tirto.id - Pada 1986, R.W. McRoberts menulis dan menerbitkan kajian berjudul “Notes on Events in Palembang 1389-1511: The Everlasting Colony” (1986). Dalam kajian yang terbit di Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society itu, McRoberts memertelakan hasil pembacaannya atas manuskrip Sejarah Melayu dan beberapa kronik Dinasti Ming yang terkait dengan sejarah Kota Palembang.
McRoberts menyebut bahwa kota yang pernah menjadi bagian dari emporium Sriwijaya ini sempat mengalami masa vacuum of power sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-16. Padahal sebelumnya, beberapa kekuatan politik pernah memperebutkan penguasaan atas Palembang.
McRoberts menjabarkan bagaimana Dinasti Ming, Kesultanan Malaka, dan Kerajaan Majapahit saling bersikutan untuk menanamkan pengaruh atas bekas kota Sriwijaya itu. Di antara ketiganya, Kesultanan Malaka disebutnya sebagai suksesor Sriwijaya yang paling sah atas penguasaan Palembang. Klaim itu diperkuat oleh beberapa sumber sejarah dunia Melayu dari abad ke-16.
Namun, selama beberapa lama, justru penguasa Jawa-lah yang lebih dominan sebagai “pemegang kunci” Kota Palembang.
Penetrasi Politik Raja-Raja Jawa
Sejak abad ke-13, raja-raja Jawa telah memulai penetrasi politiknya ke alam Melayu. Raja Krtanegara dari Singhasāri, misalnya, telah mengupayakan penyatuan wilayah Melayu dalam mandala Jawa-nya melalui apa yang disebut Ekspedisi Pamalayu. Kampanye militer yang nantinya bahkan menjadi salah satu sebab keruntuhan monarki Singhasāri itu berlangsung pada 1275 hingga 1286.
Atina Winaya dalam “Cakrawala Mandala Dwīpāntara: Wawasan Kemaritiman Kerajaan Singhasāri” (2018) menyebut, “Sebuah prasasti pada alas arca Amogapāṡha dari Sungai Langsat yang berangka tahun 1286 M memberi petunjuk bahwa Malayu benar-benar tunduk di bawah kepemimpinan Singhasāri. Prasasti tersebut menerangkan bahwa arca Amogapāṡha dikirim dengan empat belas pengiringnya, beserta saptaratna (tujuh permata), dibawa dari Jawa menuju Suwarṇabhūmi dan ditegakkan di Dharmmaṡraya.”
Pasca runtuhnya Kerajaan Singhasāri, Palembang menjadi incaran Majapahit. Th.G.T. Pigeaud dalam Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History The Nāgara Kŗtāgama By Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D (1960-63) menyebut bahwa kakawin Nagarakrtagama tak luput menyebut Palembang sebagai salah satu jajahan Majapahit.
Hal itu juga dikonfirmasi oleh sumber sezaman yang berasal dari kronik Ying Yai Sheng Lan dari era Dinasti Ming. Kronik ini ditulis oleh juru tulis Laksamana Cheng Ho bernama Ma Huan.
Menurut catatan Ma Huan, sebagaimana dirangkum oleh Kong Yuanzhi dalam Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (2005), Majapahit awalnya menempatkan seorang pejabat Melayu untuk berkuasa atas nama Majapahit di Palembang. Namun, Raja Majapahit lantas memberangusnya lantara dianggap terlalu dekat dengan Dinasti Ming.
Setelah itu, Majapahit mendudukkan pejabat Jawa sebagai semacam “gubernur jenderal” untuk mengatur Palembang. Namun, cara itu nyatanya tidak membawa kestabilan politik di Palembang karena kota itu secara de facto didominasi oleh bajak laut Tionghoa.
Penguasa Jawa di Palembang inilah yang kemungkinan besar menurunkan sosok Arya Damar yang disinggung dalam Babad Tanah Jawi. Willem Remmelink dalam Babad Tanah Jawi: The Chronicle of Java (2020) membeberkan beberapa keterangan soal pentingnya posisi Palembang dan Arya Damar bagi Jawa pada awal abad ke-15.
Menurut Babad Tanah Jawi, Arya Damar adalah seorang Adipati Palembang yang beragama Islam sekaligus ayah tiri dari Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak. Raden Patah disebut menghabiskan masa-masa awal hidupnya di Palembang sampai akhirnya beranjak ke Jawa untuk menimba ilmu agama kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Dinasti Gede Ing Suro
Sampai abad ke-16, posisi Palembang agaknya masih menjadi daerah pendudukan Demak. Hal itu ditengarai oleh adanya upaya Palembang memberikan bantuan militer pada Demak untuk menyerang Malaka yang diduduki Portugis. Namun selepas itu, para sejarawan belum menemukan lagi sumber historis yang mumpuni untuk menjelaskan kedudukan Jawa atas Palembang.
Sampai kemudian, datanglah berita tentang migrasi sekelompok orang Jawa dari Surabaya. Kelompok imigran itu dipimpin oleh Ki Gede Ing Suro—atau kadang disebut Ki Gedeng Suro—yang kemudian menjadi sosok legendaris dalam sejarah Palembang.
Djohan Hanafiah dalam Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang (1995) menduga bahwa Ki Gede Ing Suro kemungkinan adalah bangsawan Demak yang kabur lantaran gonjang-ganjing perebutan takhta di Jawa pada akhir abad ke-16 dan ke-17. Ki Gede Ing Suro ini lantas mendirikan pemukiman dan pusat pemerintahan di timur Kota Palembang sekarang.
Lokasi di mana dia membangun keraton lalu diberi nama Kuto Gawang. Kiwari, kita masih bisa menjumpai sisa-sisanya berikut juga makam Ki Gede Ing Suro di daerah Ilir Timur II. Zuriah Ki Gede Ing Suro turun-temurun menjadi penguasa Palembang, setidaknya hingga pertengahan abad ke-17, kala mereka harus tunduk pada Kerajaan Mataram.
Meski demikian, sebagaimana disinggung H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (2020), hubungan Dinasti Ki Gede Ing Suro dan Mataram tidak selalu berjalan harmonis. Ada kalanya Palembang bergantung pada kekuatan Mataram untuk menghalau kekuatan Kesultanan Banten, musuh bebuyutan sekaligus rivalnya dalam perdagangan lada. Namun, Palembang sendiri tak jarang bersitegang dengan Mataram lantaran mereka berhubungan erat dengan VOC.
Lain itu, Dinasti Ki Gede Ing Suro juga merasa lebih superior ketimbang Dinasti Mataram lantaran memiliki jalur nasab dari Kesultanan Demak. Namun, panas-dingin hubungan Palembang dan Mataram agaknya hanyalah persoalan dinamika politik belaka. Pasalnya, Palembang sendiri tercatat beberapa kali memberikan bantuan logistik dan militer pada Mataram selama kampanye militer Sultan Agung ke Batavia.
Ketika ambisi Mataram untuk menaklukan Pulau Jawa mulai mereda, Palembang yang saat itu dipimpin oleh Ki Mas Hindi malah mesti menghadapi amukan VOC. Usai berhasil mengadang VOC, Ki Mas Hindi mulai mengevaluasi hubungan patron-kliennya dengan Mataram. Lantaran dianggap tidak lagi strategis, pada pengujung abad ke-17, dia lalu mendeklarasikan independensi Palembang.
Ki Mas Hindi lantas mendaulat dirisebagai Sultan Abdurahman dan sejak saat itulah Kesultanan Palembang berdiri. Di abad ke-18, Kesultanan Palembang dengan cepat melebarkan hegemoninya hingga meliputi seluruh Sumatera Selatan sekarang, Kepulauan Bangka-Belitung, hingga sebagian Lampung serta Bengkulu.
Dinasti Ki Gede Ing Suro juga menjadi agen penyebar kebudayaan Jawa di pesisir timur Pulau Sumatra. Jejaknya sekarang masih bisa dijumpai dalam aspek kebahasaan, adat istiadat, aksara, tradisi daur hidup, dan lain sebagainya.
Kekuasaan Dinasti Gede Ing Suro menemui titik akhirnya pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II. Kala itu, Palembang digempur oleh Inggris dan kemudian runtuh pada 1812. Sejak saat itu, Kesultanan Palembang menjadi kerajaan boneka Inggris dan lalu Belanda. Eksistensinya benar-benar dihapuskan oleh Belanda melalui pendirian Karesidenan Palembang pada 1823.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi