tirto.id - Konon laki-laki Jawa sangat payah dalam mengatur keuangan. Semenjak Raja-raja Mataram masih berkuasa, ungkapan ini sudah dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Para bangsawan dan kesatria Jawa lebih suka berfilosofi atau mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan, sementara istri-istri mereka harus mengurus kepingan uang.
Thomas Stamford Raffles sempat heran saat mengamati cara orang Jawa menyimpan uang pada abad ke-19. Namun, ia segera menyadari bahwa persepsi orang Jawa terhadap siapa yang lebih pantas mengatur keuangan tidak jauh berbeda dibandingkan sebelum kedatangan pedagang Eropa tiga abad sebelumnya. Perempuan dianggap lebih unggul dalam mengurus keuangan karena secara turun-temurun mereka dilatih mengamati harga-harga di pasar.
“Dalam segala hal yang berkaitan dengan transaksi keuangan, perempuan secara universal lebih pandai dibandingkan laki-laki, dari buruh biasa hingga kalangan bupati, sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi para suami untuk mempercayakan hal-hal yang berkaitan dengan uang kepada istrinya,” ungkap Raffles dalam The History of Java (1817: 353).
Kesaksian Raffles kemudian digunakan sejarawan Anthony Reid untuk memperkuat argumennya tentang otonomi ekonomi perempuan. Menurut Reid, peran penting perempuan dalam perdagangan tradisional pada dasarnya adalah warisan yang didapat dari tradisi niaga Asia Tenggara pra-modern. Bermula dari akses di bidang perdagangan, perempuan pada periode itu berturut-turut terlibat dalam berbagai bidang lain.
Antara Tradisi Niaga dan Seks
Di kawasan Asia Tenggara, dari dulu hingga sekarang, kegiatan pasar sebagian besar dikuasai perempuan. Dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (2011: 189), Anthony Reid mengumpulkan naskah-naskah catatan perjalanan dari abad ke-13 hingga ke-19. Salah satu isinya tentang keheranan para pedagang Eropa ketika mendapati banyak perempuan yang berminat membeli muatan kapal mereka.
“Kaum wanita Siam adalah satu-satunya saudagar yang membeli barang-barang, dan sebagian di antara mereka sangat giat berdagang,” tulis Reid mengutip catatan pedagang Inggris bernama Alexander Hamilton.
Di kota-kota pelabuhan sepanjang pesisir daratan Indocina sampai ke Nusantara, perempuan hampir selalu dapat ditemui di pasar dan kios penukaran uang. Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3 (1996: 94), mengutip catatan penjelajah Inggris bernama William Dampier yang menemukan bahwa perempuan Aceh dan Tonkin (Vietnam bagian utara) abad ke-17 tidak hanya berdagang tetapi juga mengatur sirkulasi pertukaran uang.
“Di sini (Aceh) hanya ada perempuan, seperti di Tonkin; mereka berurusan dengan penukaran uang. Mereka duduk di pasar dan di ujung jalan dengan uang timah,” tulis Dampier seperti dikutip Lombard.
Meskipun telah lewat dua abad sejak Dampier menyaksikan para perempuan membawa berkarung-karung uang timah, pola kegiatan perdagangan tradisional di pasar-pasar Nusantara tidak berubah. Raffles, seperti halnya Hamilton dan Dampier, menyaksikan sendiri kerumunan perempuan yang melakukan perjalanan jauh dari desa ke kota-kota besar di seluruh Jawa setiap dua kali dalam sepekan untuk berdagang. Dia mengungkapkan, para perempuan itu mengangkut dan menjual sendiri barang dagangannya.
Otonomi ekonomi perempuan di sepanjang jalur perdagangan internasional pada waktu itu turut membentuk pola hubungan suami-istri yang transaksional. Pernikahan dan pergundikan yang bersifat sementara menjadi sangat lumrah menyusul besarnya arus kedatangan pedagang asing ke pelabuhan-pelabuhan besar di Asia Tenggara.
Para pedagang asing ini terkadang harus menetap lama di wilayah tertentu untuk menunggu angin musiman. Sebelum layar-layar kapal para pedagang bisa dikembangkan kembali, tidak sedikit di antara mereka yang membutuhkan teman hidup.
“Jika ada orang asing dari negeri lain tiba di sana untuk berniaga, orang pun datang kepadanya dan bertanya apakah mereka menginginkan seorang wanita. […] Begitu mereka setuju dengan bayaran tersebut, si wanita pun datang ke rumahnya, dan melayaninya siang hari sebagai pelayan dan malam hari sebagai istri,” tulis Anthony Reid yang mengutip catatan perjalanan penjelajah Belanda, Jacob Corneliszoon van Neck.
Reid dalam tulisannya menekankan bahwa sejatinya apa yang dilakukan para perempuan itu jauh dari kesan pelacuran. Layaknya ikatan suami-istri yang sah, kedua belah pihak harus melalui ritus pernikahan dan masing-masing terikat secara hukum. Perkawinan antarras dan agama ini berakhir ketika sang pedagang asing memutuskan kembali ke negerinya.
“Jika si pedagang akan pergi, dia memberikan apa saja yang telah dijanjikan, dan begitulah mereka saling berpisah sebagai dua orang sahabat, dan si wanita lalu dapat mencari pria manapun yang disukainya, dengan tetap terhormat tanpa skandal,” lanjutnya.
Kepercayaan diri para perempuan untuk menerima perceraian ini sangat ditentukan oleh kemampuan mereka mencari uang secara mandiri. Reid menambahkan, di samping urusan mata pencaharian, perempuan yang bercerai tetap dapat melanjutkan hidup tanpa rasa malu karena pada masa itu keperawanan tidak pernah dijadikan faktor utama dalam pernikahan.
Penggerak Diplomasi, Pencipta Perdamaian
Alih-alih mendapat celaan, perempuan yang terlibat pernikahan sementara sering kali malah dihormati di beberapa kerajaan Nusantara. Mereka yang sudah pernah mendampingi para saudagar asing umumnya menjadi fasih berbahasa asing dan paham budaya dari negeri lain. Kedekatan dunia dagang dengan diplomasi kemudian membuat para penguasa senang menunjuk para perempuan menjadi utusan kerajaan.
“Di beberapa bagian dunia kepulauan, tampaknya orang secara positif lebih suka menggunakan wanita sebagai utusan, khususnya dalam usaha menciptakan perdamaian,” tulis Reid. “Kaum pria tidak bisa melakukan negosiasi seperti yang biasa dilakukan oleh kaum wanita, mereka tidak dapat mengorbankan rasa kehormatannya demi menyelesaikan satu masalah,” imbuhnya.
Pada abad ke-15 sampai ke-17, kelompok perempuan ini terbukti mampu naik ke status sosial yang lebih tinggi dengan jalan mengombinasikan dagang dan diplomasi. Nyai Gede Pinatih, misalnya, pernah memegang jabatan sebagai kepala pelabuhan Gresik dan menguasai jaringan kapal dagang ke Bali, Maluku, dan Kamboja. Perempuan lainnya, Nyai Gede Wonogiri bahkan disebutkan “menguasai” raja berkat kebijaksanaannya.
Di kerajaan-kerajaan Sumatra, praktik menciptakan iklim dagang yang damai melalui bantuan perempuan dilakukan lebih progresif. Kesultanan Aceh sepanjang masa kekuasaan Iskandar Muda (1607-1636) menikmati kemakmuran, tetapi kondisi ini diikuti kemunculan pemberontakan daerah yang disebabkan monopoli ekonomi yang dilakukan Sultan. Para bangsawan lambat laun merasa terancam dan berusaha memanfaatkan sosok perempuan dengan status sosial yang tinggi untuk menengahi keadaan.
Iskandar Thani Alauddin, menantu sekaligus penerus Iskandar Muda, kebetulan meninggal setelah lima tahun memerintah. Masa vakum ini menimbulkan kekacauan di kalangan bangsawan yang ingin mengamankan takhta untuk kepentingan mereka sendiri.
Menurut Luthfi Auni dalam tesis masternya yang berjudul “The Decline of Islamic Empire of Aceh (1641-1699)” (1993), krisis takhta ini baru bisa diatasi setelah para “orang kaya” mencapai kesepakatan dengan memilih Sri Alam, Permaisuri Iskandar Thani dan putri Iskandar Muda sebagai pewaris takhta Kesultanan Aceh. Sri Alam kemudian dianugerahi gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah.
Masa pemerintahan Sri Alam tidak banyak memberikan perubahan sehingga tidak sedikit yang menganggapnya berkemauan lemah. Kendati demikian, dibandingkan kekuasaan Iskandar Muda yang otoriter, pemerintahan Sri Alam yang lembut lebih memungkinkan rakyatnya memainkan peranan dalam urusan negara. Kondisi politik dan ekonomi, khususnya di bidang diplomasi dan perdagangan, menjadi lebih stabil.
Menurut Anthony Reid, dalam kondisi tertentu raja perempuan yang paham akan tanggung jawab keuangan tampil lebih baik dibandingkan kaum pria yang dapat sewaktu-waktu bersikap boros hanya demi mempertahankan status dan kehormatan di medan perang. Laki-laki lebih mudah terluka harga dirinya, sementara perempuan semata-mata mengutamakan kesejahteraan.
“Pemerintahan wanita merupakan satu dari sedikit cara yang digunakan oleh kalangan bangsawan yang mementingkan kegiatan niaga guna membatasi kekuasaan despotis raja dan membuat negara aman bagi perniagaan internasional,” pungkas Reid.
Editor: Irfan Teguh