tirto.id - Abad ke-9 sampai ke-12 Masehi menjadi masa-masa subur tumbuh dan berkembangnya peradaban Hindu-Buddha di Indonesia. Dalam periode ini, Dinasti Sailendra yang awalnya berkuasa atas Jawa bagian tengah mulai melakukan ekspansi politik ke luar Pulau Jawa. Geliat politik itu terjadi tidak jauh setelah mereka merampungkan pembangunan Borobudur.
Bambang Budi Utomo dalam “Arca-arca Berlanggam Sailendra di Luar Tanah Jawa” (2013) membeberkan suatu gambaran tentang tersiar luasnya arca-arca penanda hegemoni Dinasti Sailendra. Dimulai dari temuan Arca Avalokitesvara di Bidor, Malaysia, sampai Arca Padmapani di Gunung Kerinci di jantung Sumatra.
Semua itu terjadi berkat kapal kekuasaan Sriwijaya yang membawa nama Sailendra ke mana-mana.
Bukti lainnya adalah Prasasti Nalanda (860 M) yang mencatat pendirian asrama bagi pendeta Sriwijaya di Kerajaan Pala. Donatur proyek itu ialah Raja Balaputradewa dari Kerajaan Sriwijaya yang diteguhkan sebagai “Sang Permata Dinasti Sailendra”.
Hegemoni Dinasti Sailendra di Sumatra mulai memudar pada abad ke-12. Sebagaimana diuraikan oleh M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010), Dinasti Sailendra tak kuasa menerima konsekuensi dari gejolak zaman.
Di Jawa, Sindok sang menantu Dinasti Sailendra harus berjuang keras memindahkan pusat pemerintahan ke timur Pulau Jawa. Di lautan Melayu, Sriwijaya pun kewalahan menghadapi Kerajaan Chola yang mengamuk di pelabuhan-pelabuhan mereka.
Sejak itu, kuasa Dinasti Sailendra di Sumatra memasuki senjakala. Lakon pun berganti seiring lahirnya dinasti baru di Sumatra. Dinasti inilah yang kemudian mewarnai kehidupan politik di Sumatra hingga pengujung masa Hindu-Buddha dan awal berdirinya monarki-monarki Islam di abad ke-15.
Mula Dinasti Mauli
Inskripsi pertama yang memuat nama Mauli sebagai penguasa Swarnadwipa justru bukan ditemukan di Sumatra, tetai di Chaiya, Thailand bagian selatan. Inskripsi tersebut dikenal sebagai Prasasti Grahi.
Ahli epigrafi G. Coedes dan L.Ch-. Damais dalam Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (1989) menjelaskan bahwa prasasti itu tertera pada lapik (asana) sebuah arca Buddha dari kuil Wat Hua Wieng.
Apabila ditinjau dari gaya pengarcaannya, Coedes yakin arca ini bergaya seni Khmer. Inskripsi seluruhnya berbahasa Khmer Kuno. Namun uniknya, aksara yang digunakan lebih mirip dengan aksara Jawa Kuno.
Hasil pembacaan Coedes atas prasasti tersebut kurang lebih mengungkapkan nama seorang penguasa, yakni Kamraten Maharaja Srimat Trailokyawijaya Bhusanamauli Warmadewa. Tokoh ini pada 1105 Saka atau 1183 M telah memerintahkan Mahasenapati Galanai yang memerintah di negeri Grahi agar membuat arca Buddha yang kelak dijadikan sarana ibadah bagi semua orang.
Bagi Coedes, yang menjadi pokok permasalahan prasasti ini bukanlah soal perintah pendirian arca Buddha, tapi sosok sang penguasa dan anasir budaya Khmer yang melingkupinya.
Menurut Coedes, nama Trailokyavijaya tidak pernah disebut sama sekali dalam historiografi Khmer. Meski sang raja disebut dengan gelar “kamraten”yang berasal dari bahasa Khmer Kuno, Coedes justru berpendapat raja ini mungkin sekali justru merujuk pada seorang penguasa di Sumatra. Pasalnya, ada sebutan gelar “Maharaja” di nama itu yang sama sekali asing dalam tradisi Khmer.
Gelar Maharaja telah lama dikenal dalam tradisi kerajaan di Sumatra. Coedes menyimpulkan bahwa Trailokyawijaya kemungkinan adalah raja Sumatra yang berkuasa pula atas daerah Grahi yang berbudaya Khmer.
Dugaan Coedes ini tidak meleset karena nama “Mauli” yang disandang oleh Trailokyawijaya muncul lagi dalam prasasti yang dibuat di masa seteah itu, yakni Prasasti Amoghapasa dari Dharmasraya, Sumatra Barat.
Prasasti ini, sebagaimana disebut Bambang Budi Utomo dalam Prasasti-prasasti Sumatra (2007) merupakan hadiah Maharaja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari di Jawa Timur pada seorang raja dari Kerajaan Malayu bernama Maharaja Srimat Tribuwanaraja Mauli Warmadewa. Prasasati Amoghapasa menyebut angka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi.
Trailokyawijaya mungkin memang penguasa Kerajaan Malayu yang berlokasi di Sumatra. Sementara itu, Tribuwanaraja kemungkinan merupakan kerabat atau keturunan dari Trailokyawijaya.
Informasi-informasi ini setidaknya mengindikasikan dua hal. Pertama, Kerajaan Malayu telah mengungguli Sriwijaya di sekitar abad ke-12. Hal ini senada dengan keterangan kronik Dinasti Song dari Tiongkok yang dikumpulkan oleh W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2018). Kronik Dinasti Song menyebut Sumatra tidak lagi disebut Shilifoshi(Sriwijaya) melainkan Moloyu (Malayu).
Kedua, kekuasaan Dinasti Mauli di Sumatra tidak lagi menjadi rival penguasa Jawa sebagaimana Sriwijaya. Kerajaan Malayu di bawah Dinasti Mauli lebih condong menjadi sekutu strategis Jawa dalam menghadapi ancaman militer Mongol. Petunjuk paling jelas akan hal ini termaktub dalam Pararaton yang menyebut soal Ekspedisi Pamalayu.
Adityawarman
Prasasti Amoghapasa sebetulnya tidak hanya menyebut satu nama raja Malayu. Tercantum pula nama raja lain, yakni Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa atau lebih populer disebut Adityawarman.
Siapakah tokoh ini sebenarnya? Mengenai asal-usul keluarganya terdapat beberapa versi yang mengemuka.
Apabila merujuk pada pendapat Machi Suhadi yang dikutip oleh S.A. Kusumadewi pada tesisnya Adityawarman (1347-1374 M): Kajian Epigrafi (2012), Adityawarman sebagaimana disebut dalam Prasasti Kuburajo I merupakan anak seorang raja Malayu bernama Adwayawarman.
Adwayawarman mungkin sekali kerabat atau bahkan orang yang sama dengan Tribhuwanaraja yang disebut dalam Prasasti Amoghapasa. Ia dalam beberapa prasasti disebut-sebut menggantikan pemerintahan pamannya, yakni Akarendrawarman.
Uniknya, Adityawarman juga disebut dalam sumber-sumber tertulis masa Majapahit. Prasasti di belakang arca Manjusri yang ditemukan di Candi Jago di Malang, misalnya, menyebut soal seorang wreddharaja--salah satu menteri dalam kabinet Majapahit—bernama Adityawarman.
Masalahnya, menurut Kusumadewi, prasasti yang menyebut nama Adityawarman ini kental sekali gaya Sumatra dari segi keaksaraan. Kusumadewi menghubungkan keterangan dalam prasasti ini dengan informasi yang disebut dalam Prasasti Ombilin di Sumatra Barat.
Menurut Kusumadewi, dari beberapa gejala pemilihan diksi yang tertera pada kedua prasasti, diduga Adityawarman kerabat angkat keluarga Kerajaan Majapahit. Hal ini diperkuat dengan diperbolehkannya Adityawarman untuk membangunkan suatu bangunan suci untuk keperluan Raja Kertanegara yang menjadi leluhur Kerajaan Majapahit.
Di luar beberapa keunikan dalam pencatatan sejarahnya yang misterius, menurut Kusumadewi Adityawarman merupakan raja terbesar Dinasti Mauli. Dialah raja berdarah Mauli yang paling banyak mengeluarkan prasasti, dan ke-15 prasastinya bisa dijumpai di beberapa daerah mulai dari pedalaman Minangkabau hingga aliran Sungai Batanghari.
Kusumadewi berpegangan bahwa Adityawarman merupakan benteng terakhir peradaban Hindu-Buddha di Tanah Sumatra, mengingat wilayah kekuasaannya bersinggungan dengan komunitas Islam di Semenanjung Malaya dan wilayah utara Pulau Andalas. Dugaan ini yang menjadi pegangan dalam menjelaskan mengapa Adityawarman mesra sekali dengan keluarga Kerajaan Majapahit di Jawa.
Di sisi lain, Adityawarman berhasil menyatukan daerah lahan produksi emas di Alam Minangkabau dengan Selat Malaka di pantai Timur Sumatra, melalui penguasaan jalur dagang Sungai Batanghari. Tak heran, sampai abad ke-15, nama Malayu masih tetap sohor dalam kronik-kronik Tionghoa saat Majapahit sudah menuju masa senjakala.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi