tirto.id - Khmer sebagai suatu entitas politik di Asia Tenggara mulai muncul ke permukaan sejarah pada periode awal Masehi. Tambo-tambo Tiongkok Kuno menyebut Kerajaan Fu-Nan (konon berasal dari pelafalan Khmer Kuno untuk phnom–yang berarti “gunung”) sebagai kerajaan adidaya yang berlokasi di mulut sungai raksasa Mekong.
Kerajaan inilah yang kemudian menjadi embrio bagi kerajaan-kerajaan lain di sekitar Asia Tenggara Daratan dan kemudian melahirkan negara Kamboja, Laos, Thailand, dan Bangsa Champa di Vietnam Selatan.
Memasuki abad ke-5 sampai dengan ke-6, muncul Dinasti Kambu di tanah Khmer dan menjadi entitas politik perintis di sekitar Delta Sungai Mekong. Dinasti Kambu, sebagaimana disebut oleh G. Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (2017), didirikan oleh seorang agamawan dari India yang bermigrasi ke wilayah Asia Tenggara.
Masyarakat Khmer kemungkinan telah mengalami indianisasi sejak awal abad Masehi. Lebih awal ketimbang masyarakat Kepulauan Nusantara. Namun, kerajaan-kerajaan Nusantara rupanya mampu menyaingi wibawa politik Khmer di Asia Tenggara. Belakangan, masyarakat Nusantara juga mampu memengaruhi corak budaya orang Khmer.
Ada kalanya kedua entitas politik serumpun Austronesia ini mengalami hubungan yang mesra. Namun, tidak jarang pula konflik mewarnai hubungan keduanya. Hubungan antara Nusantara dan Khmer dalam sejarah kuno setidaknya bisa ditelusuri sejak abad ke-10 sampai dengan ke-14 M.
Pangeran Khmer di Tanah Jawa
Kronik Dinasti Song mencatat bahwa pada suatu masa, negeri Khmer sedang dilanda konflik. Negeri Chen La—cara orang Tionghoa melafalkan nama negeri Khmer—sedang terpecah menjadi dua faksi, Chen La Darat dan Chen La Laut. Konflik internal ini tentu saja turut melemahkan pertahanan kerajaan dan hal ini disadari oleh Dinasti Sailendra di Jawa.
Armada-armada Jawa yang sangat aktif lalu-lalang di Laut Tiongkok Selatan hingga Negeri Tirai Bambu melihat potensi besar di tengah kesemrawutan Khmer itu. Sejak lama, kapal-kapal Jawa telah menjadikan pelabuhan Khmer sebagai tempat singgah. Karenanya, mereka punya cukup wawasan akan kondisi kerajaan itu.
Dinasti Sailendra lantas memanfaatkan kesempatan itu dan melancarkan invasi ke negeri itu di pengujung abad ke-8 sampai dengan awal abad ke-9. Mereka dengan gemilang berhasil menghancurkan kota-kota pesisir Khmer. Begitulah kira-kira gambaran keganasan pasukan Jawa di daratan Khmer menurut studi Lawrence P. Briggs dalam “The Ancient Khmer Empire” (1951).
Invasi Dinasti Sailendra juga berdampak pada kehidupan bangsawan Khmer. Beberapa anggota keluarga Kerajaan Khmer tertangkap dan menjadi tahanan di Jawa.
Salah satu bangsawan Khmer yang pernah merasai pahitnya invasi itu adalah Pangeran Jayawarman. Riwayat hidupnya, menurut Coedes, bisa dijumpai dalam Prasasti Sdok Kok Thom yang bertarikh 1052 M. Prasasti berbahasa Khmer ini menceritakan kepulangan Jayawarman ke tanah Khmer setelah lama hidup di Bumi Jawa.
Sekembalinya di Khmer, dia mendeklarasikan diri sebagai raja Khmer dan menahbiskan diri sebagai perwujudan Dewa Siwa di Phnom (Gunung) Kulen. Menurut dugaan Coedes, Jayawarman berhasil lolos dari kurungan Raja Jawa setelah terjadi pergolakan politik di awal abad ke-9 M.
Eksistensi orang-orang Khmer di Jawa juga tercatat dalam Prasasti Wurudu Kidul yang berangka tahun 922 M. Prasasti logam beraksara Jawa Kuno itu berturut-turut dibaca dan ditelaah oleh W.F. Stutterheim, L.Ch. Damais, dan terakhir Boechari.
Dalam “Jayapattra: Sekelumit tentang Pelaksanaan Hukum dalam Masyarakat Jawa Kuno” (2012), Boechari membeberkan bahwa isi prasasti itu berkenaan dengan putusan hukum perpajakan terhadap seseorang bernama Sang Dhanadi yang dituding sebagai orang Khmer. Padahal, dia adalah orang Jawa tulen.
Raja sampai harus mengirimkan sebuah tim untuk menginvestigasi asal-usul Sang Dhanadi. Peristiwa ini jadi petunjuk bahwa orang Jawa pada periode tersebut memang cukup mengenal karakter orang Khmer.
Bahkan, sebagian orang Khmer telah menetap di Jawa pada era tersebut. Menurut M. Alnoza dalam “Orang Khmer di Jawa pada Masa Hindu-Buddha (Abad ke-9–15 M): Eksistensinya dipandang dari Teori Diaspora” (2014) menyebut penguasa Jawa Kuno menggolongkan mereka sebagai wargga kilalan alias orang asing yang dikenai pajak. Selain orang Khmer, wargga kilalan juga mencakup orang India, Tiongkok, Siam, dan Birma.
Imigran Khmer ini masih bisa pula dilacak eksistensinya di zaman pemerintahan Airlangga di abad ke-11 sampai zaman Majapahit di abad ke-14. Pertukaran budaya antara Khmer dan Jawa dalam hal ini bisa dijumpai pada peninggalan masa Majapahit di Sidoarjo, berupa Candi Pari yang bergaya Khmer.
Manuver Politik
Suryawarman I
Kerajaan Khmer juga pernah bikin monarki di Kepulauan Nusantara porak-poranda. Tokoh sentralnya adalah Suryawarman I yang berkuasa sekitar abad ke-11. Perannya terlihat usai Kedatuan Sriwijaya berhasil menaklukan daerah Thailand Selatan. Hal ini tercatat dalam Prasasti Ligor A.
Menurut Coedes, keberhasilan Sriwijaya itu lantas membuatRaja Suryawarman I ketar-ketir. Dia agaknya khawatir orang-orang kepulauan bakal menginvasi kerajaannya lagi seperti dua abad sebelumnya.
Bagaimana tidak? Teluk Siam yang saat itu berada di bawah naungan Khmer hanya berbatas sejengkal dari Sriwijaya yang terkenal ganas di Tanah Genting Kra. Sadar bahwa Khmer tak bisa menghadapi Sriwijaya sendirian, Suryawarman I kemudian mencari kawan bersandar.
Dia lalu melihat peluang pada Kerajaan Chola. Saat itu, Kerajaan yang berlokasi di selatan India ini sedang gencar-gencarnya berekspansi, bahkan sampai menyeberang lautan ke Sri Lanka.
Suryawarman I menyambut peluang ini dengan mengirim utusan dan hadiah kereta kencana yang indah kepada Raja Kerajaan Chola Rajendra Chola I. Selagi melobi pihak Chola, Suryawarman I juga membujuk vasal-vasal Sriwijaya di perbatasan untuk membelot.
Petunjuk-petunjuk atas manuver politik Suryawarman itu dapat digali dari Prasasti Grahi dari Chaiya (Thailand Selatan). Ia merupakan prasasti dari Sriwijaya yang ditulis dengan aksara dan bahasa Khmer. Keunikan lain Prasasti Grahi adalah pemuatan nama ini “Mauili” yang mirip dengan nama dinasti raja-raja Malayu di Jambi dan Dharmasraya (Sumatera Barat).
Dan peristiwa selebihnya adalah sejarah. Kerajaan Chola pada akhirnya memang menyerang Sriwijaya. Kerajaan maritim ini tak pernah pulih setelah itu dan mengalami disintegrasi besar-besaran. Datu Sriwijaya yang berkuasa saat itu, menurut Prasasti Tanjore, bahkan ditawan di Negeri India. Begitulah yang dijelaskan Nilakantha Sastri dalam The History of Sri Vijaya (1949).
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi