tirto.id - Kota paling maju di benua biru itu akhirnya runtuh juga. Setelah 8 pekan dikepung, pasukan Turki Ottoman di bawah komando Muhammad Al-Fatih alias Mehmed II berhasil menaklukkan Konstantinopel. Pada 29 Mei 1453, tepat hari ini 566 tahun lalu, ibu kota Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur itu jatuh, Konstantinus XI selaku raja pun terbunuh, dan lahirlah cikal-bakal Istanbul.
Jatuhnya Konstantinopel menandai akhir Perang Salib yang panjang, sejak 1096. Inilah salah satu peperangan terlama yang pernah terjadi di bumi manusia demi memperebutkan hegemoni dan kekuasaan dengan balutan panji-panji agama: Timur melawan Barat, Usmani kontra Romawi, Islam vs Kristen.
Tak sampai setengah abad setelah Konstantinopel diambil alih Turki Ottoman, Perang Salib pun benar-benar usai. Namun dampak jatuhnya Konstantinopel jauh lebih dari itu. Inilah sinyal perubahan besar yang bakal dialami peradaban manusia sekaligus masa peralihan dari Abad Pertengahan menuju dunia modern.
Dari Konstantinopel ke Istanbul
Konstantinopel memang istimewa, letaknya sangat strategis, menghubungkan Eropa dan Asia lewat darat. Menurut Agustinus Wibowo dalam Garis Batas: Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah (2011), kelak lokasi ini menjadi titik penting dalam rangkaian Jalur Sutera, rute niaga utama yang mempertautkan India, Cina, Timur Tengah, dengan Eropa. Karena itulah Konstantinopel—selain Yerusalem—menjadi titik penting Perang Salib.
Didirikan di atas situs kota legenda Bizantium yang diperkirakan sudah ada sedari 672 Sebelum Masehi, Konstantinopel menjadi inti nadi peradaban Eropa sejak dibangun Kaisar Konstantinus I pada sekitar 306 dan ditetapkan sebagai ibukota Kekaisaran Romawi Timur terhitung tanggal 11 Mei 330 Masehi.
Romawi—yang identik dengan Eropa/Kristen—menguasai Konstantinopel selama lebih dari 14 abad dan selalu berhasil menghalau musuh-musuhnya. Roger Crowley dalam Constantinople: The Last Great Siege (2006) menyatakan dalam rentang tempo yang teramat panjang itu, 800 tahun di antaranya menjadi periode usaha kubu Islam untuk merebut Konstantinopel meskipun selalu gagal.
Percobaan tersebut akhirnya dituntaskan dengan gemilang oleh Turki Ottoman pada 1453. Sejak saat itu, upaya revitalisasi total pun dilakukan. Dimulai memperkenalkan nama Istanbul sebagai pengganti Konstantinopel yang memang lekat dengan nama Kaisar Romawi pendirinya, Konstantinus, dan menyusul banyak perombakan lainnya.
Merombak Wajah Bizantium
Penamaan Istanbul konon berasal dari “Islambol” yang artinya “ada banyak Islam”, tapi ada pula yang meyakini asal-usulnya dari kata “Islambul” atau “menemukan Islam”. Setidaknya itulah yang diungkapkan Necdet Sakaoglu dalam The Names of Istanbul (1993). Beberapa penulis Turki percaya nama itu dicetuskan Sultan Mehmed II. Nama Istanbul sendiri sebenarnya lebih populer sejak Republik Turki dideklarasikan pada 29 Oktober 1923.
Sejak menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur, Sultan Mehmed II langsung menetapkan Istanbul atau bekas Konstantinopel itu sebagai ibukota Kesultanan Utsmaniyah yang dipimpinnya. Perombakan total secara lebih nyata pun semakin digencarkan Turki Ottoman di bawah rezim sultan berjuluk sang penakluk itu.
Upaya peralihan yang dilakukan Sultan Mehmed II di Konstantinopel di antaranya adalah merombak Hagia Sophia, salah satu simbol kebesaran Romawi Timur yang dibangun di era Kaisar Yustinianus I pada 532 M.
Semula, seturut penjelasan Encyclopedia Britannica, bangunan monumental itu adalah gereja yang lantas berkembang menjadi katedral megah sebagai pusat agama Nasrani. Oleh Sultan Mehmed II, Hagia Sophia diubah menjadi masjid kekaisaran kendati keberadaan Gereja Kristen Ortodoks tetap diakui.
Sultan Mehmed II tampaknya memang ingin selekas mungkin mengubah paradigma dari Konstantinopel yang berciri Romawi/Kristen dengan Istanbul bernuansa Turki/Islam yang sangat kental. Istanbul dengan relatif cepat bertransformasi menjadi simbol budaya Islam yang berdiri gagah di muara dua benua besar, di antara Eropa dan Asia.
Kesultanan Usmani mendanai yayasan-yayasan keagamaan untuk membangun masjid-masjid dan bangunan lainnya dengan ornamen Islami, termasuk sekolah, rumah sakit, bahkan pemandian umum. Upaya mengubah wajah Konstantinopel itu terus berlangsung hingga ke generasi-generasi Turki berikutnya.
Musibah Membawa Berkah bagi Eropa
Ketika kaum muslim Turki Ottoman bersuka-cita atas kemenangan mereka, Eropa memang di ambang keterpurukan. Kejayaan imperium Romawi yang juga menjadi era keemasan gereja di Abad Pertengahan terancam benar-benar berakhir.
Direbutnya Konstantinopel oleh trah Usmani menjadi kerugian besar. Penguasaan perdagangan rempah-rempah pun musnah. Mereka semula memiliki pelabuhan besar di Tanduk Emas (dikenal juga dengan nama Golden Horn, Halic, atau Chrysoceras) yang terletak di muara pemisah Konstantinopel sekaligus sebagai penghubung Laut Hitam dan Laut Tengah.
Sejak Konstantinopel lepas dan perdagangan dimonopoli Kesultanan Usmani, bangsa-bangsa Eropa berusaha keras mencari cara lain untuk tetap bisa berdagang ke Asia. Kembali menyusuri jalur darat melewati Konstantinopel alias Istanbul jelas tidak mungkin karena terlalu besar risikonya.
Tapi, di balik musibah ternyata ada berkah. Jatuhnya Konstantinopel menjadi titik perubahan penting peradaban manusia dengan dampak yang lebih mengglobal. Dari keterpurukan inilah bangsa-bangsa Eropa justru menemukan jalan menuju kemasyhuran yang jauh lebih besar, mereka menyongsong Abad Penjelajahan.
Penjelajahan samudra menjadi solusi bagi bangsa-bangsa Eropa untuk mencapai Asia, bahkan mendapati tempat-tempat baru yang potensial, termasuk pusat rempah-rempah, terutama India bahkan berlayar hingga ke Nusantara. Benua Amerika hingga Australia ditemukan, banyak wilayah di berbagai belahan bumi yang berhasil dikuasai.
Boleh dibilang, kehilangan Konstantinopel justru menjadi embrio kolonialisme dan imperialisme negara-negara Eropa, lalu memicu masa pencerahan atau Renaissance yang kemudian berlanjut ke Revolusi Industri, dan seterusnya hingga apa yang terlihat saat ini.
Di sisi lain, Kesultanan Usmani justru menuai keruntuhan dan akhirnya bubar pada 1924. Kini, kejayaan Ottoman tinggal menyisakan sebuah negara bernama Turki, yang juga masih kerap mengalami konflik dari dalam negeri sendiri.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 Mei 2017 dengan judul "Kejatuhan Pusat Perang Salib Konstantinopel". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Maulida Sri Handayani