tirto.id - Kedatangan agamawan asing seperti kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia belakangan ini, bukan hal yang baru di Nusantara. Sejak awal masa sejarah, Nusantara telah kebanjiran agamawan asing yang gemar berkelana. Sebagian dari mereka ada yang hanya menumpang lewat, ada pula yang akhirnya menetap dan turut menyebarkan kepercayaannya.
Sebagian dari mereka bahkan ada yang menjadi guru besar di tempat-tempat yang mereka datangi atau malah menjadi pemrakarsa ajaran keagamaannya di tempat asal mereka setelah berguru kepada agamawan asli Nusantara.
Mereka ada juga akhirnya menjadi purohita atau pendeta kerajaan, karena dianggap mumpuni oleh raja-raja leluhur Nusantara di masa lampau. Dalam sejarah Indonesia, rekaman soal kedatangan agamawan asing di periode kuno setidaknya mencakup tiga agama, yakni Hindu, Buddha, dan Islam.
Karena lazimnya kedatangan agamawan asing ini, masyarakat masa lampau bahkan cenderung memitoskan hal tersebut. Mitos yang dimaksud adalah cerita sosok Resi Agastya yang arcanya lazim ditemukan di beberapa pulau di Indonesia barat. Resi bertubuh tambun ini awalnya disinggung dalam epos besar Ramayana, yang menyebut Agastya sebagai salah satu murid paling berbakti dari Dewa Śiwa.
Mitologi Agastya yang panjang lebar disinggung epigraf dan filolog begawan R.Ng. Poerbatjaraka dalam Agastya di Nusantara (1992), menceritakan bagaimana kehebatan Agastya yang menduduki wilayah selatan India sebagai penyeimbang anak benua India yang ditakutkan terjungkal karena para dewa berkumpul di India utara (Gunung Himalaya).
Ia juga yang diceritakan meminum seluruh air laut—makanya perutnya buncit, sehingga para brahmana dari India bisa menyeberang ke Nusantara dan menebarkan ajaran Weda. Hal ini yang oleh para ahli dijadikan pijakan dalam memandang fenomena eksistensi arca Agastya di candi-candi Hindu di Indonesia, yang salah satunya dapat dijumpai di kompleks Candi Prambanan.
Yang Paling Awal, yang Mencatat Keberagaman
Kendati mitos kedatangan agamawan asing ke Nusantara berkembang dari Hindustan, catatan historis kedatangan agamawan asing tertua ke Indonesia justru bukan berasal dari sana.
Ialah Fa Xian, seorang pendeta Buddha dari Tiongkok, yang melaporkan paling awal akan kedatangannya ke Nusantara pada tahun 414. Sebagaimana dilampirkan oleh W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2018), Fa Xian awalnya melakukan muhibah menuju anak benua India untuk mempelajari agama Buddha. Setelah menyelesaikan peziarahannya ke beberapa pusat keagamaan di India, ia sempat bermukim di Sri Lanka untuk menunggu kapal menuju Tiongkok.
Ketika mendapatkan tumpangan untuk pulang ke Negeri Tirai Bambu, tiada disangka kapal Fa Xian malah terhempas badai di Lautan Hindia dan akhirnya terdampar di Pulau Jawa. Menurut pencatatannya, kemungkinan ia mendapat di negeri Tarumanagara (To-lo-mo) di Jawa bagian barat.
Di sana ia singgah sejenak dan sempat mengamati kondisi masyarakat yang menurutnya sangat plural. Ia menyebutkan bahwa walau sedikit, ajaran Buddha sudah berkembang di Tarumanagara ketika ia datang. Umumnya, masyarakat setempat menganut ajaran Weda dan sebagian lain masih mempertahankan agama lokal.
Pendeta Buddha dari Tiongkok lain yang pernah hadir setelah Fa Xian adalah Yijing (I’Tsing). Menurut sejarawan Jepang, J. Takakusu, dalam karya penerjemahannya atas Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Niefa Zhuan) (2014), titik tolak Yijing di Bumi Nusantara adalah Kedatuan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia bermukim di sana sampai sekitar abad ke-7.
Ia mengatakan bahwa orang-orang di Sumatra begitu andal dalam Pancavidya. Sedangkan dari segi bahasa Sanskerta, Yijing merekomendasikan agar para siswa Buddhis Tiongkok yang hendak berguru ke Nalanda di India agar belajar terlebih dahulu di Sriwijaya. Ia juga menambahkan bahwa di Jawa dan Sumatra, setidaknya terdapat empat ragam aliran Buddhisme berdasarkan kanon Tripitaka yang diacu.
Sebagian besar masyarakat Jawa dan Sumatra mengikuti ajaran dalam Arya-mulasarvastivada-nikaya, sedangkan yang lainnya merupakan pengikut Arya-sammitiya-nikaya. Di periode kedatangannya belakangan juga muncul pengikut pArya-mahasanghika- nikaya dan Arya-sthavira-nikaya.
Keterangan akan keberagaman keagamaan yang disampaikan dua biksu di atas, menunjukkan bahwa agamawan-agamawan asing tersebut kagum dengan situasi religiusitas leluhur Nusantara di masa lampau. Kekaguman ini kelak mengantarkan beberapa agamawan asing untuk berguru pada para agamawan asli Nusantara, salah satu kisah yang paling monumental adalah cerita tentang Atisa Dipamkara.
Dikisahkan oleh James B. Apple dalam Atisa Dipamkara: Illuminator of the Awakened Mind (2019), Atisa awalnya adalah seorang pendeta Buddha Vajrayana yang berasal dari Bangladesh. Sepanjang kariernya sebagai agamawan Buddhis—sampai sekarang dikenang sebagai salah satu pembawa ajaran Vajrayana ke Tibet, ia pernah berguru setidaknya di dua tempat.
Selain pernah berguru dan kemudian mengajar di Vikramaśila (Bihar, India), Atisa juga pernah berguru pada Dharmmakirti di Sumatra selama kurang lebih 12 tahun. Hal ini menunjukkan superioritas agamawan Nusantara kala itu, bahkan dari sudut pandang orang India sebagai masyarakat yang menciptakan teologi agama Hindu-Buddha.
Raja-raja Nusantara Kuno juga rupanya aktif mengundang para agamawan asing untuk memperluas dan memperdalam perspektif religius mereka. Salah satu yang paling awal dalam mengundang agamawan asing adalah Rakai Panangkaran dari Dinasti Śailendra.
Menurut M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010), berdasarkan Prasasti Kelurak (782 M) sang raja pendiri Candi Sewu dan Kalasan ini pernah mengundang seorang agamawan Buddhis dari Gaudidwipa (Bangladesh) dalam rangka menahbiskan arca Manjuśri di Candi Sewu.
Keberadaan sosok agamawan dari Bangladesh ini, entah kebetulan atau tidak, juga didukung eksistensinya melalui penemuan Prasasti Pasir Panjang di Kepulauan Riau. Di dalam prasasti, muncul pula keterangan seorang agamawan Bangladesh yang dari periodesasi prasastinya kurang lebih tidak berjauhan dengan Prasasti Kelurak.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi