejarah Kepulauan Nusantara diperkirakan mulai bergulir sekira abad ke-5 Masehi, saat masyarakat Kutai Kuno memahatkan kisah kebesaran rajanya dalam tujuh buah tugu prasasti.

Namun, kisah kita sebagai masyarakat Nusantara sebenarnya telah dimulai jauh sebelum itu. Sebelum abad Masehi bergulir, nenek moyang kita memang belum membuat catatan tertulis. Namun, kita tetap bisa menggali jejak kehidupan mereka melalui apa-apa yang mereka buat, seperti kapak genggam dari batu, kalung manik-manik, tembikar, atau genderang perunggu kuno yang disebut nekara.

Di museum yang juga lazim disebut Museum Gajah ini, kau bisa menemukan beberapa nekara itu. Salah satu yang terbesar, terindah, dan terkenal adalah nekara yang berasal dari Sangeang, sebuah pulau gunung api di sebelah timur laut Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Masyarakat setempat dulu menyebut nekara itu makalamau. Seturut H.R. van Heekeren dalam “Nekara-nekara Perunggu” (1985), kabar pertama tentang keberadaan nekara makalamau diungkap oleh Kontrolir Bima S. Kortleven pada 1937. Nekara-nekara itu sudah tidak utuh bentuknya, tapi masih terlihat jelas pola hiasannya yang raya memenuhi sekujur tubuhnya.

Saat itu, disebut ada lima nekara dan fragmen bidang pukul dari sebuah nekara lain.

Tiga buah di antaranya terdapat di samping beberapa kuburan kuno di dekat suatu kampung tua,” tulis Heekeren.

Bagi masyarakat tradisional setempat, nekara makalamau punya fungsi spiritual sebagai sarana pemanggil hujan. Hal itu agaknya bisa juga ditengarai dari adanya figur katak di pinggir bidang pukul yang berasosiasi dengan anasir air.

Nekara Perunggu

Salah satu nekara Perunggu koleksi Museum Nasional Indonesia. tirto.id/Fadrik A. Firdausi

Masyarakat Pulau Sangeang percaya bahwa hujan badai akan datang jika genderang perunggu itu ditabuh. Hiasan katak yang ditempatkan di sekitar timpani serta suara yang dihasilkan oleh nekara itu memiliki khasiat magis yang akan mendatangkan hujan dan menjamin kesuburan tanah,” tulis Leonard Yuzon Andaya dalam studi “The Social Value of Elephant Tusks and Bronze Drums among Certain Societies in Eastern Indonesia” (2016).

Meski demikian, nekara makalamau bisa dibilang ditemukan tanpa konteks arkeologis yang jelas. Terutama, jika menilik ornamen yang menghiasi sekujur tubuh nekara itu. Selain pola geometris, unsur alam, perahu, sulur-suluran, atau manusia, nekara makalamau juga dihiasi beberapa motif hewan. Di antaranya adalah gajah dan harimau.

Keduanya terang bukanlah satwa yang bisa dijumpai di Pulau Sangeang, pun Sumbawa yang terdekat darinya atau bahkan Indonesia bagian timur. Tak sekadar unik, motif gajah dan harimau itu sebenarnya juga merupakan petunjuk penting tentang asal-usul genderang perunggu itu. Bahwa nekara-nekara itu hampir pastilah berasal dari tempat lain.

Lantas, dari mana sebenarnya ia berasal dan siapa pembuatnya? Dan bagaimana pula nekara-nekara itu bisa berada di Pulau Sangeang?

Nekara Perunggu

Figur katak menjadi salah satu hiasan khas pada nekara. tirto.id/Fadrik A. Firdausi

Tengara Protosejarah Nusantara

Untuk menelisik asal-usul nekara makalamau, lingkup jelajah kita mesti diperluas. Dalam konteks besar Indonesia, nekara makalamau sebenarnya hanyalah satu di antara sekian banyak nekara yang ditemukan. Dan lagi, nekara merupakan salah satu objek purbakala yang sebarannya amat luas, tak hanya di Indonesia, tapi juga di lingkup Asia Tenggara.

Di Indonesia saja, nekara ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Maluku. Situs penemuan nekara paling timur di Indonesia adalah Kepulauan Kei.

Uniknya, menurut Heekeren, nekara-nekara terindah umumnya berasal dari pulau-pulau di sebelah timur Indonesia.

“Betul juga Museum Jakarta [Museum Nasional Indonesia] mempunyai kira-kira 12 buah nekara atau bagian nekara dari Pulau Jawa antara lain beberapa buah yang indah, tetapi tak bisa mengimbangi nekara-nekara yang misalnya dari pulau kecil Sangeang atau dari Selayar,” tulis Heekeren.

Nekara-nekara itu pun sebenarnya merupakan satu dari sekian hasil-hasil keterampilan masyarakat praaksara dari Era Perunggu. Di antara tinggalan-tinggalan purbakala dari era ini, nekara memang yang paling menonjol. Ia telah menjadi objek penelitian banyak ahli prasejarah sejak akhir abad ke-19.

Infografik Nekara Makalamau

Infografik Nekara Makalamau. tirto.id/Ecun

Dalam konteks Asia Tenggara, keterampilan membuat alat-alat perunggu itu diperkirakan bermula di Semenanjung Indocina. Lebih persisnya lagi, ia berkembang di sekitar Vietnam bagian utara. Seturut studi arkeolog Peter Bellwood, masyarakat di sana telah menguasai teknik pengolahan perunggu sejak sekira pertengahan milenium kedua Sebelum Masehi.

Lalu, di antara 500 hingga 300 SM, di Dong Son, Vietnam, muncullah masyarakat yang terampil mengolah perunggu yang hasil budaya dan pengaruhnya tersebar sampai ke Nusantara. Nekara yang tengah kita bahas ini adalah salah satunya.

“Himpunan-himpunan tinggalan arkeologis Dong Son sangat penting karena benda-benda logam paling awal yang ditemukan di Kepulauan Indo-Malaysia pada umumnya bercorak Dong Son, bukannya diilhami benda logam dari India atau Cina,” tulis Bellwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (2000).

Bellwood menyinggung India dan Tiongkok lantaran lini masa persebaran benda-benda bercorak Dong Son bertumpang tindih dengan berkembangnya kontak dengan kedua pusat peradaban raksasa itu. Kadang, ia juga bertepatan dengan waktu mekarnya kerajaan-kerajaan bercorak India di Asia Tenggara.

Informasi ini merupakan petunjuk penting untuk kita menjawab pertanyaan bagaimana nekara-nekara Dong Son bisa tersebar luas di Nusantara, bahkan hingga ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia.

Mari kita simak pendapat Bellwood dalam terbitannya yang lain. Dalam “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion, and Transformation” yang terhimpun dalam bunga rampai The Austronesian: Historical and Comparative Perspectives (2006), Bellwood menyebut bahwa, “Pengenalan metalurgi mungkin hanyalah efek samping dari suatu perkembangan yang jauh lebih besar, yaitu terhubungnya sebagian Kepulauan Asia Tenggara ke dalam jaringan perdagangan Dunia Lama.”

Nekara-nekara bercorak Dong Son seperti makalamau dari Sangeang adalah tengara dari tahap akhir transformasi masyarakat prasejarah Nusantara. Ia adalah salah satu “saksi” masyarakat Nusantara yang tengah menyongsong abad sejarahnya dan terkoneksi dengan lingkup kultural Asia Tenggara. Lini masa ini oleh para ahli disebut Era Protosejarah.

Menurut perkiraan Robert von Heine-Geldern dalam “Prehistoric Research in the Netherlands Indies” (1945), kebudayaan perunggu Dong Son mulai diperkenalkan ke Nusantara oleh nenek moyang Bangsa Annam yang mendiami Vietnam bagian utara dan Tonkin (Tiongkok). Atau mungkin juga oleh Bangsa Cham yang juga penutur bahasa Austronesia seperti halnya orang Nusantara.

Menurut saya, dan saya masih berpikir demikian, budaya ini dibawa masuk ke Nusantara bukan oleh migrasi etnis secara besar-besaran, melainkan oleh sekelompok kecil pedagang dan kolonis yang lambat laun terserap ke dalam masyarakat lokal,” tulis von Heine-Geldern.

Nekara Perunggu

Motif matahari atau bintang yang selalu menjadi hiasan khas pada bidang pukul nekara, contohnya pada sebuah nekara yang ditemukan di Semarang dan kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia. tirto.id/Fadrik A. Firdausi

Meski begitu, persebaran nekara bercorak Dong Son di Kepulauan Nusantara kemungkinan besar tidak langsung terjadi selekas masa benda itu dibuat. Ia baru tersebar setelah jaringan perdagangan Asia Tenggara terbentuk pada awal tarikh Sejarah. Seperti penjelasan Bellwood sebelumnya, lini masa penyebaran beberapa nekara kadang bertepatan dengan mekarnya kerajaan-kerajaan bercorak India di bagian barat Nusantara.

Namun jangan salah terka, nekara-nekara itu kemungkinan bukanlah komoditas dagang—atau kalau pun demikian, ia adalah komoditas sangat istimewa.

Ketimbang barang dagangan eksotis nan rupawan, para arkeolog sepakat bahwa nekara perunggu lebih tepat dianggap sebagai alat diplomasi. Ia adalah semacam pengikat aliansi antara bangsawan atau pedagang asing dan elite Nusantara.

Andaya dengan mengutip pendapat ahli purbakala Ambra Calo menyebut bahwa para pedagang dari Vietnam mulai membawa nekara perunggu ke rute perdagangan Asia Tenggara sekira abad pertama Masehi. Perjalanan pertama nekara-nekara itu terhenti di bagian barat kepulauan kita.

Menurut Calo, persebaran berikutnya dimulai antara akhir abad ke-3 hingga ke-5 Masehi. Ia di bawa dari lokasi produksinya di Vietnam bagian utara dan Tiongkok Barat Daya melalui laut ke Kalimantan bagian utara, Sulu, dan kemudian ke Laut Sulawesi dan Maluku. Dari laut-laut terakhir inilah, nekara-nekara itu masuk ke dalam sistem perdagangan lokal dan perjalanan mereka berlanjut ke tangan para pedagang lokal,” tulis Andaya dalam studinya.

Agaknya, demikianlah penjelasan soal bagaimana nekara makalamau bisa sampai di Pulau Sangeang.

Terlepas dari fungsi asali nekara bagi pembuatnya di tempat asalnya, nekara-nekara yang sampai ke Indonesia—terutama di daerah Maluku—umumnya bakal menjalani “kehidupan baru”. Menurut studi Marlon Ririmasse dari Balai Arkeologi Ambon, sebagian komunitas tradisional di Maluku telah melekatkan mitos-mitos terkait eksistensi nekara di wilayahnya. Sebagian lagi menjadikannya regalia atau benda keramat, bahkan hingga kini.

Hal yang pasti, adalah dari sumber-sumber historis dinyatakan bahwa nekara perunggu di Maluku memang mendapat tempat yang penting dalam konstruksi sosial masyarakat tradisional di wilayah ini pada masa lalu dan masa kini. Seluruh sumber-sumber sejarah yang menjadi rujukan kiranya menyebutkan peran nekara perunggu sebagai pusaka yang dikeramatkan oleh komunitas di desa di mana nekara tersebut disimpan,” tulis Ririmasse dalam “Biografi Budaya Bendawi: Diaspora Nekara Perunggu di Kepulauan Maluku (2015).

Dan seiring waktu bergulir, masyarakat Nusantara akhirnya juga mempelajari teknik pembuatan nekara—juga benda-benda perunggu lain. Beberapa temuan nekara dan variannya, seperti nekara tipe Pejeng dan moko, boleh jadi dibuat di kepulauan ini.

Di masa itu, terlepas dari pengaruh budaya dari seberang lautan, masyarakat di Nusantara sudah pasti punya pencapaian-pencapaian kebudayaan tertentu yang otentik. Namun, nenek moyang kita toh tidak lantas menutup diri. Mereka berkembang melalui proses belajar dan membuka diri pada anasir-anasir budaya dari luar.

Dan hasilnya adalah makin lesat dan kayanya perkembangan kebudayaan Nusantara hingga seperti yang kita lihat kini. Demikianlah, masa lalu dan kekinian kita saling terhubung.

==========

Mesin Waktu adalah program terbaru di kanal Mild Report Tirto.id yang bertitik kisar pada arkeologi dan sejarah. Berbeda dari naskah-naskah sejarah kami yang membahas peristiwa atau masa tertentu, program ini menjadikan artefak koleksi museum sebagai titik tolak untuk membaca perjalanan sejarah Indonesia. Melalui program ini, kami membawa pembaca menelusuri Museum Nasional Indonesia dan meneroka cerita serta menggali pengetahuan dari benda-benda bersejarah yang menjadi koleksinya.

Setiap minggu, program Mesin Waktu akan terbit setiap Jumat di kanal Mild Report.

Baca juga artikel terkait MESIN WAKTU atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi