tirto.id - Raja James I dari Inggris mengirimkan surat kepada Sultan Iskandar Muda pada pertengahan abad ke-17 itu. Surat tersebut berisi permohonan kepada sultan agar orang-orang Inggris diizinkan berdagang di sejumlah lokasi yang termasuk wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Jawaban Sultan Iskandar Muda: Tidak diizinkan!
Dalam surat jawaban yang ditulis tahun 1024 Hijriah atau 1615 Masehi itu, permintaan Raja James I ditolak. Sultan Iskandar Muda paham betul, dalih dagang hanyalah kedok Inggris untuk menguasai sumber daya di Aceh. Portugis dan Belanda pernah mencobanya, dan gagal.
Di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda sejak 1607, Aceh sangat digdaya sebagai suatu imperium yang makmur, kuat, dan memiliki wilayah yang sangat luas. Tak pernah ada bangsa asing yang benar-benar berhasil menguasai bumi Serambi Makkah selama Iskandar Muda bertakhta.
Sepak Terjang Perkasa Alam
Aceh pada awal abad ke-17 Masehi dilanda konflik. Selain ancaman dari Portugis, situasi kerajaan juga sedang guncang. Pemimpin Aceh Darussalam kala itu, Sultan Alauddin Riayat Syah, dikudeta anaknya sendiri pada 1604 yang kemudian menduduki takhta dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah.
Penguasa baru ini bertabiat buruk dan membuat Aceh semakin terpuruk. Djokosurjo dalam buku Agama dan Perubahan Sosial (2001) menyebut bahwa kepemimpinan Sultan Ali Riayat Syah merupakan periode yang penuh dengan kekacauan internal (hlm. 63).
Dalam situasi ini, muncullah sosok anak muda bernama Perkasa Alam. Pemuda yang masih berstatus pangeran ini menunjukkan rasa tidak puas terhadap Sultan Ali Riayat Syah. Perkasa Alam pun melancarkan perlawanan.
Namun, Perkasa Alam ditangkap dan dipenjara. Dari dalam jeruji besi, ia memberikan penawaran kepada Sultan Ali Riayat Syah yang saat itu memang sedang risau karena tekanan Portugis.
Perkasa Alam menawarkan, jika dibebaskan dan diberi perlengkapan senjata serta sedikit pasukan, ia berjanji dapat mengusir Portugis dari tanah rencong. Sultan Ali Riayat Syah yang sudah kewalahan menghadapi Portugis menerima tawaran itu.
Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa (2005) memaparkan, Perkasa Alam mengerahkan anak-anak muda Aceh untuk melawan Portugis. Hasilnya, orang-orang semenanjung Iberia itu dapat diusir dari bumi Serambi Makkah pada 1606 (hlm. 280). Kemenangan atas Portugis ini juga membuat nyali Belanda dan Inggris ciut.
Tak lama setelah itu, Sultan Ali Riayat Syah mangkat. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat sebagai penggantinya. Selain dikenal cakap dan pemberani serta didukung tokoh-tokoh adat berpengaruh, ia juga masih keturunan dari Sultan Alauddin al-Qahhar, penguasa Kesultanan Aceh era 1537-1571.
Maka, pada 1607 itu, Perkasa Alam dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang baru. Setelah bertakhta, Perkasa Alam dikenal dengan nama Sultan Iskandar Muda.
Kejayaan Iskandar Muda
Untuk melindungi tanah rencong dari ancaman bangsa asing, serta dalam upaya menjadikan Aceh Darussalam menjadi kesultanan yang lebih besar, Sultan Iskandar Muda langsung mencanangkan beberapa misi penting.
Dikutip dari buku Aceh Sepanjang Abad (1981) karya Mohammad Said, Kesultanan Aceh merangkul negeri-negeri dan semua pelabuhan di sekitar Selat Malaka agar tidak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa asing (hlm. 285).
Selain itu, Sultan Iskandar Muda juga menerapkan kebijakan ketat di sektor ekonomi dan perdagangan, menaikkan harga pasaran hasil bumi, membangun bandar dagang utama di Aceh, serta memperketat pengawasan terhadap pergerakan orang-orang asing.
Wilayah kesultanan pun bertambah luas. Menurut Bambang Budi Utomo dan kawan-kawan dalam Treasures of Sumatera (2009), sebagian besar Sumatra berhasil ditaklukkan. Negeri-negeri di sekitar Semenanjung Malaya, termasuk Johor, Malaka, Pahang, Kedah, Perak, hingga Patani atau Thailand bagian selatan, juga tunduk (hlm. 61).
Militer Aceh Darussalam kala itu sangat kuat. Angkatan lautnya dilengkapi kapal-kapal tempur beserta meriam. Angkatan daratnya juga luar biasa; terdiri dari puluhan ribu prajurit, pasukan berkuda, hingga pasukan gajah.
Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia (2011) mengungkapkan, gajah perang yang dimiliki Sultan Iskandar Muda tidak kurang dari 900 ekor. Gajah dianggap bagian yang amat penting dalam pasukan Aceh, juga merupakan lambang kedudukan tinggi (hlm. 112).
Aceh yang semakin perkasa di bawah kendali Sultan Iskandar Muda membuat bangsa-bangsa asing berpikir ulang jika ingin menyerang. Portugis telah kalah meskipun sempat terlibat beberapa pertempuran lagi. Sedangkan Belanda terpaksa mengalihkan sasarannya ke wilayah lain di Nusantara selain Aceh, yakni Jawa dan Maluku.
Inggris juga merasakan kecemasan yang sama. Meskipun Kerajaan Inggris sempat berhubungan baik dengan Kesultanan Aceh di masa lalu, jika ingin lebih dari sekadar berdagang tentunya sangat sulit selama Sultan Iskandar Muda masih berkuasa. Kongsi dagang Inggris terpaksa bertahan di luar Aceh.
Sultan Wafat, Aceh Melemah
Meskipun bersikap keras terhadap bangsa-bangsa asing, Sultan Iskandar Muda juga menjalin relasi yang cukup baik dengan sejumlah kerajaan besar di Eropa, termasuk Inggris, Belanda, Perancis, hingga Turki Usmani.
Dengan Kerajaan Inggris, misalnya, Kesultanan Aceh kerap bertukar hadiah. Raja James I (1603-1625) pernah mengirimkan sebuah meriam untuk dipersembahkan kepada Sultan Iskandar Muda. Hadiah serupa juga pernah diberikan Sultan Ahmed I (1603-1617) dari Turki.
Sultan Iskandar Muda juga menerima utusan Raja Perancis yang membawakan hadiah berupa cermin yang sangat indah. Sayangnya, tulis Harry Kawilarang dalam Aceh: Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (2008), cermin tersebut pecah dalam perjalanan (hlm. 22). Kendati begitu, sultan tetap gembira menerima serpihan kaca cermin yang berharga amat mahal itu.
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda beberapa kali mengirimkan utusan ke Eropa, termasuk ke Kerajaan Belanda yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Selain itu, perwakilan Kesultanan Aceh Darussalam juga pernah berkunjung ke Konstantinopel untuk menghadap Sultan Turki.
Untuk urusan bilateral dan relasi persahabatan antar-kerajaan yang menguntungkan kedua pihak, Sultan Iskandar Muda memang sangat terbuka. Namun, jika sudah tercium gelagat yang tidak baik, sang sultan tidak segan-segan bertindak tegas.
Menjelang berakhirnya dekade ketiga abad ke-17, Kesultanan Aceh Darussalam terlibat konflik dengan Portugis lagi. Portugis rupanya masih menyimpan dendam atas kekalahan mereka sebelumnya.
Pada 1629, Sultan Iskandar Muda mengerahkan pasukan berkekuatan 236 kapal perang dengan 20.000 prajurit. Terjadilah pertempuran sengit di perairan Malaka. Portugis kali ini semakin kuat karena dibantu pasukan gabungan yang didatangkan dari kawasan timur Nusantara.
Selain itu, taktik pecah-belah juga sukses diterapkan. Orang-orang Portugis berhasil menghasut beberapa kerajaan Melayu yang sebelumnya ditaklukkan oleh Aceh agar membelot. Dalam buku Aceh Tanah Rencong (2008) terbitan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebutkan, Kesultanan Pahang, Johor, hingga Patani bersedia bekerjasama dengan Portugis (hlm. 131).
Kesultanan Aceh memang tidak pernah benar-benar kalah. Namun, kesehatan Sultan Iskandar Muda justru memburuk pada masa-masa genting itu. Sultan terbesar dalam riwayat sejarah kerajaan di Aceh ini akhirnya wafat pada 27 Desember 1636 dalam usia yang masih terbilang muda, 43 tahun.
Setelah itu, Kesultanan Aceh Darussalam memang masih mampu bertahan hingga berabad-abad kemudian. Namun, tidak ada pemimpin berikutnya yang sanggup membawa kerajaan ini kembali digdaya seperti pada era Sultan Iskandar Muda.
Editor: Ivan Aulia Ahsan